Galak di Media Sosial
Banyaknya informasi yang muncul membuat orang begitu mudah menyebarkan atau membagikan, termasuk berupa aib orang lain, fitnah, dan kebencian
Oleh: M Ghufran H Kordi K
Pengamat Sosial
Era internet dan ponsel cerdas (smartphone) memudahkan komunikasi dan interaksi manusia di dunia maya tanpa batas. Internet dan ponsel cerdas menjadi alat baru dalam demokrasi atau populer sebagai demokrasi digital. Alat tersebut memasilitasi publik dalam mengontrol, memberi masukan, dan mengoreksi pengelola negara dan pelayanan publik.
Internet juga memasilitasi peredaran informasi dalam jaringan (daring) atau online maupun dalam bentuk siaran langsung atau telepon video (videocall, videophone). Melalui fasilitas ponsel cerdas dan media sosial juga memungkinkan publik mengetahui berbagai peristiwa di daerah lain di seluruh dunia secara cepat, tepat, dan nyata (realtime).
Internet juga memasilitasi peredaran ilmu dan teknologi melalui media massa, jurnal, dan buku-buku, yang memudahkan siapa saja yang mau belajar. Kuliah dan diskusi dapat dilakukan secara daring sehingga pertukaran ilmu dan teknologi semakin cepat. Talenta-talenta di berbagai bidang pun ditemukan karena media daring dan media sosial.
Internet dan berbagai platform daring, terutama media sosial, memasilitasi bisnis, yang memungkinkan usaha rumahan, usaha kecil dan menengah dapat menjangkau konsumen lebih luas. Siapa pun dapat berdagang dan menjangkau konsumen yang lebih luas, dengan biaya promosi dan pemasaran yang sangat murah.
Asal Bagi
Namun, platform daring, terutama media sosial memunculkan permasalahan baru dalam hubungan sosial. Interaksi tanpa batas memungkinkan orang menyebar aib orang lain, memfitnah, dan menyebar kebencian. Bahkan tidak jarang, sebagian pengguna media sosial menyebarkan aib sendiri ke publik tanpa malu-malu.
Banyaknya informasi yang muncul membuat orang begitu mudah menyebarkan atau membagikan, termasuk berupa aib orang lain, fitnah, dan kebencian. Orang yang membagikan merasa apa yang dibagikan itu benar. Padahal tidak dibacanya terlebih dahulu. Akhirnya berita bohong atau hoks (hoax) menyebar dan dipercaya oleh banyak orang.
Kita juga menyaksikan bagaimana orang merasa lebih tahu, lebih paham, dan mempunyai kemampuan untuk mengatasinya. Dalam konteks perbedaan pendapat menyangkut urusan keagamaan, orang dengan mudah mengafirkan, menyesatkan, memasukkan ke neraka terhadap orang-orang yang berbeda pendapat dengannya. Padahal sebagian dari orang-orang ini hanya belajar agama di pesantren kilat atau baru belajar agama karena ada fasilitas internet.
Tetapi, pengguna media sosial yang berperilaku ‘asal bagi’ bukan hanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak berpendidikan atau berpendidikan rendah. Banyak orang-orang berpendidikan tinggi dengan berbagai profesi juga menjadi penyebar aib, fitnah, dan kebencian. Rajin mengafirkan orang lain dan memasukkan ke dalam neraka. Akhirnya, neraka dan surga tidak lagi menjadi otoritas Tuhan, tetapi telah diambil alih oleh orang-orang yang merasa sangat religius.
Pamer Kebodohan
Orang tidak merasa bersalah dan berdosa ketika menghina, memfitnah, dan mengafirkan orang lain. Di sisi lain, orang merasa sangat tahu dan sangat paham, sehingga dengan mudah menuliskan kata-kata yang merendahkan dan menganggap orang lain tidak tahu alias bodoh. Orang tidak bisa membedakan kritik dan masukan, yang penting asal tulis, asal bunyi, dan asal bagi.
Orang-orang tidak sadar bahwa apa yang dituliskan, diucapkan, atau dibagikan adalah sesuatu yang dia tidak ketahuinya. Dengan pengetahuan yang sangat minim, orang-orang berkomentar dan berpendapat, yang kemudian semakin menunjukkan ketidaktahuan dan ketidakpahamannya.
Fenomena tersebut adalah ffek Dunning-Kruger’ yang ditemukan oleh David Dunning & Justin Kruger, peneliti psikologi Cornell University. Efek Dunning-Kruger mengatakan bahwa semakin bodoh Anda, semakin Anda yakin kalau Anda tidak bodoh. Dengan lebih halus, Dunning dan Kruger menjuluki orang-orang semacam itu sebagai ‘tidak berkeahlian’ atau ‘tidak kompeten’.
Sebagaimana dikutip Nichols (2018) Dunning menyatakan, serangkaian penelitian mengonfirmasi bahwa orang yang tidak tahu banyak mengenai serangkaian keahlian kognitif, teknis, atau sosial cenderung melebih-lebihkan kecakapan dan kinerja mereka, baik itu dalam tatabahasa, kecerdasan emosional, pemikiran logis, perawatan dan keamanan senjata api, debat, ataupun pengetahuan ekonomi.