Radi A Gany yang Saya Kenal
Gangguan turbulensi dan cuaca kurang bersahabat mewarnai perjalanan kami dari Makassar-Jakarta, Ahad (16 /2/2020) lalu
Oleh: Hasrullah
Sekretaris Rektor Unhas periode 1997-2002
Gangguan turbulensi dan cuaca kurang bersahabat mewarnai perjalanan kami dari Makassar-Jakarta, Ahad (16 /2/2020) lalu. Saat itu saya sedang mendampingi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unhas melakukan benchmarking ke Universitas Indonesia (UI) dan Institut Pertanian Bogor (IPB).
Di atas ketinggian 11.000 kaki, saya membaca buku Radi A Gany (2005) berjudul Ilalang di Tepi Telaga. Buku kumpulan esei yang ditoreh Radi terasa puitis, namun jika disimak, mempunyai makna yang dalam.
“Ilalang biasanya tumbuh di padang tandus. Sementara telaga menggambarkan gurun yang tandus,” ujar M Dahlan Abubakar, editor buku kecil mungil bersampul warna biru kehijauan itu.
Radi memang mempunyai kedalaman berpikir dan keciuman sangat dalam terhadap fenomena kehidupan. Dia kerap memetakan pikiran, sehingga wajar saja tertoreh di bukunya dengan seabrek gelar yang dimiliki dan pengalaman manajerial pada hal yang banyak diketahui. Dia mempunyai talent paripurna, berupa kemampuan menulis.
Pada tahun 1984, Radi pernah memperoleh penghargaan sebagai pemenang 1 lomba karya tulis di Harian Pedoman Rakyat Makassar yang selalu dikenangnya.
Buku “Ilalang” ditulis Radi sebagai apreasi kepada Unhas pada acara Dies Natalies ke-49 Unhas, universitas terbaik yang kita miliki dan pada masa kepemimpinannya memutuskan dan memberikan penghargaan Doktor Honoris Causa (Dr HC) kepada Nelson Rolihlahla Mandela. Keputusan Radi adalah keputusan sangat amazing, lantaran saat itu, Unhas melebarkan sayap sebagai world class university.
Alasan utama lainnya, Mandela sebagai tokoh dunia dan pemenang Hadiah Nobel Perdamaian, pahlawan anti “apartheid” (perbedaan warna kulit) itu banyak belajar dan mengadopsi ajaran Syekh Yusuf yang secara intelektual dan leadership mengilhami perjuangannya melepaskan diri dari penjajahan warna kulit dan bangkitnya rasa kebangsaan rakyat Afrika Selatan.
Kesibukan Radi sebagai pemimpin dan akademikus ditambah kemampuan menulis yang ‘mumpuni’ telah menelorkan 10 buku dari rahim pikirannya. Secara jujur, ke-10 buku Radi itu ditulis dengan gaya yang jelas dan enak dibaca.
Bagi saya sendiri yang pernah mendampingi Prof Radi sekitar 10 tahun, sangat takjub dengan gaya tulisannya yang bertutur dan humanis. Kesepuluh buku Radi itu sebagai berikut: (1). Mozaik Pembangunan (2) Merenda Atmosfer Akademik, (3). Kemandirian Lokal, (4). Pembangunan Berimensi Insaniah, (5). Jalan Panjang Sesuap Nasi, (6) Ilmu Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, (7). Realitas Tanpa Mimpi, (8) Kampus sebagai Rahim Budaya Perdamaian, (9) Ilalang di Tepi Telaga, dan (10) Irigasi Tanpa Bendung .
Itulah karya buku dalam genggaman saya yang selama ini mengantar dan memahami jalan pikiran seorang tokoh yang lahir dan membesarkan Universitas Hasanuddin.
Sebagai catatan akhir, ada baiknya kita menghargai ketajaman Radi dengan kembali mengilhami cara berpikirnya, dalam bertindak. Merealisasikan pikiran Radi yang masih relevan demi kebesaran Unhas.
Dia telah di persada Unhas tidak saja sebagai seorang pemimpin dan pemikir, tapi juga sebagai seorang penulis.
Di penghujung hayat dan dalam kondisi tubuhnya yang ringkih, Radi masih sempat menorehkan satu tulisan berlabel “Tamalanrea, 30 Oktober 2019”, pada hari usianya genap 77 tahun. Tulisan itu diserahkan kepada sosok yang selalu disebutnya ‘sahabat kentalnya’ MDahlan Abubakar, yang kini siap menerbitkannya sebagai “Kenangan buat Radi A.Gany”.
Buku itu kelak akan menjadi nisan kedua baginya, selain di Pekuburan Unhas Pate’ne Kabupaten Maros. Nisan kedua ini, ada di hati masing-masing orang yang membaca karya-karyanya. (*)
Makassar-Jakarta, 16 Februari 2020