Peran Reuni dan Alumni PT di Era Disrupsi
Secara tradisi akademis, reuni atau sering juga disebut temu alumni kerap dipakai sebagai sarana kegiatan memupuk modal sosial melalui jalur alumni

(Catatan Menyambut Temu Alumni FK Unhas)
Oleh: Farid Husain
Alumni Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Pernah menjadi Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik Kementerian Kesehatan
Perbendaharaan wacana intelektual kita dewasa ini diramaikan oleh terminologi disrupsi. Kata ini dipakai menggambarkan era yang tengah kita jalani. Ditandai revolusi industri 4.0 dengan teknologi informasi dan kecerdasan buatan (artificial intelligence) sebagai motornya.
Demikian besar dan luasnya efek revolusionernya sehingga diperkirakan akan terjadi disrupsi masif pada kapasitas profesional manusia.
Banyak keahlian akan menjadi kuno diambil alih oleh internet dan kecerdasan buatan. Menurut studi Carl Benedikt Frey dan Michael Osborne, yang dikutip oleh Klaus Schwab dalam bukunya, The Fourth Industrial Revolution (World Economic Forum, 2016), 47 persen dari total pekerjaan di Amerika Serikat berisiko digantikan oleh otomatisasi/kecerdasan buatan.
Efek disruptif yang dihadirkan oleh era ini juga menghampiri perguruan tinggi (PT). Mereka dituntut untuk mampu bertransformasi secara adaptif dan inovatif. Di satu sisi PT harus memampukan dirinya beradaptasi dalam menjalankan fungsinya sebagai institusi penyedia layanan pendidikan. Di sisi lain (tantangan yang lebih berat) menghasilkan dan menyiapkan lulusan yang siap menghadapi era yang baru ini.
Modal Sosial PT
Dalam menghadapi tantangan ini nyaris tidak mungkin bila PT sendirian. PT harus mendapatkan kekuatan dari luar. Apalagi revolusi industri 4.0 lahir dari kebutuhan dan inovasi praktik bisnis di luar kampus. Implikasinya kampus harus semakin terbuka terhadap perubahan dari luar dirinya. Perguruan tinggi harus memupuk dan mengoptimalkan modal sosial yang berasal dari dalam maupun di luar dirinya sehingga tercipta kekuatan sinergis.
Secara umum modal sosial dipahami sebagai fungsi efektif dari suatu kelompok sosial melalui hubungan interpersonal, rasa identitas bersama, pemahaman bersama, norma bersama, nilai-nilai bersama, dan saling percaya serta kerja sama secara timbal balik. Modal sosial menyangkut dan meliputi orang-orang di dalam maupun di luar perguruan tinggi yang berada dalam jalinan sinergis dan produktif. Modal sosial sering dijadikan ukuran dari nilai suatu sumber daya, baik sumber daya berwujud maupun tidak berwujud.
James Coleman yang mempopulerkan terminologi ini pada dekade 1990-an lewat karya tulisnya, Social Capital in the Creation on Human Capital (American Journal of Sociology, 1988), menggambarkan modal sosial sebagai segala sesuatu yang memfasilitasi munculnya tindakan individu atau kolektif, yang dihasilkan oleh jaringan hubungan timbal balik, rasa saling percaya dan norma sosial. Dalam konsepsi Coleman, modal sosial merupakan sumber daya netral yang memfasilitasi tindakan, tetapi apakah masyarakat menjadi lebih baik sebagai hasilnya tergantung sepenuhnya pada penggunaannnya.
Dalam konteks perguruan tinggi, salah satu elemen yang sangat diperhitungkan adalah para alumni. Demi alasan praktis, alumni sering disamakan dengan lulusan atau penyandang gelar akademis dari universitas. Namun secara etimologi makna alumni lebih luas daripada itu. Kata alumnus yang berasal dari Bahasa Latin, lebih memiliki makna sebagai ‘anak asuh’ atau ‘murid’ yang dibesarkan dan dipelihara oleh sang almamater. Dengan demikian alumni tidak terbatas pada lulusan atau penyandang gelar akademis, melainkan juga mereka yang pernah merasakan dan mengasosiasikan diri sebagai anak asuh sang almamater.
John Boswell (1988), dalam bukunya The Kindness of Strangers: The Abandonment of Children in Western Europe from Late Antiquity to the Reinassance, menunjukkan bahwa pengertian alumnus sebenarnya lebih bermakna kepada hubungan yang sangat dekat, seperti dalam hubungan kekeluargaan. Dalam konteks universitas, hal itu bisa digambarkan sebagai hubungan antara sang alamater dengan anak asuhnya. Dalam hubungan keduanya, yang mengemuka bukan hak istimewa atau privelese, melainkan tanggung jawab dan pengabdian.
Bila relasi terbangun dengan kuat sebagai modal sosial, kekuatan alumni menjadi sangat diperhitungkan. Sebagai contoh betapa kuatnya kekuatan alumni, Laurent H. Cohen dan Christopher J. Malloy dalam The Power of Alumny (Harvard Business Review, Oktober 2010), menunjukkan bagaimana jejaring tersebut sangat signifikan di dunia investasi, terlihat dari keputusan-keputusan para manajer investasi bukan hanya ditentukan oleh faktor objektif perusahaan yang akan menjadi sasaran investasi, melainkan juga ditentukan oleh adanya jejaring alumni di perusahaan tersebut.
Lebih jauh, Cogen dan Malloy mengatakan kekuatan alumni tampak dari kemampuan jejaring mereka melakukan diseminasi informasi berharga baik tentang almamater mereka maupun tentang sesama alumni. Hal ini turut menjadi penjelas mengapa banyak manajer investasi membuat keputusan yang lebih akurat tentang sebuah perusahaan yang di dalamnya ia memiliki jejaring alumni daripada yang bukan. Pada gilirannya, kekuatan alumni dalam mendiseminasi informasi berharga merupakan penambahan modal sosial bagi suatu perguruan tinggi. Dan bila hal ini diakumulasi secara baik akan meningkatkan secara signifikan performa perguruan tinggi di mata publik dan pasar kerja.
Tara S. Singer dan Aaron W. Hughley (The Role of the Alumni Association in Student Life, Wiley Periodicals, 2002)dalam studi mereka menunjukkan dewasa ini sinergi antara universitas dan alumni semakin penting. Sinergi itu diorganisasikan dengan serius sehingga menciptakan dan menghasilkan tujuan bersama. Sinergitas tidak lagi hanya diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan insidentil tetapi dalam bentuk yang lebih terinstitusi dan berjangka panjang. Organisasi alumni dilibatkan secara intens dalam berbagai level kegiatan universitas, termasuk mulai dari perekrutan mahasiswa baru hingga pada penempatan dan pengembangan karier alumni.
FK Unhas