Dialog Forum Dosen
Prof Dr Marzuki DEA: Sulsel Bergantung di Pertanian, Ekonomi Mulai Pulih Semester II 2021
VUCA world adalah istilah yang diciptakan oleh Warren Bennis dan Burt Nanus, dua orang pakar ilmu bisnis
Penulis: Muh. Hasim Arfah | Editor: Imam Wahyudi

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin, Prof Dr Marzuki DEA menjadi salah satu pemateri dalam Virtual Dialog Series #3 Forum Dosen dengan tema "Covid-19: Kemana Arah Skenario Pemulihan Ekonomi"
Prof Marzuki mengatakan saat ini masyarakat dunia memasuki VUCA world.
VUCA world adalah istilah yang diciptakan oleh Warren Bennis dan Burt Nanus, dua orang pakar ilmu bisnis dan kepemimpinan dari Amerika.
VUCA sendiri adalah singkatan dari Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity.
"Saat ini dunia yang tak bisa diprediksi.
Persoalan ini sangat membuat kita kebingungan," kata Prof Marzuki.
Ia menjelaskan, selama masa pandemi Covid-19, ada disrupsi di sisi penawaran barang dan jasa yang berujung pada aspek keuangan dan bisnis.
"Dari sisi ekonomi, pola Pandemi Covid-19 sangat berbeda, vaksin setiap negara berbeda-beda. Semua aspek kehidupan disentuh oleh virus ini," katanya.
Menurutnya, awal efek pandemi Covid-19 ini ketika permintaan impor China berhenti setelah pertama kali Lockdown.
"Karena tak impor maka, membuat kita tak bisa mengekspor ke China, sehingga kondisi keuangan kita jatuh di Februari dengan nilai tukar rupiah terhadap dollar hampir Rp 17 ribu," katanya.
Ia mengatakan, setelah ada Covid-19 membuat tata kelola pengeluaran berbelanja berubah total.
"Spending (pengeluaran) kita sekarang berubah total, ada perubahan perilaku dari berbelanja biasa menjadi online," katanya.
Selain itu, tentu ada perubahan dari semua sisi.
Pemerintah dalam mengambil kebijakan dalam menghadapi Covid-19 mengalami dilematis.
Khusus ekonomi, Prof Marzuki melihat dari aspek pendapatan, tenaga kerja, stabilitas harga dan aspek luar negeri.
"Persoalan ekonomi semakin ruwet, sehingga memang prioritas kebijakan harus melihat target sekarang. Pemerintah agak lambat untuk menyelesaikan persoalan makro," katanya.
Bahkan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk penanganan Covid-19 menjadi kontroversi.
"Tapi, saat ini pemerintah memang harus mengambil kebijakan yang tegas tak boleh ragu," katanya.
Dari langkah penyelamatan ekonomi, otoritas moneter, Bank Indonesia sudah mengambil kebijakan moneter dengan mengucurkan stimulus yang mencapai Rp 500 triliun.
"Ada isu untuk mencetak uang baru tapi hal itu ditolak BI karena efeknya sangat berbahaya," katanya.
Sementara itu, Otoritas fiskal yakni Kementerian Keuangan sudah menurunkan tiga stimulus sepanjang Covid-19 ini.
"Pertama dengan stimulus satu, bagaimana masyarakat jangan jatuh kemampuan daya beli. Stimulus kedua, bagaimana pengusaha dibantu usahanya. Stimulus ketiga, bagaimana kita bantu masyarakat dengan safety net," katanya.
Menurutnya, biaya yang cukup mahal untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia sebesar Rp 430 triliun.
"Saat ini, kita mau pinjam juga sudah sulit karena negara lain juga terdampak sehingga saat ini pemerintah melakukan rekayasa pengelolaan, dalam kaitan mengeluarkan surat berharga, mengambil uang dari perusahaan BUMN dan di bank sentral," katanya.
Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan sudah menggelontorkan anggaran stimulus hampir mencapai Rp 1000 triliun.
"Sehingga, dalam kaitan ini. Apakah memang kegiatan pembiayaan akan mencapai tujuan yang diharapkan?
Secara nasional, Pemerintah sudah khawatir adanya penurunan pertumbuhan ekonominya. Yang buat jatuh kita pengolahan dan perdagangan di triwulan I.
Sementara itu, 15 sektor lain, masih prospek. Dari sisi permintaan, ekspor kita jatuh minus 15 persen," katanya.
Di Indonesia dan Sulsel, sektor ekonomi kita masih bergantung ke pertanian sementara itu sektor lain sangat mengkhawatirkan.
"Sektor kesehatan adalah sektor cukup potensial di Sulsel dengan pertumbuhan 9,42 persen, ketiga tertinggi karena banyak orang sakit," katanya.
Menurutnya, persoalan sekarang adalah ada efek saling silang antara ekonomi dan kesehatan. Sehingga, masyarakat bisa mencapai masyarakat sejahtera.
"Memang ada saling silang, tapi ekonomi tak bisa ditinggalkan. Sehingga, efek pandemi Covid-19 ini masih akan terasa hingga awal semester I 2021.
Sangat tak percaya kita masih memulihkan, kita masih mempertahankan dulu supaya ekonomi kita tidak terlalu jatuh," katanya.
"Dengan ekonomi sehat maka akan membuat kita sehat, dan ketika kita sehat maka bisa meningkatkan ekonomi,"
Jika, efek Covid-19 meredah, Prof Marzuki memprediksi ekonomi Sulsel mulai pulih pada semester kedua tahun 2021.
"Mudah saja melihat itu, itu bisa terekam dari pengangguran dan kemiskinan yang terus bertambah hingga saat ini," katanya.