Sulsel Masih Butuh Pemimpin
Sulawesi Selatan Dalam Lintasan Perspektif, Karya AM Sallatu Bak Catatan Pinggir Goenawan Muhammad
Pak Madjid Sallatu menyampaikan pesan kepada elite bahwa selalu ada orang di luar sana yang akan menjadi virus bagi pemerintahan yang tidak lurus
Meminjam pemikiran seorang filosof modern asal Perancis yang menjadi salah satu favorit saya yakni Michel Foucault (1926-1984).
Dalam pandangan Michel Foucault, terdapat problematikadalam melihat bentuk modern dari pengetahuan, rasionalitas, institusi sosial, dan subyektivitas yang selama ini terkesan dipandang sebagai sesuatu yang bersifat alami dan given sehingga tidak perlu dipertanyakan lagi.
Ketika hal tersebut berada dalam konteks hubungan kekuasaan dan masyarakat, maka dapat dipastikan bahwa wacana dominan senantiasa akan berasal dari penguasa (elite politik dan pemerintahan). Sedangkan yang akan diminta untuk menerimanya sebagai sesuatu yang alami dan tidak perlu dipertanyakan adalah masyarakat.
Kerangka pemahaman tersebut pada dasarnya menimbulkan suatu peluang eksploitasi dan dominasi oleh pemilik wacana melalui diskursus dominan atas nama sebagai penguasa formal terhadap pihak lain dalam hal ini komunitas non-elite politik dan pemerintahan atau masyarakat.
Dalam konstruksi berpikir tersebut, masyarakat “diminta”, kalau tidak ingin dikatakan “diharuskan”, menerima apapun wacana yang berasal dari penguasa sebagai “benar sejak awal”.
Makanya, tidak perlu lagi ada diskursus wacana dalam konteks yang lebih berimbang yang mungkin berasal dari luar lingkar penguasa formal. Michel Foucault mengkiritk hal tersebut dan menyatakan bahwa sebuah wacana didefinisikan sebagai suatu sistem representasi, melalui bahasa dan praktik yang menghasilkan makna tertentu.
Artinya sangat mungkin bersifat parsial dan bias pada kepentingan pemilik wacana. Jika hal ini hanya diterima sebagai seuatu yang given saja, maka menurut Michel Foucault, hal tersebut akan mematikan nalar kritis pada sisi lain wacana tersebut.
Dengan demikian, menerima wacana yang dimunculkan oleh para elite bukanlah suatu yang jadi alasan untuk mematikan nalar kritis. Di sinilah saya melihat bahwa buku yang ditulis Pak AM Sallatu ini pada dasarnya upaya untuk tetap memunculkan nalar kritis dari sisi di luar pusat kekuasaan yakni di sisi pinggir atau di sisi masyarakat.
Itulah mengapa saya menyatakan bahwa buku Sulawesi Selatan Dalam Lintasan Perspektif sedang menawarkan rangkaian pemikiran berupa wacana dari pinggiran yang sudah seharusnya juga dibaca dengan cara membaca dari pinggir.
Melalui buku Sulawesi Selatan Dalam Lintasan Perspektif, Pak AM Sallatu mengajak para pembacanya untuk melihat persoalan yang selama ini masih menggelayut pada berbagai aspek kehidupan masyarakat di Sulawesi Selatan tidak dari bagaiman para penguasa melihatnya, namun dari sisi di luarnya.
Di sinilah kekuatan tulisan Pak AM Sallatu sebagai seorang pemikir ekonomi pembangunan yang mumpuni menemukan konteksnya.
Sebagai seorang ilmuan, buku Sulawesi Selatan Dalam Lintasan Perspektif menunjukkan upaya Pak AM Sallatu untuk melihat dari pinggir kekuasaan dengan menampilkan wacana-wacana pinggiran yang secara kontekstual memiliki keterkaitan yang nyata dengan wacana-wacana dari pusat (elite politik dan pemerintahan).
Meski merupakan seorang ilmuwan yang sangat dihormati banyak kalangan, namun tulisan dalam buku Pak AM Sallatu ini tidak menunjukkan adanya bias “angkuh“ sebagai ilmuwan dalam menunjukkan wacana pinggiran yang mestinya dicermati masyarakat.
Cara bertutur dalam buku Sulawesi Selatan Dalam Lintasan Perspektif ini cukup mudah dipahami dan tidak menunjukkan upaya untuk menggurui. Buku ini seolah hanya menjadi suatu diskusi santai seorang Pak AM Sallatu akan kegelisahannya dalam mencermati berbagai persolan yang ada di Sulawesi Selatan.
Bagi saya hal ini menjadi kekuatan berikutnya dari buku ini. Upayanya untuk memunculkan wacana dari cara pandang di pinggir yang jauh dari lingkar kekuasaan. Dengan cara ini, Pak AM Sallatu ingin menunjukkan bahwa permasalahan selama ini di Sulawesi Selatan sebaiknya tidak selalu dilihat dari wacana pusat yang tentu memiliki tendensinya sendiri. Kita juga harus berani melihatnya dari wacana pinggiran.