Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini tentang Covid 19

Covid-19 dan Kontrol Kekuasaan, Perang Wacana di Tengah Pandemi Corona, Publik Tak Berdaya

Hingga kini masyarakat global tidak punya pengetahuan cukup, berbagai masalah sosial dan medis wabah Covd-19

Editor: AS Kambie
zoom-inlihat foto Covid-19 dan Kontrol Kekuasaan, Perang Wacana di Tengah Pandemi Corona, Publik Tak Berdaya
dok tribun-Timur/diwan
Adi Suryadi Culla, Dosen FISIP Unhas/Ketua Dewan Pendidikan Sulsel/Koordinator Forum Dosen

Oleh
Adi Suryadi Culla
Dosen FISIP Unhas/Ketua Dewan Pendidikan Sulsel/Koordinator Forum Dosen

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Covid-19 dari awal telah menimbulkan ragam pertanyaan kritis. Tulisan ini dibuat karena kerisauan akibat begitu banyak informasi seputar virus tersebut beredar, namun tidak terjelaskan secara absah dan empiris. Bahkan diwarnai begitu banyak informasi palsu alias hoaks, dan menjadi santapan publik tak terkontrol.

Fatalnya, publik global seolah “tak berdaya”. Akses pengetahuan menjadi soal. Malah muncul polemik dan “perang wacana” selama pandemi. Banyak peristiwa jadi berita, diskursus dan deliberasi informasi meluber, juga data statistik korban beredar -- namun tak terjelaskan tuntas. Kritisisme publik tumpul dalam pengetahuan tentang apa yang tersembunyi dan disembunyikan.

Tesis Foucault
Tesis Michel Foucoult (1926-1984) yang dikembangkan dari seluruh karyanya sebagai filosof, sosiolog, sejarawan dan pemikir politik terasa relevan, jika kita menyoal kesulitan memahami kebenaran obyekif di seputar fenomena Covid 19. Perspektif Foucault mencuatkan: kekuasaan hanyalah bagi mereka yang punya pengetahuan. Relasi pengetahuan dan kekuasaan berpijak logika, bahwa kebenaran ditentukan oleh kekuasaan, pun sebaiknya kekuasaan ditentukan oleh pengetahuan.

Perspektif kritis Foucalt, bahwa hidup di era kini, kekuasaan tak lagi diukur dari sumber kekayaan, pengauh dan bentuk kekuatan fisik lainnya. Kekuasaan pun tak lagi di tangan pemerintah semata, atau pelaku tertentu, tapi sudah tersebar ke berbagai unit sosial. Juga bukan semata sebagai prosedur, tapi juga proses. Tak lagi sentralistik dan konsentratif, tapi dinamis distributif dan bergerak sirkulatif.

Dalil utama Foucault: kekuasaan dan pengetahuan saling terkait. Kekuasaan menghasilkan pengetahuan, pun sebaliknya.Tidak ada hubungan kekuasaan tanpa terkait dengan pengetahuan, dan tidak ada pengetahuan tidak mengandaikan serta tidak dibentuk oleh relasi-relasi kekuasaan. Pengetahuan tidaklah bersumber pada subjek tertentu, namun dibentuk dan bersumber dari / oleh relasi kekuasaan.

Logikanya secara Foucauldian: tidak memiliki pengetahuan, berarti menjadi obyek penderita – jika bukan mangsa kekuasaan. Kini, pola kekuasaan berubah, bertaut esensial dengan pengetahuan.

Itulah sebab, proses diskursus publik sebagai kontestasi sharing pengetahuan, tak lain juga proses interrelasi kekuasaan. Hasilnya: di satu sisi memproduksi kepatuhan dan disiplin sebagai produk kontrol kekuasaan dan pengetahuan, di sisi lain definisi kebenaran dan pengetahuan pun ditentukan oleh relasi kekuasaan dan pelakunya.

Kesadaran Kritis
Hingga kini masyarakat global tidak punya pengetahuan cukup, berbagai masalah sosial dan medis wabah Covd-19. Terasa relevan tesis Foucault, tentang relasi kekuasaan yang menyertai di balik berbagai peristiwa apapun. Pengetahuan publik yang diterima seputar wabah Covid-19, serta berbagai fakta yang sesungguhnya di balik itu, termasuk pengangannya, adalah berada di bawah kontrol interrealsi para aktor kekuasaan negara, pemerintah, bisnis atau lainnya.

Bisa dimulai dari pertanyaan seputar sumber awal wabah itu, dari mana asalnya, dan seterusnya hingga soal vaksin dan teori aneka spesis jenis penyakit itu sendiri.

Digambarkan virus yang diberi nama oleh WHO sebagai Covid-19 itu, berawal dari Tiongkok. Tepatnya,di wilayah bagian tengah Cina, ibu kota Provinsi Hubei. Sejak era kepemimpinan Deng Xiaoping, hingga Xi Jimping kini, konon pengembangan senjata biologis ini sudah menjadi ambisi Cina. Proyeksinya: antisipasi ancaman “senjata baru” pasca Perang Dingin; dan mungkin juga terkait kepentingan bisnis.

Namun demikian, faktanya Tiongkok membantah sorotan proyek senjata biologis itu. Bahkan kalau pun mengakui keberadaan Lab di Wuhan, namun menolak tudingan bahwa Covid-19 bersumber dari kebocoran laboratorium di Wuhan.

Lalu dari mana asal virus tersebut? Ironisnya, malahan Tiongkok dan Amerika saling tuduh dan tuding sebagai sumber virus dan peretas. Cina menuding Amerika sebagai sumber serangan. Di sisi lain Donald Trump membalas ekstrim, malahan Covid-19 disebutnya “China Virus”, serangan Tiongkok terhadap Amerika.

Lebih satu semester sejak virus meledak Desember 2019, hingga pertengahan tahun 2020, perang psikologis masih terjadi antara Tiongkok dan Amerika. 

Sedemikian pengetahuan publik pun masih belum jelas tentang kebenaran asal muasal virus tersebut. Tambahan lagi, virus dikabarkan berasal dari Afrika atau Asia Selatan, dari habit kelelawar dan tikus. Lainnya menyebutkan bermuasal dari perilaku tidak sehat konsumsi makanan masyarakat Tiongkok khususnya di Wuhan.

Satu lagi tak kalah buram, isu Bill Gtaes pemilik bisnis Microsoft, Amerika, dituding peretas awal Covid-19. Virus tersebut dianggap sebagai bagian strategi kepentingan bisnis -- mengontrol populasi dan pengembangan tehnologi. Kecurigaan itu disebabkan Bill Gates dalam suatu pidato telah mengungkap bakal ancaman wabah dan melakukan pelatihan kesehatan, jauh sebelum serangan Covid-19 merebak.

Ada lagi yang tak kalah runyam. Polemik bahwa korban meninggal yang dicurigai positif bukan disebabkan Covid-19. Ini yang terakhir makin membuat publik tdak jelas. Penyebab kematian yang begitu miris bukan virus, tapi bakteri tertentu. Tak pelak, isu itu dipicu bahkan oleh riset ilmiah dari ilmuwan Amerika.

Mana di antara semua itu yang benar? Itu bisa diperlebar pada sorotan berbagai isu yang mencuat, mulai dari perdebatan soal spesis Covid-19, isu korban dan anggaran penanganannya, hingga soal vaksin yang belum ditemukan. Baik soal yang mencuat sebagai isu seputar Covid-19 di tingkat global maupun di level domestik (local).

Yang pasti, munculnya ketidak-tahuan dan keterbatasan pengetahuan atas banyak hal di seputar kasus pandemik Covid-19, menunjukkan posisi kekuasaan publik yang lemah. Publik berhadapan otoritas para aktor ranah politik dan bisnis yang memiliki kontrol atas pengetahuan dan kekuasaan. Kondisi ini jika benar, maka menyiratkan kebutuhan refllektif pentingnya membangun kesadaran (pengetahuan) kritis publik. Wallahu alam.*

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved