Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

OPINI

Covid-19: New Normal Life, Pilihan Tepat Tapi Berat

Dalam pelaksanaannya tidak ada upaya paksa, sehingga penegakan hukum tidak bisa optimal. Sementara di sisi lain, penularan Covid-19 terus bertambah.

Editor: Jumadi Mappanganro
handover
Sudirman Sanuddin, SKM, M.Kes., Ph.D 

Kecuali, suatu negara atau daerah mengabaikan syarat-syarat WHO tersebut. Namun perlu diketahui bahwa tradisi penetapan kebijakan di tubuh WHO senantiasa melalui berbagai pertimbangan.

Juga dengan kajian akademik oleh banyak ahli yang relevan dan sangat kompoten. Istilahnya “bukan kaleng-kaleng”.

Eksklusif! Live, Konjen Australia di Makassar Berbagi Pengalaman Menarik Tugas di Indonesia Timur

Kedua, kebijakan pemerintah. Penerapan program new normal dapat saja menjadi berat dengan variabel pemerintah sendiri sebagai penyebabnya. Terutama jika kita berkaca pada pelaksanaan PSBB.

Di tengah penerapan PSBB, pemerintah berkali-kali menampilkan kelemahannya. Misalnya, terbitnya kebijakan yang tumpang tindih, koordinasi yang lemah hingga penerapan PSBB yang sangat longgar. Tidak tegas.

Menurut pengamat politik Unair, Suko Widodo (2020), PSBB di Surabaya gagal karena pelaksanaannya longgar dan tidak ada persiapan masyarakat sebelumnya.

Sedangkan menurut Pengamat politik di Sumatera Barat, Yosmeri (2020), kegagalan PSBB di Padang karena pemerintah tidak mampu menyiapkan jaring pengaman sosial yang memadai.

Sembako kemudian tidak sampai kepada sasaran atau pihak yang berhak menerima. Mereka keluar rumah, karena tidak tahan dengan tekanan ekonomi. Mereka mau makan dan minum.

Dengan demikian, pemerintah sejogyanya juga perlu berbenah. Mengevaluasi kebijakan dan program yang diterapkan selama ini. Hasilnya dapat menjadi bahan perbaikan dalam penerapan new normal.

Kekompakan pemerintah mulai dari pusat hingga ke daerah juga merupakan syarat primer untuk suksesnya program new normal itu. Metodenya sederhana. Kesampingkan dulu kepentingan politik.

Kedepankan kepentingan sosial dan masa depan bersama. Bukan kelompok yang sektarian. Pemerintah harus memimpin pelaksanaan program new normal dengan tegas dan berkeadilan. Berlaku untuk semua. Tanpa kecuali.

Ketiga, partisipasi masyarakat. Sebagaimana penulis uraikan pada opini sebelumnya, bahwa partisipasi masyarakat sangat urgen dalam penanganan Covid-19. Bahkan masyarakatlah sesuangguhnya merupakan garda terdepan (frontlines) dalam peperangan ini. Bukan yang lain.

Oleh karena itu, masyarakat harus memilki pengetahuan yang memadai tentang cara melindungi diri dari penularan Covid-19. Masyarakat harus bisa sadar dan sabar untuk berdiam diri di rumah.

Senantiasa menjaga jarak minimal 1-2 meter. Rajin mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir. Memakai masker ketika keluar rumah. Juga senantiasa menghindari kerumunan, dan sebagainya.

Namun dalam kenyataannya, harapan-harapan ini jauh dari kenyataan. Masyarakat masih keluar rumah seperti biasa. Malas menggunakan masker. Masih berkumpul di warung kopi, kafe, dan sebagainya.
Mereka tampil seperti tidak terjadi apa-apa. Upaya petugas gugus kemudian dianggap angin lalu. Dan ironisnya, sikap dan perilaku ini hampir sama di seluruh wilayah negeri. Berat. Masyarakat kita tidak adaptif dengan perubahan.

Bahkan kadang-kadang membangkan terhadap pemerintah yang menawarkan perubahan (perilaku baru).

Dengan demikian, program new normal tidak bisa serta merta diterapkan. Tetapi harus melalui kajian, dan selanjutnya konsep pelaksanaannya dipersiapkan secara matang.

Jika memungkinkan dilakukan survei, sehingga perilaku masyarakat dapat dipetakan dengan baik. Selanjutnya, kebijakan, stretagi dan program yang dipilih relevan dengan kondisi lokal masyarakat.

Ruang partisipasi masyarakat juga harus dibuka lebar. Mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi program. Dari sini masyarakat bisa memahami, melaksanakan hingga merasa memiliki setiap program yang dikembangkan.

Selanjutnya, merekalah yang berkesadaran untuk mengajak masyarakat lainnya (peer educator). Berpartisipasi, dan bergotong-royong menangani Covid-19.

Artinya tersedia solusi. Adapun makna ‘berat’ dalam uraian di atas, tidak berarti tidak bisa diterapkan. Posisinya cenderung sebagai peringatan. Bahan untuk saling mengingatkan.

Bahwa program new normal harus disambut dengan persiapan yang matang. Bukan dengan euphoria yang berlebihan. Pelaksanaannya pun harus tegas tapi terukur dan terkendali. Tidak liar.

Peringatan ini sangat penting, terutama dalam rangka mencegah efek kobra new normal life. Wujudnya berupa serangan gelombang kedua yang lebih dahsyat.

Serangan yang berawal dari munculnya klaster-klaster baru karena pelonggaran yang tidak terkendali.

Seperi klaster pekerja, kantoran, mall, sekolah dan sebagainya (Ridwan Amiruddin, 2020). Terkait dengan ini, kita bisa menjadikan pelajaran wabah Flu Spanyol pada tahun 1918 (baca: sejarah wabah).

Serangan gelombang kedua menginfeksi 500 juta orang lebih di seluruh dunia. Sekitar 20-50 juta orang diantaranya meninggal dunia.

Fenomenanya, masyarakat merasa sudah aman. Ternyata mereka OTG (Orang Tanpa Gejala). Positif tapi tidak bergejala. Penularan kemudian terjadi secara massif. Tapi tidak diketahui.

Oleh karena itu, sekali lagi program new normal life harus dipersiapkan dengan matang. Pemerintah perlu menyiapkan konsep dan teknis pelaksanaan yang efektif dan efisien.

Semua sumber daya yang tersedia harus dilibatkan dengan peran masing-masing. Sesuai kompetensinya. Sarana-prasarana disiapkan di banyak tempat.

Di kantor-kantor, kampus, sekolah, pusat perbelanjaan, dan lainnya. Seiring dengan itu, pengetahuan dan kesadaran masyarakat ditingkatkan. Selanjutnya, melalui program new normal mereka dapat bekerja kembali.

Sambil berpartisipasi secara optimal dalam penanganan Covid-19. Mengikuti protokol kesehatan secara disiplin.

Untuk skala daerah yang serba terbatas tetapi program new normal sudah harus diterapkan, maka kajian atau penilaian tentang kesiapan daerah dalam menerapkan program new normal bisa disederhanakan.

Misalnya, cukup menggunakan Teori Perubahan Perilaku Lawrence Green (1980) untuk melakukan penilaian sendiri (self assessment). Bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh tiga faktor.

Dalam hal ini meliputi predisposisi (predisposing factors), faktor pemungkin (enabling factors) dan faktor penguat (reinforcing factos). Faktor predisposisi berorientasi pada penyiapan masyarakat dalam menghadapi perubahan.

Dalam hal ini, konsep new normal dapat diinternalisasi secara persuasif ke dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, norma sosial dan unsur-unsur lain yang terdapat dalam diri individu dan masyarakat.

Selanjutnya mereka memiliki bekal yang diperlukan dalam menghadapi pandemi Covid-19. Adapun faktor pemungkin berupa kesiapan fasilitas atau sarana-prasarana kesehatan yang diperlukan.

Dalam konteks penanganan Covid-19, air mengalir, sabun dan wastafel harus tersedia di tempat-tempat startegis. Atau hand sanitizer jika air tidak tersedia.

Masker juga harus dapat diakses dengan harga terjangkau. Jika memungkinkan gratis. Dan kesiapan sarana-prasarana lainnya. Termasuk Rumah Sakit dan sistem layanan kesehatan yang terkoordinasi dengan baik.

Sedangkan faktor penguat berorientasi pada komitmen dan kebijakan pemerintah yang kuat. Termasuk regulasinya yang mendukung. Selain itu, dukungan tokoh-tokoh masyarakat yang berpengaruh pada tingkat daerah, juga sangat diperlukan.

Akhirnya, secara akumulatif berlangsung kolaborasi dalam skala besar. Dengan satu tujuan, menangani pandemi Covid-19.

Jika semua sudah dipersiapkan dan dijalankan secara optimal, maka selanjutnya kita tinggal berdoa kepada-Nya.

Semoga penyebaran Covid-19 ini dapat dikendalikan dengan baik, dan selanjutnya kita bisa hidup normal dan produktif lagi. Seperti sediakala. Aamiin.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Kajili-jili!

 

Kajili-jili!

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved