Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

OPINI

Covid-19, Antara Madu dan Racun

Ditulis Amir Muhiddin, Dosen Fisip Unismuh Makassar dan Penggiat Forum Dosen Majelis Tribun Timur

Editor: Jumadi Mappanganro
TRIBUN TIMUR/DESI TRIANA ASWAN
Dosen Unismuh, Dr Amir Muhiddin 

Oeh: Amir Muhiddin
Dosen Fisip Unismuh Makassar dan Penggiat Forum Dosen Majelis Tribun Timur

Madu di tangan kananmu

Racun di tangan kirimu
Aku tak tahu mana yang
Akan kau berikan padaku

Aku tak tahu mana yang
Akan kau berikan padaku”

Lagu Madu dan Racun adalah album perdana dari gorup musik Bill & Brod yang dirilis pada tahun 1985.

Lagu ini awalnya adalah lagu berjudul "Bingung" karya Prambors Vocal Group yang ditulis pada tahun 1975. Namun didaur ulang kembali.

Ketika covid-19 berlangsung saat ini, tiba-tiba saja saya ingat lagu ini dan menghubungkannya dengan media yang sering disebut oleh ahli komunikasi sebagai pisau yang bermata dua.

Ini Rincian Anggaran Biaya Reses Anggota DPRD Makassar, Totalnya Rp 105 Juta per Orang

Saya analogikan sebagai madu dan racun. Artinya, media itu berfungsi sebagai alat untuk mngirim dan menerima pesan (informasi).

Media itu juga alat untuk memeroleh ilmu pengetahuan dan teknologi (Edukasi). Media itu alat untuk memperoleh hiburan (entertain).

Tidak kalah pentingnya, media itu menjadi sarana untuk bertransaksi, berbisnis (ekonomi).

Meski demikian media juga bisa mengirim informasi yang menyesatkan (hoax), ilmu yang merugikan, menyiksa kehidupan seseorang atau masyarakat, dan  bisa mendatangkan kerugian dalam jual beli.   

Media Sosial

Berbeda dengan edia mainstream seperti surat kabar, televisi, radio dan sebagainya, yang memilki organisasi  yang jelas, berbadan hukum, terukur dan informasinya dapat dipertanggung jawabkan.

Media sosial yang sekarang lagi booming, meskipun berbadan hukum, tetapi secara personal (bukan wartawan) bisa dimanfaatkan untuk mengrim dan menerima pesan, baik dalam bentuk berita maupun informasi.

Seringkali informasinya benar, tetapi tidak sedikit yang hoax, kadang-kadang mendidik dan menghibur.

Tetapi acapkali menyiksa dan menjadi sumber malapetaka dan konflik di masyarakat.

New Normal, BCA Mudahkan Nasabah Lewat Layanan Digital

19 adalah salah satu contoh yang sering menjadi objek  pemberitaan. Sifat dan tujuannya adalah  sosialisasi dan edukasi.

Namun  kontennya tidak jelas, sumber dan referensinya tidak dicantumkan dan  validitas datanya diragukan.

Banyaknya masyarakat di berbagai tempat yang menolak rapid test.

Demikian juga beberapa kasus ambil paksa jenazah keluarga yang sudah positif covid 19 adalah contoh dari masyarakat yang sudah diterpa dan terkontaminasi berita hoax dari media sosial.

Mereka memperoleh berita dan informasi bahwa pemerintah dan rumah sakit sedang berbisnis di tengah penderitaan warganya. 

Juga beredar info bahwa covid 19 adalah virus biasa dan berbagai berita miring tentang covid-19 lainnya.

Di lain sisi, fungsi media sosial pada masa pandemi covid-19 ini memang sangat membantu masyarakat dan pemerintah dalam proses pembelajaran daring.

Demikian juga dalam jual beli dan taransaski yang sulit dilakukan secara langsung. Ini sisi positif atau madu media sosial.

Pada suatu kesempatan diskusi daring yang dilenggarakan oleh Forum Dosen dan Tribun Timur beberapa bulan lalu, Rektor UNM Prof Hasain Syam mengemukakan bahwa apa yang kira-kira akan terjadi bagi kita semua, seandainya covid 19 ini berlangsung dan infrasturuktur hasil revolusi industri 4.0 belum hadir?

Mungkin kita sudah sulit untuk melakukan aktifitas.

Warga Paselloreng Gugat BPN Wajo Terkait Ganti Rugi Lahan Bendungan

Tetapi alhamdulillah, kita melaksanakan protokol kesehatan, menjaga jarak dan menghindari kerumunan, tetapi aktifitas bisa berjalan dengan baik, tentu dengan bantuan media sosial.

Mimpin para futurulog seperti Alfin Toffler beberapa puluh tahun yang lalu bahwa pada suatu hari, melalui revolusi komunikasi dan informasi dunia akan menjadi satu, kini menjadi kenyataan.

Demikian juga ramalan-ramalan para ahli tentang keajaiban revolusi 4.0 yang melahirkan produk digitaliasi dan berbagai macam aplikasi, memengaruhi secara massif berbagai perilaku manusia.

Juga memengaruhi pelayanan publik, tata kelola pemerintahan dan sebagainya. Hal ini adalah bukti otentik bahwa media sosial memang membawa angin segar dalam kehidupan manusia.

Madu dan Racun

Kembali ke Covid-19 bahwa media sosial akhirnya menggandeng dua muatan yang ujung-ujungnya berisi madu dan racun.

Dalam tulisan di Kompas (20/4), Prof Dwi mengemukakan bahwa pemerintah dan masyarakat kita saat ini bukan hanya melawan bahaya covid 19, akan tetapi juga melawan turunannya yang disebut  laskar sosial aliansi corona.

Siapa mereka? Disebut oleh beliau virus–infodemic dan hiper- realitas covid 19.

Yang pertama dipicu oleh mis-informasi tentang covid 19 dan kedua dipicu oleh mis-opini yang objektif dan subjektif terhadap covid 19.

Warga Bantaeng Butuh Bantuan Bersihkan Rumah Akibat Banjir, Hubungi Tim Bersih-Bersih, Gratis!

Virus–infodemic menurut beliau simtomnya bisa berakibat pada saling tidak percaya antara masyarakat dan pemerintah dalam menangani covid-19 dan pada masyarakat itu sendiri akan berkibat pada tingkat kecemasan masyarakat semakin tinggi disertai ketakutan kolektif  semakinn meluas.

Virus–infodemic menurut Prof. Dwi, memang sulit dilawan. Apalagi kita berada di era  post-trith society, era dimana kebenaran tak lagi jelas posisinya bahkan  kadang-kadang sangat nisbi.

Melalui informasi yang beredar bisa kebenaran menjadi kebohongan dan sebaliknya kebohongan menjadi kebenaran.

Informasi mudah membangkitkan emosi masyarakat dan acapkali mengabaikan fakta dan data serta mendramatir  realitas.

Lawan berikutnya menurut Prof Dwi adalah Hiper-realitas covid 19 merujuk pada perspektif tentang hyper relaity dari Berger dan Luckman (1967), ini biasa diartikan sebagai imajinasi super ideal yang dituntut dari pemerintah dalam penanganan covid 19.

Idenya berbaur antara opini objektif dan subjektif, yang berbahaya jika dilandasi dengan benturan berbagai kepentingan politik dengan tujuan menciptakan instabilitas kekuatan politik pemerintah.

Hiper Hiper-realitas bisa menggiring terbentuknya persepsi masyarakat bahwa akan terjadi instabilitas sosial  ekonomi, politik,  akibat kegagalan menangani covid 19.

Hal ini bisa menjadi sumber kecemasan dan ketakutan yang lebih meluas dan mendorong masyarakat melakukan hal-hal yang irasional, belanja panik atau meningkatkan social untrast bagi pekerja atau buruh dan kelompok masyarakat miskin karena memikirkan nasibnya.

KataNone di Tribun Hadirkan Penjahit Terdampak Covid-19

Kita berharap semua agar masyarakat lebih bijak menggunakan media sosial agar fungsinya selalu ke jalan yang benar.

Bukan jalan-jalan setan yang selalu membawa informasi yang tidak benar.

Mari kita budayakan membaca dan mencari sumber informasi yang terpercaya, membiasakan diri melakukan check and recheck.

Serta menjadikan media sosial sebagai pembawa berkah karena mengandung madu. Bukan racun. Semoga!

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Nikah Massal

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved