Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

OPINI

Beragama di Tengah Pandemi Covid-19

Ini membuktikan bahwa sesungguhnya beragama, keberagamaan bahkan ritual beragama adalah sesuatu yang cair dan mungkin berubah.

Editor: Jumadi Mappanganro
HANDOVER
Dosen UIT Syamsul Arif Galib mewakili Indonesia dalam program pertukaran tokoh muda Islam Australia Indonesia atau Australia- Indonesia Muslim Exchange. 

Oleh: Syamsul Arif Galib
Dosen Studi Agama-Agama UIN Alauddin Makassar

Dalam sejarah keberagamaan manusia, berjamaah atau berkumpul bersama dan melaksanakan ritual keagamaan adalah bagian yang dianggap memegang peran vital dalam beragama.

Secara teologis, para penganut agama percaya bahwa melaksanakan ibadah secara bersama dapat memberikan mereka nilai pahala yang ‘berlebih’ dibanding ibadah yang dilakukan secara personal.

Secara sosiologis, ibadah berjamaah dianggap berbeda dengan ibadah sendiri karena ibadah yang dilakukan dengan berkumpul bersama mampu menghasilkan energi kolektif yang hanya muncul jika sekelompok orang melakukan hal yang sama bersama-sama.

Emile Durkheim, seorang sosiolog asal Prancis dalam bukunya The Elementary Forms of the Religious Life (1912) menyebutnya dengan sebutan Collective Effervescence atau Uforia Kolektif.

Semacam energi khusus yang luar biasa yang muncul di saat orang berkumpul bersama. Uforia kolektif yang muncul ini berfungsi dalam menyatukan dan menciptakan perasaan emosional di antara mereka yang berkumpul.

Tebas Jagoan Kampung di Keera Wajo, Satu Pelaku Menyerahkan Diri

Uforia kolektif semacam ini dapat pula kita temukan meskipun bukan momen religius atau hal yang profan. Sebut saja dalam pertandingan sepak bola.

Itu yang menjawab kenapa seseorang akan lebih senang menonton pertandingan sepak bola secara “berjamaah” di Stadion dibanding menonton sepak bola sendiri di depan televisi di rumah mereka.

Itu karena ada energi “khusus” yang muncul di saat sesuatu dilakukan secara berjamaah. Demikian halnya ibadah.

Itu juga yang akhirnya menjawab, kenapa seseorang menemukan kenyamanan saat melaksanakan Ibadah berjamaah dibanding ketika dirinya melaksanakan Ibadah sendiri.

Sendi keberjamaahan itu yang menjadi terbatasi, ketika Pandemi Korona hadir di tengah masyarakat. Terhitung hampir semua negara di dunia berjibaku menghadapi kehadiran virus ini.

Banyaknya jumlah korban dan begitu cepatnya penyebaran virus ini sehingga kemudian di banyak negara di dunia keputusan untuk melakukan Phisycal distancing menjadi keharusan.

Konsekwensinya, segala bentuk peribadatan yang dilakukan bersama-sama akhirnya harus dihentikan untuk sementara.

Itu yang menjadi alasan kenapa masjid, wihara, candi, gereja, sinagog, gurdwara, mashriqu'l adhkar ataupun kuil ditutup untuk sementara waktu dan proses peribadatan berjamaah akhirnya hanya dapat dilakukan di rumah.

BREAKING NEWS: 3 Pegawai Unhas Positif Corona, 2 Diantaranya dari Fakultas Kedokteran

Tentu tidak semua orang akan senang dengan kebijakan semacam ini. Sebahagian orang beranggapan bahwa kebijakan semacam ini adalah kebijakan yang anti agama.

Atau bahkan upaya negara menjauhkan ummat beragama dari tempat ibadahnya. Kita melihat orang yang marah karena melihat ini sebagai serangan atas agama atau pembatasan atas ekspresi keberagaman.

Ada yang marah ketika Mesjid ditutup, ada yang ngotot melaksanakan Misa di gereja meski larangan beribadah di gereja untuk sementara dihentikan.

Pro kontra soal pandemi sesungguhnya bukan hal yang baru jika ditinjau dari bagaimana ummat beragama menyikapi pandemi.

Sejak dahulu, ada dua kutub pemikiran agama yang berkembang dan dalam beberapa kesempatan saling menyerang.

Mereka yang melihat agama secara tekstual dan mereka yang melihat agama secara kontekstual.

Mereka yang cenderung beragama secara fatalistik cenderung akan menolak pembatasan ibadah meski dilakukan dalam keadaan darurat.

Tidak heran jika kita menemukan seorang penceramah misalnya dengan yakin mengatakan bahwa gampang menyelesaikan Korona.

Dipulangkan dari Malaysia, 48 TKI Bone Dijemput Tim Satgas di Pelabuhan Pare-Pare

Cukup mengirim jamaah ke tempat Korona. Virus Korona takut Jamaah.

Dalam posisi menghadapi Pandemi, maka cara melihat beragama secara kontekstual menjadi sangat diperlukan.

Ritual-ritual ibadah tidak bisa dipaksakan begitu saja jika itu justru berpotensi membahayakan jiwa seseorang. Itulah sebabnya ada fleksibilitas dalam beragama.

Agama itu tidak kaku meski bukan berarti bahwa agama juga dapat digampang-gampangkan.

Fleksibilitas Beragama

Sesungguhnya sejarah beragama menunjukkan kepada kita bahwa beragama adalah sesuatu hal yang fleksibel. Dalam artian, agama bukanlah sebuah hal yang tidak bisa berubah.

Hal itu terlihat dalam model ekspresi keberagaman manusia dan bahkan dalam model ritual peribadatan agama.

Semboyang bahwa sebuah agama relevan untuk setiap zaman dan tempat tidak hanya dipahami bahwa kemanapun suatu agama itu dibawa maka dia akan fit dengan kondisi masyarakat.

Semboyang itu juga dapat dipahami bahwa agama dapat menyesuaikan dengan tatanan masyarakat atau kondisi yang ada tanpa harus mengubah akar utama dalam agama tersebut.

Baru-baru ini, kita menyaksikan bagaimana akhirnya shalat Idul Fitri dilaksanakan di rumah atau ibadah shalat berjamaah dengan shaf yang berjarak.

Hal yang bagi sebahagian orang tidak pernah terbayangkan sebelumnya akan terjadi.

Kita menemukan umat Kristen yang melaksanakan Misa tidak di gereja namun di rumah melalui aplikasi Zoom atau Youtube.

Benarkah Anies Baswedan Akan Lawan Jokowi Penerapan New Normal Jakarta? Kata Rocky Gerung

Atau bahkan kita menyaksikan bagaiman perayaan Waisak yang biasanya dirayakan dengan berjamaah oleh ummat Budha akhirnya dirayakan secara online.

Ini membuktikan bahwa sesungguhnya beragama, keberagamaan bahkan ritual beragama adalah sesuatu yang cair dan mungkin berubah.

Fungsi Agama

Agama selain membincang tentang relasi manusia dengan Tuhan, dalam banyak hal juga membincang relasi manusia dengan sesama manusia, bahkan relasi manusia dengan alam sekitar.

Hal ini juga menjadi bukti bahwa fungsi agama tidak hanya sekedar sebagai jalan spiritualitas personal manusia mencapai Tuhan namun juga diyakini juga memiliki fungsi sosial.

Fungsi sosial beragama inilah yang justru sering dilupakan.

Romo Heru Prakosa, SJ dalam komunikasinya dengan penulis menyebutkan bahwa iman memiliki tiga dimensi. Ajaran, ungkapan dan perwujudan.

Ajaran adalah doktrin dan teologi yang kemudian kita kenal dengan sebutan Aqidah. Ungkapan yakni tata peribadaatan dan doa yang kemudian kita kenal dengan ibadah.

Dimensi Ketiga yakni perwujudan. Yakni pengamalan. Itulah yang disebut Amal.

Bagi Romo Heru, di masa seperti ini, iman kita ditantang untuk diwujudkan dalam solidaritas dengan mereka yang menderita sakit atau kesulitan ekonomi.

Melalui pengabdian di tengah saudari-saudari kita yang kita jumpai di sekitar kita sehari-hari.

Di masa Pandemi seperti ini, fungsi sosial agama menjadi penting.

Mereka yang melihat isu Pandemi seolah menjadikan ummat beragama dijauhkan dari tempat ibadah dan ritual ibadahnya, jangan-jangan hanya memahami agama hanya sebagai sekumpulan ritual semata.

Melihat agama secara eksoterik semata. Padahal, di masa pandemi seperti ini agama harus tetap ada dan diwujudkan dalam bentuk-bentuk kepedulian terhadap mereka yang membutuhan.

Tidak benar bahwa agama menjadi hilang hanya karena peribadatan tidak dilakukan di rumah ibadah untuk sementara waktu.

BREAKING NEWS: Bengkel Motor Terbakar di Maros, Dekat dari SPBU

Syaikh Isa Nurruddin Ahmad atau Frithjof Schuon menuliskan tentang dua aspek agama yakni eksoterik dan esoterik.

Eksoterik adalah form dan esoterik adalah spirit (The Transcendent Unity of Religions; 1984). Aspek eksoterik sering dipahami sebagai aspek luar dalam beragama.

Hal itu terlihat dalam bentuk, dgoma atau ritual yang dilaksanakn oleh penganut agama. Sedangkat esoterik dimaknai sebagi spirit agama, inti agama atau hakikat utama agama.

Dalam masa Pandemi seperti ini, eksoterisme beragama mungkin terlihat terbatasi. Namun secara esoterik, nilai-nilai beragama akan tetap selalu ada, dilaksanakn dan diperjuangkan.

Untuk itulah pemahaman akan nilai nilai agama menjadi penting.

Di masa pandemi, agama akan tetap terus ada. Sejarah membuktikan bahwa meski berbagai Pandemi telah hadir namun agama tetap bertahan di muka bumi.

Yang perlu dilakukan ummat manusia atau ummat beragama adalah fleksibel dalam beragama. Hal ini penting untuk memastikan kehidupan ummat manusia.

Jika manusia punah maka tentu tidak ada lagi ummat beragama. Tidak ada lagi ibadah berjamaah. Tidak ada lagi agama. (*)

Wallahu A’lam bi Asshwwab.

Artikel ini telah terbit di halaman Opini koran Tribun Timur edisi cetak Jumat, 5 Juni 2020

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved