OPINI
Menggugat Tagihan Listrik
Perubahan skema perhitungan tagihan listrik bertentangan dengan hak konsumen untuk mendapat harga yang wajar.
Oleh: Musthakim Algozaly
Staf PBH Peradi Makassar
Beberapa pekan belakangan, masyarakat dirisaukan dengan peningkatan tagihan listrik pascabayar PLN. Peningkatannya mencapai 50-100%.
Tentu ini menjadi suatu keresahan masyarakat mengingat demand pasokan listrik adalah hal yang pasti.
Sayangnya, usaha penyedia tenaga listrik di negeri kita hanya dioperasikan oleh pemain tunggal, PT PLN (Persero). They are the ‘single player’. Sehingga praktik monopoli di sektor energi listrik tidak mungkin terelakkan.
Kebebasan pelaku usaha untuk menentukan harga dan jumlah produk barang yang beredar di pasaran tentu menjadi satu efek samping (side effect) dari praktik
monopoli.
Maka izinkan penulis mengajukan pertanyaan kepada pembaca, mungkinkah pelaku monopoli memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggannya?
Penulis berpendapat, setidak-tidaknya terdapat tiga isu hukum terkait peningkatan tagihan listrik pascabayar yang diterima masyarakat.
• Pancasila di Universitas Hasanuddin
Isu tersebut antara lain: a) transparansi dan integritas pelaku usaha. b) cidera terhadap asas itikad baik; dan c) keadaan overmacth.
Transparansi dan integritas pelaku usaha
Dalam Pasal 3 huruf e UU Perlindung Konsumen diatur bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah untuk menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
Kemudian tujuan tersebut, salah satunya, dikonkritkan dalam pasal Pasal 8 ayat (1) huruf c bahwa “Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya.”
Dengan demikian, apabila PLN menghitung tagihan listrik pada bulan April dan Mei dengan skema rata-rata penggunaan listrik selama bulan Desember 2019, Januari, dan Februari 2020 ditambah selisih tagihan Maret 2020.
Artinya tagihan selanjutnya tidak dihitung berdasarkan ukuran yang sebenarnya. Dengan kata lain, skema perhitungan penggunaan listrik didasari oleh suatu asumsi.
Cidera terhadap asas itikad baik
Dikutip dari undang-undang yang sama dalam Pasal 7 huruf a dinyatakan, pelaku usaha berkewajiban untuk beritikad baik dalam kegiatan usaha.
• 4 Fakta Mahasiswa Pakai Uang Kuliah Bayar Terapis Plus-plus, Panik Wanita Teriak dan Dibunuh
Sutan Remy Sjahdeini menyatakan bahwa itikad baik adalah niat dari pihak yang satu dalam suatu perjanjian untuk tidak merugikan mitra janjinya maupun tidak merugikan kepentingan umum.
Dalam pengoperasiannya penulis berpendapat, esensi itikad baik adalah upaya memitigasi kerugian.
Kendati kerugian tidak terhindarkan, mitra setidak-tidaknya harus mengetahui informasi tersebut sehingga ada kesempatan untuk mencari solusi agar kerugian tidak memburuk.
Sebelum tagihan April jatuh tempo, PLN tidak memastikan informasi perubahan skema tagihan diterima secara baik oleh pengguna listrik pascabayar yang berjumlah 4,3 juta pelanggan.
Justru perubahan skema tagihan dipaparkan setelah banyak keluhan yang berdatangan. Dalam situasi ini, PLN tidak menunjukkan itikad baik kepada pelanggan dikarenakan keterlambatan mensosialisasikan perubahan skema perhitungan tagihan.
Keadaan Overmacht
Perubahan skema perhitungan tagihan diakibatkan oleh petugas lapangan tidak mengukur secara langsung pemakaian listrik pelanggan.
Kebijakan PLN ini disebabkan oleh penerapan PSBB yang berlangsung sejak pertengahan April hingga akhir Mei.
• Masih Banyak Pengunjung Abai Gunakan Masker di Pasar Daya Makassar
Dapat disimpulkan bahwa keadaan overmacht yang melatarbelakangi PLN untuk tidak melaksanakan prestasinya secara normal.
Dalam Putusan MA No. 3389 K/PDT/1984 dan No. Reg. 24 K/Sip/1958 dinyatakan bahwa penerbitan suatu regulasi pemerintah tidak serta-merta menggugurkan kewajiban salah satu pihak untuk melaksanakan prestasinya.
Artinya PLN wajib membuktikan kepada pelanggannya antara lain pertama, tidak ada cara lain menghitung tagihan pada masa PSBB. Selain menggunakan rata-rata pemakaian 3 bulan terakhir.
Kedua, petugas lapangan tidak dapat merekam secara langsung kWh meter di hunian pelanggan.
Selain itu, badan usaha yang bergerak pada sektor energi listrik dikecualikan dari PSBB berdasarkan Permenkes No.4 Tahun 2020.
Artinya kewajiban dan tugas PLN selama masa PSBB tetap harus dilaksanakan yang tentunya dengan menaati protokol kesehatan.
Berdasarkan uraian di atas, sangat mungkin PLN digugat melakukan perbuatan melawan hukum dengan sejumlah argumentasi.
Pertama, perubahan skema perhitungan tagihan listrik bertentangan dengan hak konsumen untuk mendapat harga yang wajar.
• Gegara Cemburu, IRT Asal Tiroang Pinrang Tega Habisi Nyawa Anak Tirinya
Kedua, telah melanggar kewajiban hukum pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik dalam bentuk keterlambatan penyebaran informasi.
Ketiga, tidak menerapkan prinsip itikad baik dalam melaksanakan prestasinya. Memang berat tugas PLN.
Perannya diamanatkan khusus oleh peraturan perundangundangan bukan hanya sebagai entitas bisnis yang mengejar keuntungan, namun secara bersamaan bertugas menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak.
Karena alasan itu pula PLN diberikan kesempatan untuk memonopoli usaha penyediaan tenaga listrik.5 Praktis, PLN adalah pemain sentral dalam bisnis ini.
Oleh karena itu, keleluasaan tersebut harus dilaksanakan oleh PLN dengan bermartabat dan berkeadilan. (*)
Tulisan di atas telah terbit di Rubrik Opini koran Tribun Timur edisi cetak Kamis, 18 Juni 2020