Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Mendikbud Nadiem Makarim dan Disrupsi Dunia Pendidikan

SEJAK didaulat menahkodai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sosok Nadiem Anwar Makarim (35) menyedot perhatian banyak orang.

Editor: Edi Sumardi
DOK PRIBADI
Fadli Herman 

Fadli Herman

Guru di SMP YPS Singkole Sorowako, alumnus Universitas Negeri Makassar atau UNM

SEJAK didaulat menahkodai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sosok Nadiem Anwar Makarim (35) menyedot perhatian banyak orang. 

Kehadirannya pun memunculkan berbagai respons.

Bayar SPP pakai GoPay dengan iming-iming cashback, dari GoJek ke Go-verment, belajarnya sesuai aplikasi, dan raporan pakai GoSent.

Itu berakumulasi menjadi meme.

Entah sekadar ungkapan keresahan publik terhadap kompeksitas masalah dunia pendidikan, entah sebagai gaya jenaka mengeskpresikan harapannya.

Tiga bulan usai pelantikan, Mas Menteri ( sapaan akrab Nadiem Makarim ) membuat gebrakan.

Empat kebijakan populer ditelurkannya, menyederhanakan RPP, mengubah sistem zonasi PPDB, ubah konsep ujian sekolah, dan pemberian tunjangan khusus bagi guru terdampak bencana.

Disusul prinsip merdeka belajar yang terus digelorakan sebagai upaya peningkatkan kualitas sumber daya manusia di dunia pendidikan agar dapat lebih optimal dan berdampak.

Satu per satu dieksekusi.

Penghapusan Ujian Nasional atau UN yang selama ini menuai pro dan kontra, tanpa banyak pikir timbang digantikan dengan asesmen kompetensi minimal.

Walaupun realisasinya nanti di 2021, UN dengan sendirinya tak lagi dilaksanakan tahun ini karena pandemi Covid-19.

UN betul-betul telah berakhir.

Selain empat kebijakan populernya, lewat kebijakan Merdeka Belajar, Mas Manteri tampaknya punya visi besar untuk mengubah dunia pendidikan di negeri ini.

Ia ingin membangun peradaban secara virtual.

Hal itu diungkapkannya secara telekonferensi pada sebuah konferensi pendidikan di Jakarta, baru-baru ini.

Memang kedengaran agak utopis.

Apakah mungkin?

Serta sederet pertanyaan tentu akan bermunculan.

Namun, rekam jejak kesuksesan Nadiem Makarim dengan GoJeknya dalam mendisrupsi transportasi publik cukup menjawab pertanyaan itu, meski secara tak langsung. 

Visi membangun peradaban secara virtual tentu bukanlah hal baru.

Dunia saat ini sedang bergerak dalam model peradaban uber.

Suatu peradaban baru yang berbeda dengan era sebelumnya.

Semuanya karena kemajuan teknologi dan telah mengubah hidup manusia.

Berbagai bidang kehidupan telah terdisrupsi, mulai dari ekonomi, kesehatan, hiburan, politik, dan tak terkecuali dunia pendidikan.

Pion utama disrupsi adalah inovasi, yang kehadirannya akan menggantikan sistem lama dengan cara-cara baru.

Menggantikan teknologi lama yang serba fisik dengan teknologi digital yang menghasilkan sesuatu yang benar-benar baru, lebih efisien, dan bermanfaat.

Sebagai pion, maka inovasi akan terus bergerak ke depan dan tak akan pernah mundur.

Di bidang ekonomi misalnya, saat kita menghendaki suatu produk atau jasa, pada saat yang sama kita sudah berada di dekat produk atau layanan yang kita butuhkan. Jarak sudah mati, stok digital, data dan armada sudah dipindahkan ke dekat lokasi kita.

Sebab teknologi dan big data memungkinkan kita untuk melakukannya.

Jika dahulu harus mengantre, sabar, dan rela menunggu, sekarang kita bisa mendapatkannya pada saat itu juga (on demand).

Kita hidup dalam dunia apps yang pada saat bersamaan dikerjakan oleh puluhan bahkan ribuan jejaring yang saling terhubung (Rhenald Kasali, 2017).

Dalam bidang kesehatan, smart hospital berhasil mendisrupsi layanan cuci darah yang selama ini tidak bisa dijangkau oleh kalangan bawah.

Selain berbiaya mahal, untuk pergi ke rumah sakit di kota-kota besar juga memerlukan ongkos.

Padahal, banyak pasien yang berasal dari daerah pinggiran.

Kehadiran smart hospital melalui aplikasi e-medical center memudahkan pasien untuk menjangkau klinik cuci darah yang jumlahnya mencapai seribu dan tersebar di pinggiran kota besar.

Bukan hanya itu, melainkan juga dengan tarif 50-70 persen lebih murah dibandingkan tarif yang dibanderol rumah sakit pada umumnya. 

Disrupsi Dunia Pendidikan

Dunia kerja atau profesional akan berubah seiring dengan perkembangan teknologi.

Perubahan zaman yang kian pesat akan memaksa individu untuk jeli melihat peluang dan beradaptasi. Karenanya, di masa depan sektor teknologi perangkat lunak akan semakin berkembang, seperti aplikasi web, desain, riset, analisis data, dan ekosistem digital lainnya.

Bertumbuhnya berbagai perusahaan teknologi di Indonesia membuka peluang emas untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju lain melalui sektor teknologi.

Karena itu, disrupsi dunia pendidikan salah satunya diharapkan dapat mendorong terciptanya suatu generasi produser teknologi, bukan sekadar konsumer teknologi.

Generasi yang terampil dalam memproduksi software dan berbagai hal yang menciptakan efisiensi di sektor manufaktur.  

Semua itu dimulai dari penumbuhan paradigma baru di dunia pendidikan yang lebih kolaboratif, baik pada pendidikan menengah ke bawah maupun pendidikan tinggi yang berfokus pada peningkatan kreativitas, computational logics, dan berkarya. 

Melalui prinsip merdeka belajar, sistem pendidikan akan dikaitkan dengan kebutuhan dunia profesional dan dunia nyata. Tidak hanya pada sektor industri saja, tetapi juga sektor pemerintahan, sektor sosial, dan nonprofit.

Untuk meningkatkan relevansi kedua hal tersebut tentu diperlukan sistem pendidikan yang memerdekakan.

Untuk mewujudkan hal tersebut, tentu bukan hal yang mudah bagi Kemendikbud.

Dibutuhkan kreativitas dan inovasi yang muncul dari seluruh lapisan masyarakat untuk memajukan pendidikan di negeri ini.

Prinsip merdeka belajar akan memberikan otonomi, tansparansi, efisiensi, dan fleksibilitas bagi siswa, guru, dan orang tua untuk banyak bertanya, mencari tahu, mencoba hal-hal baru, dan berkarya.

Hari ini, pendidikan kita telah mengarah pada format yang lebih variatif.

Dengan teknologi yang dimiliki sekarang, kita bisa mengakses ilmu dari mana pun dan dari siapa pun.

Belajar tak hanya di sekolah.

Seperti pesan Bapak Pendidikan Ki Hajar Dewantara setengah abad yang lalu.

Jadikan setiap tempat sebagai sekolah, jadikan setiap orang sebagai guru.

Tantangan Ketimpangan

Sebagai negara kepulauan, pemerataan akses masih menjadi PR besar pemerintah.

Di daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal) misalnya, semangat pendidikan terus berjalan meski terseok-seok dihimpit keterbatasan. 

Mulai dari kurangnya tenaga pendidik, minimnya sarana pendukung, dan juga kondisi geografis yang mengharuskan siswa ataupun guru terlebih dahulu harus menyeberangi lautan dengan sampan kecil atau berjalan kaki melintasi hutan dengan bahaya yang berisiko besar untuk sampai ke sekolah.

Belum lagi balas jasa yang memilukan bagi para tenaga honorer.

Ini hanya segelintir potret wajah pendidikan di sejumlah wilayah di Tanah Air. 

Di bawah nahkodah menteri milenial Nadiem Makarim, semoga menghadirkan solusi-solusi, baik teknologi maupun nonteknologi yang bisa meningkatkan kualitas pendidikan dan utamanya memastikan sistem pendidikan yang dapat membentuk karakter generasi penerus bangsa.

Pendidikan dimaksudkan untuk menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya (Ki Hajar Dewantara, 1961).(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved