Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Menyikapi Labilitas Kebijakan Covid-19

Melindungi diri sendiri merupakan hak. Namun melindungi sesama manusia adalah kewajiban moral. To render to each man what is his due.

Editor: syakin
zoom-inlihat foto Menyikapi Labilitas Kebijakan Covid-19
DOK
M Aris Munandar SH, Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Hasanuddin

Oleh: M Aris Munandar, SH.
(Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Hasanuddin)

Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) menjadi perhatian dunia hingga detik ini. Termasuk di Indonesia. Lebih khusus di Sulawesi Selatan. Bukan hanya persoalan kedaruratan medis yang menjadi perhatian publik, tetapi labilitas kebijakan pemerintah dalam menangani Covid-19 yang menimbulkan ketidakpastian di masyarakat.

Perlu dipahami bersama, suatu kebijakan lahir bukan hanya karena atas pikiran (logika) tetapi berdasarkan kenyataan di masyarakat sebagaimana yang dikemukakan oleh Oliver Wendell Holmes (Mantan Hakim Amerika Serikat) bahwa The life of the law has not been logic, it has been experience” (kehidupan hukum bukanlah pada logika, tetapi pada pengalaman).

Maksudnya adalah hukum/kebijakan itu dibentuk bukan karena ada bisikan dari kiri atau kanan, melainkan untuk keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.

Sebab kebijakan dibentuk adalah untuk manusia seperti tutur dari Satjipto Rahardjo bahwa “hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum”.

Similia similibus juga berlaku bagi keadaan hari ini, bahwa dibutuhkan suatu kebijakan yang sistematis dan tentunyi tidak dinamis bahkan cenderung labil.

Seperti yang diketahui bersama, sejak merebaknya Covid-19 di Indonesia sudah banyak sekali kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah, mulai dari pembatasan sosial (social distancing), kemudian menyinggung soal lockdown, dan karantina wilayah. Namun, pada akhirnya pemerintah mengambil keputusan untuk menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Bahkan, terakhir diutarakan oleh Presiden Joko Widodo bahwa untuk lebih memantapkan rencana PSBB dan pembatasan kontak fisik (physical distancing) akan diterapkan darurat sipil sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 23 Tahun 1959 Pencabutan Undang-Undang No. 74 Tahun 1957 (Lembaran Negara No. 160 Tahun 1957) dan Penetapan Keadaan Bahaya (UU Keadaan Bahaya).

Gugup Menghitung

Hingga detik ini, pemerintah masih ‘kucar-kacir’ dalam menilai kondisi yang ada. Banyak pemerintah daerah (Pemda) secara sepihak mengambil kebijakan karena lambannya pemerintah pusat dalam menghitung kalkulasi risiko yang ada. Bahkan sangat dapat dikatakan pemerintah pusat mengalami disintegrasi dengan pemda.

Hal itu disebabkan karena adanya perhitungan kalkulasi risiko yang tidak merata antara wilayah yang satu dengan lainnya. Bahkan kita ketahui bahwa ada beberapa pemda yang telah membuat rencana melakukan lockdown dan karantina wilayah.

Sederhananya adalah jika dilihat dari fakta di atas, maka hal yang pertama kali muncul dipikiran adalah adanya ketidakharmonisan dalam pengambilan kebijakan anatar pusat dan daerah. Namun, jika dilihat dari aspek perhitungan atau kalkulasi risiko dan rencana pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh pemda lebih logis ketimbang labilnya pemerintah pusat dalam mengambil kebijakan.

Sehingga yang terjadi adalah keresahan masyarakat yang ada di pusat ibu kota, mereka dilema antara pulang kampung atau tetap di ibu kota. Karena pemerintah secara de jure tidak melakukan lockdown ataupun karantina wilayah, tapi secara de facto melarang setiap warganya untuk pulang kampung dengan segala iming-iming jaminan kebutuhan.

Tapi hingga hari ini belum ada kejelasan terkait mekanisme pembagian kebutuhan pokok tersebut. Pemerintah pusat tidak ingin melakukan lockdown seakan-akan karena menghindari pemenuhan kebutuhan masyarakat sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan Pasal 55 ayat (1) UU Kekarantinaan Kesehatan bahwa “Selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat”.

Tapi kembali lagi labilitas pemerintah dalam mengambil keputusan mengundang ketidakpastian bagi rakyat. Ditambah lagi dengan pernyataan darurat sipil, padalah darurat sipil itu hanya dilakukan ketika ada kerusuhan yang tidak terkendali lagi, sedangkan di Indonesia hingga hari ini belum ada kerusuhan yang begitu berarti.

Pemerintah Offside

Pemerintah sampai saat ini masih sangat vokal mengungkapkan istilah PSBB sesuai UU Kekarantinaan Kesehatan. Namun yang menjadi persoalan adalah Pemerintah telah mengumumkan akan melakukan PSBB tetapi belum menyatakan adanya Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (KKM).

Sedangkan dalam Pasal 49 ayat (1) UU Kekarantinaan Kesehatan termaktub ketentuan bahwa “Dalam rangka melakukan tindakan mitigasi faktor risiko di wilayah pada situasi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dilakukan Karantina Rumah, Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit, atau pembatasan Sosial Berskala Besar oleh pejabat Karantina Kesehatan”.

Sangat jelas terlihat bahwa sebelum melakukan karantina wilayah hingga PSBB ada mekanisme awal yang harus dipenuhi yakni adanya situasi KKM. Inilah yang menyebabkan pemerintah dapat dikatakan offside.

Pihak yang dapat menetapkan dan mencabut KKM tersebut adalah pemerintah pusat sebagaimana ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU Kekarantinaan Kesehatan bahwa pemerintah pusat menetapkan dan mencabut KKM. Dalam artian, ketika pemerintah hendak membatasi perpindahan penduduk atau warga maka terlebih dahulu harus ada ketetapan pemerintah pusat bahwa terjadi KKM di Indonesia.

Tapi faktanya hal tersebut terjadi tidak sesuai ketentuan yang berlaku. Penting diketahui, KKM itu sendiri adalah kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara (Vide: Pasal 1 angka 2 UU Kekarantinaan Kesehatan).

Jelas bahwa sudah seharusnya pemerintah pusat terlebih dahulu mengumumkan adanya darurat kesehatan di masyarakat. Tidak asal mendengar bisikan dari sana dan sini. Ibarat kata, “menebang menuju pangkal, melanting menuju tampuk”. Artinya setiap tindakan yang dilakukan harus ada maksud dan tujuannya. Tidak asal mengambil keputusan yang pada akhirnya diralat kembali.

Harus diingat, bahwa melindungi diri sendiri merupakan hak. Namun melindungi sesama manusia adalah kewajiban moral. To render to each man what is his due (memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya). (*)

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved