OPINI
Teladanilah Nabi Ibrahim dengan Segala Pengorbanannya
Inginkah kita mengikuti jalan Ibrahim? Barangkali kita hanya mampu menepisnya, seraya menganggapnya bunga tidur.
Oleh: Abdul Karim
Penulis & Pegiat Demokrasi
BISAKAH kita menjadi Ibrahim? Atau setidaknya mampukah kita menirunya? Tiga malam sepi ia bermimpi mendengar Tuhan memerintahnya untuk menyembelih anaknya. Dan Ibrahim tak berfikir panjang. Ia bulat tekad melakukannya. Mampukah kita seperti Ibrahim?
Diatas springbad yang empuk, didalam kamar yang sejuk, mata lelap tanpa nyamuk, tiba-tiba kita bermimpi mendengar perintah untuk menyembelih anak--bagaimana respon kita?
Inginkah kita mengikuti jalan Ibrahim? Barangkali kita hanya mampu menepisnya, seraya menganggapnya bunga tidur.
Mungkinkah itu seruan Tuhan? Bilapun kita menganggapnya sebagai perintah Tuhan--bukan bunga tidur--barangkali tubuh kita bergetar tak terkira.
Tapi Ibrahim tegar. Ia adalah sosok manusia patuh. Ia menepis mimpinya sebagai bunga tidur. Ia yakin, mimpi itu adalah titah. Karena itu, anaknya Ismail yang beranjak dewasa hendak disembelihnya. "Sesungguhnya ini benar-benar ujian yang nyata", kata Allah SWT dalam firmannya (QS. 37:106).
Firman pendek itu menunjukkan bahwa titah itu memang ada, dan Ibrahim tak gentar. Padahal perintah itu terasa tak logis.
Bagaimana mungkin anak disembelih hanya untuk membuktikan kecintaan pada Tuhan? Sungguh tak masuk akal.
Tetapi Nabi Ibrahim melampaui kita. Keimanannya adalah sebuah proses nyata yang panjang. Tak seperti keimanan kita yang cenderung instan hingga mudah goyah.
Kita simak bagaimana Ibrahim meletakkan pisau tajam di leher Ismail tanpa ia merasa sebagai subjek yang cemas, sedih, gentar hingga keakuannya ia buang. Padahal, kita tahu Ismail adalah anak yang dinanti dan dibesarkan ditengah bumi yang kering.
Namun cinta, harapan dan kerelaan tetaplah mengental pada Ibrahim. Sebab ia yakin, semua itu adalah titahNya.
Inilah bukti keimanan kuat Ibrahim. Pada akhirnya, Allah menggantikan Ismail dengan seekor domba. Dan Ibrahim lulus dari ujian.
Pencapaian Ibrahim begitu sebab keimanannya bukanlah keimanan yang rapuh. Ia patuh kepadaNya ditengah sesembahan batu para moyangnya. Inilah bentangan tantangan yang tak seberat sekantong kerupuk.
Tradisi bertuhan leluhurnya ia tentang dengan ketuhanan Ilahi yang ia yakini. Barangkali karena itu, mutu keimanan selalu disergap oleh tantangan atau ujian, bukan pujian sebagaimana pengalaman Ibrahim.
Ibrahim sang nabi, tak mungkin kembali. Berabad-abad lamanya manusia menduplikasi substansi pengorbanan Ibrahim menjadi ritual, namun tak mampu menggetarkan keimanan kita dengan segala keghaibannya.
Yang mudah kita tangkap adalah nabi Ibrahim sebuah kisah manusia yang unggul, mampu menundukkan egonya, mampu lulus dari ujian tragis, dan sebagai model keluarga kecil yang taat.
Maka, teladanilah Ibrahim dengan segala pengorbanannya untuk sebuah keimanan yang tangguh, kuat, tak mudah goyah oleh like jempol kaum ramai.(*)