OPINI
NU, Tahlil dan Pancasila yang Final
Pancasila merupakan kristalisasi dari value (nilai-nilai) yang tumbuh di masyarakat. Untuk itulah Pancasila tidak perlu lagi dikerucutkan.
Oleh: Rizal Syarifuddin
Akademisi Universitas Islam Makassar (UIM) dan Wakil Sekretaris Tanfidziyah PWNU Sulawesi Selatan
Pada suatu ketika KH Wahid Hasyim bergegas kembali ke Jombang, Jawa Timur, menemui Rais Akbar NU Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari untuk melaporkan hasil pembahasan perumusan Pancasila.
Proses perumusan Pancasila ini bukan tanpa silang pendapat. Perdebatan kelompok Islam konservatif ingin memperjelas identitas keislamannya di dalam Pancasila.
Hasil diskusi antara Kiai Wahid Hasyim dan hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari sepakat untuk mendrop/menghilangkan tujuh kata dalam piagam Jakarta yang salah satunya adalah “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, menjadi Ketuhanan yang maha esa.
Dalam pandangan Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari Nation State (Negara Bangsa) lebih utama dibandingkan negara agama, sehingga pondasi ideologi negara yang utama dikuatkan terlebih dahulu sehingga negara mampu melindungi masyarakatnya dalam beragama.
• FOTO: Peremajaan Benteng Rotterdam
Berbeda dengan negara- negara timur tengah yang lebih mengedepankan agama ketimbang menguatkan Nation Statenya, efeknya melahirkan konflik berkepanjangan karena agama punya aliran ideologi yang beragam.
Dalam perjalanannya pola relasi NU dan Negara dalam penerimaan ideology Pancasila bukan begitu mudah, tetapi melalui jalan berliku dan terjal.
Setelah masa perumusan Pancasila, Nahdaltul Ulama kembali diperhadapkan dengan Pancasila di masa ordebaru yaitu penerimaan asas tunggal.
Meskipun sebenarnya secara formal hubungan Pancasila dengan agama islam dan negara bagi NU sudah final/tuntas dibahas pada Munas Alim Ulama tahun 1983 di Situbundo yang lebih dikenal dengan Deklarasi Situbondo yang melahirkan 5 point deklarasi.
Kelima poin deklarasi itu dibuat oleh tim komisi khusus yang membahas posisi NU terhadap Pancasila.
Atas restu Rais Aam NU KH. Ali Ma’sum, komisi ini diketua oleh KH. Achmad Siddiq dan KH. Abdurrahman Wahid sebagai sekretaris. Setahun berikutnya hadil deklarasi situbondo ini di sahkan dalam Muktamar NU ke 27.
Suasana batin tim khusus yang diketuai KH. Achmad Siddiq bukan begitu mudah untuk menerima asas tunggal Pancasila.
Setiap rapat tim khusus dipantau oleh inteligen Orde Baru saat itu, sehingga perdebatan yang terjadi dalam perumusan penerimaan NU terhadap Pancasila menggunakan bahasa Arab.
• BEM dan Rektor Universitas Hasanuddin Bahas Polemik UKT
Tentu penerimaan asas tunggal Pancasila belum sepenuhnya diterima oleh Jamiyyah Nahdlatul Ulama maka para muktamirin meminta kesediaan KH. Achmad Siddiq untuk menjelaskannya.
Kiai Achmad Siddiq berseloroh, “Pancasila itu makanan. Anda sudah makan kenapa baru memperdebatkan halal haramnya”.