Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

OPINI

Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal

Dengan adanya Pemilu Lokal dan Pemilu Nasional, maka pemilahan ini menguntungkan bagi tumbuhnya akuntabilitas demokrasi.

Editor: Jumadi Mappanganro
dok Tribun Timur
Fajlurrahman Jurdi 

Oleh: Fajlurrahman Jurdi
Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Kini RUU tentang Pemilu sedang dibahas di DPR. RUU ini tentu saja akan mengganti dan/atau merevisi UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.

Penggantian atau revisi itu bisa diikuti dengan mengganti nama undang-undang, misalnya RUU tentang Kitab Undang-Undang Pemilihan Umum, RUU tentang Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal atau RUU tentang Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah.

Penamaan ini tentu tergantung kesepakatan antara DPR dengan Presiden selama proses pembahasan, dan pilihan-pilihan nama juga tergatung politik hukum di DPR.

Jelas, bahwa upaya mengubah atau mengganti undang-undang Pemilu ini dianggap penting, karena ada sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang harus dimasukkan dalam bentuk norma undang-undang.

Setidaknya ada tujuh (7) putusan yang dikabulkan oleh MK terkait UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu dan ada enam (6) putusan yang dikabulkan oleh MK terkait UU Pemilihan.

Sekretaris Satpol PP Maros Ditahan karena Kasus Tanah

Putusan-putusan itu harus di eksekusi melalui politik hukum oleh DPR agar ditetapkan menjadi norma UU dengan memperhatikan ketentuan Pasal 10 ayat (1) hurf d UU Nomor 12 tahun 2011 sebagaimana telah diubah menjadi UU Nomor 15 tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan perundang-Undangan.

Terkait dengan pemilahan antara Pemilu Lokal dan Pemilu Nasional sebenarnya adalah berdasarkan pertimbangan putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019 yang memberikan salah satu alternatif bahwa; “Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan Gubernur, dan Bupati/Walikota”.

Maksud putusan MK ini adalah perlu ada jeda waktu bahwa setelah diselenggarakannya Pemilu Nasional, beberapa waktu setelahnya diselenggarakan Pemilu Lokal.

Hal ini bisa kita tafsirkan bahwa potongan kalimat “beberapa waktu setelahnya” bisa dimaknai, pemilu lokal sebaiknya dilaksanakan 2,5 (dua tahun setengah) setelah pemilu nasional.

Jadi posisi Pemilu lokal adalah ditengah-tengah rentang jarak waktu pemilu nasional. Hal ini juga penting agar partai politik bisa dievaluasi oleh publik secara berkala selama 2,5 tahun.

Setelah Pemilu Nasional berlangsung, maka Parpol dibiarkan untuk bekerja dan menunjukkan komitmen pada janji politik selama Pemilu Nasional berlangsung.

Jika ternyata rakyat merasa kecewa terhadap partai tersebut, maka mereka bisa menghukumnya di Pemilu Lokal dengan cara tidak memilih lagi kandidat dari partai itu.

Bupati Luwu Minta ASN Mulai Terapkan Tatanan Normal Baru

Begitu juga berlaku setelah Pemilu Lokal. Selama 2,5 tahun menuju Pemilu Nasional, bila kader-kader partai yang terpilih di Pemilu Lokal tidak bisa memenuhi harapan rakyat dan merasa kecewa dengan partai itu, maka mereka bisa menghukumnya di Pemilu Nasional.

Dengan demikian, jarak evaluasi bagi rakyat terhadap partai yang tidak memenuhi amanah dan janji politiknya tidak terlalu panjang, tidak mesti menunggu lima tahun, cukup 2,5 tahun, mereka bisa melakukan evaluasi.

Rekayasa konsep ini sebenarnya sudah lama dibahas dan dikaji oleh para ahli Pemilu di Indonesia.

Mereka membayangkan bahwa dengan singkatnya jarak waktu evaluasi bagi partai politik, mereka bisa lebih serius bekerja dan memikirkan kepentingan rakyat ketimbang urusan perut dan penumpukan kekayaan pada segelintir oligarki.

Dengan adanya Pemilu Lokal dan Pemilu Nasional, maka pemilahan ini menguntungkan bagi tumbuhnya akuntabilitas demokrasi.

Karena itu, saat ini RUU Pemilu yang dibahas terdiri atas 723 Pasal yang terbagi atas enam (6) buku, dimana hal ini pula yang membuatnya lebih panjang pengaturannya dibanding UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang hanya 573 Pasal.

5 Anjuran IDAI Sulsel Terkait Kegiatan Belajar Mengajar di Masa Pandemi Covid-19

Tentu saja pembahasan RUU Pemilu ini harus cermat dan memperhatikan secara teliti dan cermat berbagai ketentuan yang ada, juga memperhatikan silang-sengketa yang terjadi akibat sejumlah Pasal yang multitafsir pada UU Nomor 7 tahun 2017.

Dengan kecermatan dan ketelitian dalam pembahasan RUU Pemilu, rekayasa Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal bisa berjalan lebih efektif dan se-dapat mungkin menghindari norma-norma yang bisa menimbulkan tafsiran ganda.

Norma yang ditetapkan harus cermat dan memenuhi unsur kepastian hukum bagi semua pihak, agar penyelenggara, pengewas Pemilu, peserta dan para pihak tidak kesulitan memahami norma yang ditetapkan.

Wallahu a’lam bishowab.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved