Mengubah Format Pilkada
Ketika semangat pemberantasan korupsi menjadi perhatian yang begitu besar dari suatu pemerintahan

Oleh: Baharuddin Thahir
Kepala Pusat Riset dan Pengkajian Strategi Politik dan Pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN).
Tahapan Pilkada sudah dimulai. Berbagai pihak kembali menganalisis tentang pentingnya pemilihan kepala daerah secara langsung, baik dalam konteks demokrasi maupun dalam pembentukan pemerintahan yang baik.
Sementara itu, pada beberapa kesempatanTito Karnavian selaku Menteri Dalam Negeri menjelaskan berbagai persoalan terkait Pilkada langsung dan meminta sistem pemilihan pemimpin daerah dikaji kembali. Mencermati pernyataan Mendagri, penulis melihat bahwa ada dua hal yang perlu didskusikan.
Pertama pilkada langsung menimbulkan beberapa persoalan. Kedua pkada langsung tidak sepenuhnya mampu menghadirkan pemerintahan yang baik. Sejatinya, dalam pemilihan kepala daerah tidaklah menjadi penting siapa yang memilih pemimpin pemerintahan itu, apakah dipilih oleh lembaga perwakilan atau dipilih oleh rakyat secara langsung karena keduanya pun wujud dari pelaksanaan demokrasi.
Dalam konteks demokrasi itu pula, pemilihan kepala daerah secara langsung dimaksudkan mencapai dua hal yaitu pelibatan rakyat dalam pemilihan pemimpin dan kedua memberikan ruang kepada rakyat untuk memperoleh pemimpin pemerintahan yang baik. Karena inti dari kehidupan modern adalah pemerintahan dan rakyat berhak memeroleh pemerintahan yang baik.
Tanpa pemerintahan yang baik, tidak ada ekonomi yang memihak pada kepentingan rakyat. Tidak ada hukum yang ditegakkan dengan adil. Tidak ada administrasi dan birokrasi yang secara tuntas dan konsisten melayani rakyat.
Terkait dengan pemilihan kepala daerah ini pula, titik berat otonomi daerah pun dipersoalkan. Kalau titik berat otonomi di provinsi, maka gubernur yang dipilih langsung, bupati/walikota tidak perlu, hal ini bisa kita lihat di Jakarta. Di provinsi yang juga Ibu kota Negara Indonesia tersebut hanya gubernur yang dipilih langsung. Sementara wali kota dan bupati ditunjuk oleh gubernur.
Sementara di daerah yang titik berat otonominya diletakkan di daerah kabupaten/kota maka gubernur cukup dipilih oleh DPRD provinsi.
Itupun ‘hanya’ karena UUD mengharuskan kepala daerah dipilih secara demokratis. Jika suatu waktu UUD diamandemen, kemudian mengamanahkan gubernur ditunjuk presiden pun bisa, itu membuat pemerintahan lebih efektif Dalam konteks ini, akan terdapat pengurangan medan konflik dan bisa membuat pemerintahan lebih efisien dan lebih efektif.
Pengurangan medan konflik menjadi penting karena yang terjadi selama ini adalah penggantian pemerintahan terkesan hanya untuk menyenangkan kelompok elit. Kenikmatan mereka peroleh ketika mampu membujuk rakyat untuk memenangkan calonnya. Belum ada sesuatu yang secara esensial dan fundamental berubah dari cara-cara kita mengelola kekuasaan negara. Pergantian atas orang-orang di belakang kemudi kekuasaan, sejauh ini, bukan saja belum mengubah hakikat pengelolaan kekuasaan negara menjadi sesuatu yang harus secara total diabdikan kepada rakyat, serta belum berhasil membangun harapan-harapan yang legitimate dari rakyat.
Berkenaan dengan pendapat Mendagri itu, maka ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan dalam menilai sistem pemilihan kepala daerah.
Pertama ketika kita secara bersikeras terus mempertahankan pemilihan kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat dan keterpilihan ditetapkan berdasarkan suara terbanyak maka secara sadar kita telah menerapkan azas demokrasi liberal yang berbasis individualisme di Indonesia.
Jelas ini berbeda dengan azas musyawarah, kekeluargaan dan gotong royong yang kita pahami menjadi inti sila keempat dari Pancasila, yang dahulu pernah kita tafsirkan sebagai pilar Demokrasi Pancasila. Pemilihan langsung telah menjadikan faktor-faktor popularitas, uang politik, dan manipulasi emosi rakyat menjadi penentu keterpilihan. Instrumen pencitraan melalui media massa dan media sosial menjadi sangat krusial didalam membentuk opini publik tentang seorang figur pemimpin dan calon pemimpin politik. Kedua pemilihan pemimpin pemerintahan secara langsung merupakan suatu mekanisme yang memerlukan syarat. Syarat yang dimaksud berkenaan dengan kondisi masyarakat dalam dua hal, yaitu pendidikan dan kesejahteraan.
Sebagian besar masyarakat tidak tahu pentingnya memilih pemimpin, mereka pun tidak paham bagaimana menjalin hubungan antara pemilih dan yang dipilih. Ketiga ketika semangat pemberantasan korupsi menjadi perhatian yang begitu besar dari suatu pemerintahan, maka sesungguhnya mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD menemukan momentum. Sejumlah anggota lembaga perwakilan di daerah merupakan aktor-aktor politik yang sangat bisa diawasi oleh KPK dan masyarakat. Instrument pengawasan saat ini begitu berlapis dan pada saat yang sama masyarakat pun memiliki akses untuk melakukan pengawasan terhadap DPRD.
Menyikapi berbagai fenomena yang terkait dengan pemilihan kepala daerah secara langsung, penulis memandang bahwa format pemilihan kepala daerah yang berlaku sekarang ini memang perlu dikoreksi. Ada tiga model alternatif yang secara konseptual bisa dipertimbangkan. Pertama mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD.