Literasi Ulama
AGH Abu Bakar Daeng Tumpu
Rumahnya di Tolo, Jeneponto, menjadi pusat para santri berguru, baik yang menetap maupun pendatang.
Semangatnya sama dengan AGH Abdul Muttalib yang masyarakat sekitar lebih akrab memanggilnya Gurunta Talibi sebagai rumpun keluarga ulama dari Arungkeke.
Mengajar sejumlah murid di rumahnya yang cukup strategis.
Santrinya ada yang menetap dan ada yang datang musiman di hari-hari tertentu semisal hari pasar.
Rumahnya di Tolo, Jeneponto, menjadi pusat para santri berguru, baik yang menetap maupun pendatang.
Bagi pendatang dari Gowa, Bantaeng, biasanya mengaji pada hari Sabtu, disesuaikan hari pasar masyarakat setempat.
AGH Abu Bakar Daeng Tumpu dikenal sebagai ulama wara’ yang kuat memegang prinsip.
Beliau rela meninggalkan kampungnya di Bungeng karena kala itu, beliau melarang keras bermain domino, namun tidak diindahkan.
Akhirnya memilih hengkang. Lebih dari itu, gurunta tidak mau makan sayur rebun yang tidak jelas asal usulnya.
Bambu yang ditanam sebagai pembatas lahan tidak jelas pemiliknya.
Ia juga melarang muridnya meringkas barazanji karena berisi kisah nabi yang menjadi syiar dakwah.
Beliau membaca Barazanji diselingi terjemahan berbahasa Makassar. (*)
Catatan: Tulisan ini telah terbit di koran Tribun Timur edisi cetak Jumat, 16 April 2020