Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Omnibus Law: Kartu Merah Penyelamatan Lingkungan

Pemegang izin sudah tidak bertanggung jawab terhadap kebakaran hutan di area kerjanya, tetapi hanya sebatas diwajibkan melakukan upaya pencegahan

Editor: syakin
DOK
Muhammad Riszky, Alumni Sekolah Lingkungan Hidup Walhi Sulsel, Mahasiswa Psikologi Universitas Negeri Makassar 

Oleh: Muhammad Riszky
Alumni Sekolah Lingkungan Hidup Walhi Sulsel, Mahasiswa Psikologi Universitas Negeri Makassar

Sejak kemunculannya pada awal 2020, berbagai aksi dilakukan oleh masyarakat sipil dan berbagai organisasi menolak disahkannya Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Bukan tanpa sebab, karena dinilai menciderai hak-hak buruh, sentralisasi kewenangan, tidak melibatkan partisipasi rakyat hingga merusak lingkungan.

Tulisan ini berfokus pada pembahasan RUU Cipta Kerja dalam kaitannya dengan lingkungan hidup. Pada omnibus law melalui RUU Cipta Lapangan Kerja setidaknya setidaknya mengubah tiga aturan yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan hidup dan ekologi yakni Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Sektor lingkungan hidup merupakan salah satu sasaran investasi yang sejak dulu telah dilakukan di Indonesia. Walhi dalam Tinjauan Lingkungan Hidup 2020 mengungkap, sebanyak 61,46% daratan dan 14,04% laut wilayah Indonesia digunakan untuk investasi. Sektor kehutanan sebanyak 33.448.501,37 hektar.

Sektor perkebunan sawit (HGU) sebanyak 11.193.000 hektar. Sektor pertambangan sebanyak 32.708.637,92 hektar, serta sektor pertambangan migas sebanyak 86.577. 535,89 hektar. Total luasan dari keempat sektor tersebut sebesar 163.927.675,18 hektar.

Salah satu dampak dari investasi dapat dilihat dari kasus kebakaran hutan dan lahan. KLHK merilis dalam 5 tahun terakhir kasus kebakaran hutan dan lahan terus meningkat. Pada tahun 2014 seluas 44.411,36 hektar, tahun 2015 meningkat seluas 2.611.411,44 hektar, tahun 2016 menurun seluas 438.363,19 hektar, tahun 2017 menurun seluas 165.483,92 hektar, tahun 2018 meningkat sebebar 529.266,64 hektar, dan pada tahun 2019 meningkat tajam seluas 1.592.010
hektar.

Menjadi persoalan dalam RUU Cipta Lapangan Kerja, pasal 18 dalam UU nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan sudah menghapuskan tanggung jawab pengelola terhadap kejadian bencana kebakaran hutan dan lahan.

Pemegang izin sudah tidak bertanggung jawab terhadap kebakaran hutan di area kerjanya, tetapi hanya sebatas diwajibkan melakukan upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan. Hal tersebut menjadi sebuah kemunduran dalam upaya menjaga ekosistem hutan karena melepaskan tanggung jawab pengelola terhadap kebakaran hutan.

Rilis Bank Dunia bahwa kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2019 mangakibatkan sekitar 900 ribu orang mengalami gangguan pernapasan dan Rp 70 triliun dari gangguan aktivitas perekonomian. Selanjutnya terhadap analisis dampak lingkungan atau biasa disebut amdal.

Perlu diketahui bahwa setiap perusahaan yang akan melakukan kegiatan mengelola kawasan harus memiliki amdal sebagai jaminan dalam pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Ketentuan mengenai amdal diatur dalam UU PPLH.

RUU Cipta Lapangan Kerja mengubah status amdal hanya sebatas dokumen pertimbangan saja (pada pasal 1 angka 12). Pasal 23 telah disebutkan terdapat 9 kriteria usaha yang wajib dilengkapi dengan amdal, lalu berubah menjadi hanya usaha yang memiliki dampak penting yang harus memiliki amdal. Berubahnya kebijakan tersebut mudahnya masuknya pembangunan ataupun ijin usaha tanpa memperhatikan keberlangsungan hidup ekosistem lingkungan serta
masyarakat sekitar.

Perubahan juga terlihat dari pasal 26 mengenai pelibatan masyarakat dalam proses penyusunan amdal. Masyarakat yang dimaksud yakni masyarakat yang terkena dampak, pemerhati lingkungan hidup dan yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses amdal.

Kebijakan tersebut diubah menjadi hanya masyarakat yang terkena dampak langsung.

Akibatnya, pembatasan organisasi lingkungan hidup dalam melakukan pendampingan terhadap masyarakat. Contoh yang dapat dilihat dari peran organisasi lingkungan hidup dalam memberikan pendampingan terhadap masyarakat yakni di Rammang-rammang, Kabupaten Maros.

Kawasan karst ini merupakan salah ketiga terbesar di dunia. Pada 2007 silam, tiga perusahaan besar pernah diizinkan oleh Pemerintah Daerah Maros untuk mengeruk kekayaan alam di Rammang-rammang.

Sumber: Tribun Timur
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved