Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Pemuda dan Pilwali Makassar

“politik ada untuk menolong orang, bukan untuk aktualisasi diri”. Bagaimana calon yang didominasi laki-laki dapat mengedepankan aspirasi perempuan?

Editor: syakin
handover
founder Indonesian Future Leaders Asal Makassar Dian Aditya Ning Lestari 

Oleh: Dian Aditya Ning Lestari
Founder Indonesian Future Leaders, penggerak kepemudaan

Beberapa bulan terakhir kita melihat bakal calon (balon) Wali Kota Makassar gencar mempromosikan dirinya melalbalihonya yang bertebaran di mana-mana dan merusak tata kelola visual kota.

Pemimpin ‘muda’ atau kepemudaan menjadi ‘jualan’ utama yang disajikan. Diksi ‘pemuda’ seringkali diulang-ulang untuk menunjukkan usia bakal calon dan keterlibatan mereka dalam isu pemuda.

Pemilih harus kritis dalam melihat apakah jargon mereka hanyalah idea atau terlibat dalam pelaksanaan isu pemuda. Pemilih harus memahami bagaimana memilih calon wali kota yakni mengetahui dengan pasti sepak terjangnya dan track record mereka di isu yang mereka bawa. Pertama, mari kita mengenali definisi pemuda. Yang dimaksud dengan pemuda menurut WHO, adalah individu yang berusia 15-25 tahun. Sementara menurut Undang-Undang (UU) pasal 1 ayat 1 dari UU Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan yakni “pemuda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun."

Mengklaim diri sebagai pemuda berarti mengklaim diri berada dalam batas usia itu atau mengedepankan/terlibat langsung dalam isu kepemudaan sebagai calon.

Ada banyak tokoh pemuda lain yang memiliki nama di Sulsel. Calon-calon sebaiknya berhati-hati mereka mengklaim berada di jalur isu pemuda namun tidak pernah terlibat dalam pelaksanaan.

“Pemuda” memang bisa di klaim oleh seluruh orang dalam batas usia menurut UU. Namun apakah mereka sendiri tokoh pemuda interseksionalis? Apakah calon wali kota benaran tokoh “pemuda?”

Gender

Sudah diketahui bahwa di masyarakat Sulsel termasuk Makassar terdapat 5 gender yakni perempuan, laki-laki, calalai, calabai, dan bissu. Sudahkah para calon mengakui gender ini atau terlibat dalam gerakan pemuda yang mengarus utamakan isu tersebut?

Selain minoritas gender, minoritas agama juga menjadi isu yang patut diperhatikan. Terdapat sedikitnya 5 pemboman gereja dalam 10 tahun terakhir di kota ini. Ditambah dengan penutupan secara paksa gerai yang menjual penganan untuk minoritas agama.

Minoritas agama merupakan bagian dari warga Sulsel dan Makassar dan patut mendapatkan perhatian khusus.

Sementara itu terdapat kepercayaan lokal dan ulayat sudah ada di Makassar. Makassar bukanlah kota yang dibangun penguasa melainkan rakyat. Sudahkah penguasa mengerti apa yang di inginkan rakyat?

Fly over yang terbangun, reklamasi illegal, oligarki, semua terjadi tanpa pengetahuan rakyat.

Sudahkah para calon wali kota itu melihat wajah asli Kota Makassar? Di mana banyak anak muda bergerak di bidang startup, enterprenourship, dan kegiatan sosial. Apa kontribusi mereka di isu ini?

Isu perempuan juga menjadi penting mengingat pemuda tidak akan muncul tanpa perempuan. Terdapat 50% perempuan di antara pemuda Indonesia dan terdapat 50% perempuan di Makassar.

Halaman
12
Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved