Dampak Wabah Covid 19
Posko Pengaduan Buruh di PHK Dampak Covid-19 di Makassar Ajukan 6 Tuntutan
Termasuk di kota Makassar, data dari Dinas Ketenagakerjaan mencatatkan sebanyak 7983 Pekerja dirumahkan
Penulis: Alfian | Editor: Imam Wahyudi
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Lesunya perekonomian hingga terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak oleh pihak perusahaan akibat wabah pandemi Covid-19 di Indonesia semakin meluas.
Termasuk di kota Makassar, data dari Dinas Ketenagakerjaan mencatatkan sebanyak 7983 Pekerja dirumahkan dari 247 Perusahaan dan yang terdampak PHK sebanyak 244 orang.
Berangkat dari hal itulah sejumlah Serikat Buruh dan Lembaga terkait lainnya berinisiatif membuka posko pengaduan kasus buruh dampak pandemic Covid-19.
Melalui jumpa pers yang berlangsung via daring, Senin (20/4/2020), lima organisasasi yaitu YLBHI-LBH Makassar, SPN SULSEL, FPBN-KSN, GSBN-SGBN dan FSB KAMIPARHO KSBSI tergabung dalam posko pengaduan ini.
Kehadiran posko layanan pengaduan tersebut diharapkan bisa menjadi jembatan atau tempat bagi para buruh yang mendapatkan perlakukan tidak adil termasuk PHK sepihak oleh perusahaannya.
Berikut siaran pers lengkap yang diterima Tribun Timur mengenai launcing posko pengaduan kasus buruh dampak pandemi Covid-19:
Sebagai Negara Hukum, Indonesia menjamin Penghormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM). Negara memiliki kewajiban (duty bearer) dalam memastikan kesejahteraan demi keberlangsungan hidup setiap warga Negaranya. Kewajiban itu termanifestasikan salah satunya ke dalam bentuk memberikan jaminan Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak kepada setiap warga Negara, yang juga merupakan sebuah hak yang melekat pada setiap Individu masyarakat. Ketentuan tersebut telah diatur dalam UUD 1945, UU No.39 tahun 1999 tentang HAM, UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU N0.11 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Ekonomi Sosial dan Budaya.
Namun dalam praktek penegakan HAM, Negara gagal melindungi dan memenuhi hak-hak Rakyat. Hal ini bisa disaksikan dengan sangat jelas dari sikap Pemerintah dalam menanggulangi penyebaran Covid-19 yang mengancam ratusan juta Rakyat Indonesia.
Sejak Covid-19 atau Virus Corona ditetapkan sebagai Pandemi oleh World Health Organzation (WHO), Pemerintah tidak sigap mengambil langkah Preventif untuk meminimalisir secara maksimal pencegahan penyebaran Covid-19 masuk ke Indonesia. Parahnya, pemerintah menunjukkan sikap abai dan memandang enteng dengan mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang kontra produktif yang cenderung nyeleneh.
Kegagalan Negara dalam menjamin hak atas perlindungan dari ancaman bahaya dan kesehatan warga Negara dengan tidak adanya tindakan preventif pada awal Pandemi Covid-19, telah berimbas pada stabilitas Ekonomi, Politik dan Sosial di Indonesia. Kegagalan Negara dalam melindungi dan memenuhi hak atas kesehatan, memberikan imbas pada hak-hak yang lainnya. Dalam perspektif HAM, terdapat prinsip Interdependensi, apabila satu hak yang terlanggar atau gagal dipenuhi, maka akan berdampak terhadap hak-hak yang lain.
Ditengah pembatasan ruang gerak rakyat untuk tidak berkumpul dan berkerumun, DPR malah melakukan kerumunan dengan tetap membahas Omnibus Law RUU Ciptakerja yang sejauh ini di Tolak oleh Serikat-Serikat Buruh karena akan berdampak pada perlindungan hak-hak buruh. Pembahasan Omnibus Law ini adalah bentuk penghianatan DPR terhadap rakyat yang telah memilihnya. Penolakan terhadap Omnibus Law Ciptakerja, tidak hanya di Tolak oleh Serikat-Serikat Buruh, tapi juga ditolak oleh kelompok-kelompok rakyat lainnya seperti petani, nelayan dan miskin kota karena akan berdampak pada penghidupan mereka.
Dengan membahas Omnibus Law RUU Ciptakerja pada masa pandemi, akan berakibat pada kurangnya kontrol rakyat terhadap pembahasan Omnibus Law RUU Ciptakerja. Hal ini akan berdampak pada hilangnya nilai demokratis terhadap RUU tersebut, tidak akan ada rakyat yang berani datang untuk memberikan pendapatnya secara langsung ke gedung DPR dan menghadiri pertemuan-pertemuan konsultasi publik karena mereka akan takut tertular.
Kebijakan pembatasan ruang gerak yang dikeluarkan oleh Pemerintah demi meminimalisir penyebaran Covid-19 ditengah masyarakat, juga berdampak pada stabilitas Ekonomi. Sudah terdapat banyak Perusahaan yang mengaku megalami penurunan penghasilan dan menganggap mengalami kerugian sehingga “tidak mampu” lagi memberikan upah pada Pekrja/Buruh. Akbibatnya, gelombang kebijakan Perusahaan me-rumah-kan bahkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terjadi dengan massif.
Berdasarkan keterangan dari Menteri Ketenagakerjaan yang dilansir cnnindonesia.com pada 13 April 2020, sebanyak 90 % Buruh telah dirumahkan (Diliburkan) dan 10% telah di-PHK dari tolal 1.506.713 Buruh. Untuk situasi Kota Makassar, tercatat di Dinas Ketenagakerjaan Kota Makassar sebanyak 7.983 Pekerja dirumahkan dari 247 Perusahaan dan yang terdampak PHK sebanyak 244 orang (fajar.co.id, /15/04/2020).
Pada beberapa kasus, terdapat kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak perusahaan telah mengebiri hak-hak Buruh dengan alasan Perusahaan mengalami kerugiaan karena situasi Pandemi Covid-19. Di Makassar, berdasarkan data yang diterima oleh Serikat Buruh, bentuk-bentuk kebijakan perusahaan yang dianggap tanpa perlindungan Hak Buruh oleh Negara, seperti terdapat Perusahaan yang me-rumah-kan Buruh/Pekerjanya dengan tidak memberikan upah, terdapat setidaknnya 3 Perusahaan yang memberlakukan kebijakan Kerja Rolling dengan tidak membayar upah bagi yang tidak bekerja (no work no pay), melakukan rolling terhadap pekerja, seharusnya disamakan dengan merumahkan pekerja. Terakhir, juga terdapat 1 Perusahaan mengeluarkan kebijakan pengurangan jam kerja yang berimbas pada pengurangan upah kerja.