Kolom Ahmad M Sewang
Antara Budaya Bunga dan Budaya Makan
Beda dengan budaya ditanah air, yang penulis sebut budaya makan. Dalam suka dan duka selalu disertai dengan makan-makan.
Beberapa kali dosen yang tidak setuju membebani mahasiswa membawa makanan ketika ujian sekrepsi, tesis, dan disertasi.
Bahkan dosen yang tidak setuju menseminarkan, misalnya di UIN Alauddin dengan mengundang banyak peserta.
Alasannya, kasihan mahasiswa. Mereka belum punya kerjaan. Maka beban itu pasti kembali lagi ke orangtuanya.
Tetapi, ada pimpinan perguruan tinggi pun menjawab dengan enteng, "Kami sama sekali tidak pernah menyuruh mereka untuk membawa makanan."
Sampai sekarang, menurut pengamatan penulis, tidak ada satu pun perguruan tinggi yang bisa menghentikannya.
• Jika Messi Beri Saran, Dengarkan! De Jong: Hal Kecil yang Disampaikan Bisa Mengubah Permainan
Ini karena sudah jadi budaya yang sulit menghilangkannya. Sama dengan budaya bunga di dunia Barat yang mulai berpengaruh ke tanah air.
Dunia Barat, mungkin menganggap budaya makan adalah mubazir.
Tetapi, sebaliknya mungkin juga di antara kita beranggapan budaya bunga itu juga mubazir.
Menurut ahli budaya tidak perlu saling mengejek. Seharusnya saling menghormati budaya masing-masing.
Jika saling mengejek, tidak akan bisa selesai.
Seperti kambing bertanya dengan heran setelah melihat ayam, "kenapa tandukmu di kaki"?
Tetapi, ayam pun bertanya pada kambing, "Kamu, kenapa tandukmu di kepala?"
Sebaiknya, saling menghargai budaya masing-masing.
Namun mampaknya, menurut pengamatan penulis yang bisa mengubah budaya makan adalah pandemi covid-19 yang membuat segala aktivitas berubah dan dipusatkan di rumah masing-masing.
• VIDEO: Kantor Balaikota Makassar Terapkan Protokol Kesehatan Cegah Penyebaran Covid-19
Berkantor, belanja, mengajar dan menguji pun di rumah.