Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Tribun Opini

Waspada, Kemiskinan di Sulsel kian Meningkat

Saat pandemi saja, pemerintah tega menaikkan iuran BPJS kesehatan dan iuran-iuran lainnya. Pun, kebutuhan pokok yang terus melambung.

Editor: AS Kambie
dok.tribun
Dr Suryani Izzabitah, Dosen dan Pemerhati Sosial 

Oleh: Dr Suryani Izzabitah
Dosen dan Pemerhati Sosial

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Penduduk miskin di Sulawesi Selatan (Sulsel) bertambah secara signifikan. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis, jumlah warga miskin pada Maret 2020 sebanyak 776.830 jiwa. Angka tersebut mengalami peningkatan sebanyak 17.250 jiwa terhadap September 2019 dan meningkat 9.030 jiwa terhadap Maret 2019.

Kepala BPS Sulsel Yos Rusdiansyah menyebut, komoditas makanan yang berpengaruh besar terhadap garis kemiskinan adalah beras, rokok kretek filter, telur ayam ras, bandeng, kue basah, gula pasir, dan mi instan. ”Untuk komoditas bukan makanan, kontribusi terbesar terhadap garis kemiskinan adalah biaya perumahan, bensin, listrik, pendidikan, dan perlengkapan mandi,” jelas Yos dalam keterangan pers di kantornya, Senin (20/7).

Hal senada diungkapkan Pengamat Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin, Anas Iswanto Anwar, bahwa sepanjang masa pandemi COVID-19 belum dapat diselesaikan, maka perekonomian tidak bisa naik.

“Mengapa kemiskinan di Sulsel bisa terus naik dan kenaikannya ini dengan jumlah besar? Pertama, sejak Maret-Juni kemarin ramai terjadi PHK secara besar-besaran. Belum lagi beberapa harga kebutuhan pokok naik, beberapa usaha tutup dan bisnis ikut terganggu.

Tidak heran jika berdampak pada jumlah kemiskinan. Sementara pemasukan untuk kebutuhan sehari-hari sudah tidak ada lagi.

Pilu rasanya menyaksikan kondisi negeri ini dengan setumpuk permasalahan yang tak kunjung reda. Belum usai bencana alam yang menimpa beberapa wilayah di Indonesia, seperti banjir di Kabupaten Wajo, banjir bandang di Kabupaten Luwu Utara, dan beberapa wilayah lainnya.

Pun, kondisi generasi yang kian rusak. Belum lagi korupsi masih terus menggurita dan seabrek permasalahan bangsa yang tak tahu di mana ujungnya.

Perekonomian Indonesia pun terancam resesi, yang makin menambah panjang daftar orang miskin. Jumlah orang miskin baik di daerah urban maupun di pedesaan terus bertambah dari hari ke hari. Kondisi ini diperparah dengan adanya pandemi yang sudah memasuki bulan kelima sejak diumumkan untuk pertama kalinya pada tanggal 2 Maret 2020.

Kemiskinan Mengintai
Kemiskinan di negeri ini adalah problem lama yang tak kunjung usai. Bagaimana tidak, rakyat terus disuguhi dengan drama kenaikan kebutuhan pokok dan vital hampir setiap saat.

Sementara jaminan lapangan pekerjaan tidak terpenuhi, bahkan pemerintah terkesan abai. Saat pandemi saja, pemerintah tega menaikkan iuran BPJS kesehatan dan iuran-iuran lainnya. Pun, kebutuhan pokok yang terus melambung.

Pandemi yang melanda hampir seantero dunia tak terkecuali Indonesia membuat perekonomian begitu terpukul.

Sistem ekonomi kapitalis yang dianut negeri ini meniscayakan hal tersebut terjadi karena asas yang digunakan memanglah sangat rapuh yakni berbasis transaksi ribawi serta kebijakan fiskal yang bertumpu pada pajak.

Sebelum pandemi saja, kemiskinan di negeri ini sudah sampai pada tahap yang mengkhawatirkan. Apatah lagi di masa pandemi, dengan kebijakan penanganan COVID-19 yang terkesan amburadul dan sangat lamban. Terjadinya gelombang PHK dan banyaknya pekerja yang dirumahkan, membuat kemiskinan semakin bertambah.

Sistem Ekonomi
Sejarah mencatat dengan tinta emas, sistem ekonomi Islam mampu membuktikan kegemilangan peradaban Islam dalam menyejahterakan rakyatnya.

Selama kurang lebih 13 abad, rakyat dalam naungan negara Islam hidup tenteram dan damai. Sistem ini memandang bahwa negara wajib memenuhi kebutuhan pokok individu rakyatnya; yakni kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Pun kebutuhan pokok massal yaitu pendidikan, kesehatan, dan keamanan.

Terkait kebutuhan pokok individu, negara bertanggungjawab menyediakan lapangan pekerjaan. Syariat Islam mewajibkan para lelaki dan atau suami untuk mencari nafkah bagi keluarga yang ada dalam tanggungan penafkahannya.

Jika dalam suatu keluarga, laki-laki atau suami tidak mampu secara fisik untuk bekerja, maka kebutuhan pokok individu keluarga tersebut diambil dari Baitul Mal (kas negara).

Begitupun untuk kebutuhan pokok massal, negara menjamin pemenuhan bagi seluruh rakyat, baik Muslim maupun non Muslim.

Negara menerapkan kebijakan moneter yang berbasis dinar (emas) dan dirham (perak) serta kebijakan fiskal plus sistem keungan negara (APBN) yang berlandaskan ketakwaan kepada Allah SWT sebagai pencipta sekaligus pengatur seluruh isi semesta. Pun, ekonomi mikro dengan sistem syirkah, ijarah, dan jual beli yang semuanya dilaksanakan sesuai dengan syariat-Nya.

Dengan pengelolaan demikian sempurna, menafikan adanya kemiskinan atau individu yang bahkan untuk makan saja tidak sanggup.

Sungguh benar firman Allah Swt. dalam QS. Al-A’raaf: 96, yang artinya “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” Wallahua’lam bishshawab.(*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved