LAPAR Sulsel
Ini Catatan Akhir Tahun LAPAR Sulsel Soal Keberagaman dan Demokrasi di Makassar
Triwulan pertama ditandai dengan polarisasi identitas akibat momen pemilihan umum, serta pemilihan Presiden dan Wakil Persiden.
Penulis: Muh. Hasim Arfah | Editor: Sudirman
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - LAPAR Sulsel merekam dinamika keberagaman dan demokrasi di ruang publik Kota Makassar tahun 2019, mengalami tantangan yang cukup besar.
Triwulan pertama ditandai dengan polarisasi identitas akibat momen pemilihan umum, serta pemilihan Presiden dan Wakil Persiden.
Polsarisasi ini berlangsung cukup masif. Terutama masalah sosial yang menggelinding dari Jakarta, dan merembes ke wilayah lain, termasuk Makassar.
Polarisasi ini terjadi akibat maraknya hoaks politik dan ujaran kebencian bernada SARA, yang tersebar di berbagai platform media sosial.
Usai momen pemilu yang menguras energi, harapan akan menurunnya intensitas aksi intoleran, penyebaran berita bohong, dan persekusi terhadap minoritas menguap begitu saja.
Situasi keberagaman dan demokratisasi di Kota Makassar ternyata kembali menemukan titik nadir. Setidaknya, ada tiga kasus yang terbagi atas intoleransi beragama, anti-intelektualisme, dan rasisme yang terjadi sepanjang Juli – Agustus 2019.
Peristiwa paling menyita perhatian adalah aksi rasisme terhadap orang Papua, yang dimulai dari Surabaya dan merambat hingga Makassar.
Bahkan, kejadian di Makassar sampai menimbulkan keributan akibat lemparan batu sekelompok massa ke dalam area Asrama Papua Jalan Lanto Dg Pasewang.
Hingga kini pun, peristiwa rasisme ini belum terselesaikan sepenuhnya dan gejolaknya masih terasa.
Selain itu, kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi minoritas beragama di Kota Makassar juga sangat memprihatinkan.
Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan warga Syiah kerap kesulitan untuk merayakan ekspresi keberagamaannya, bahkan kerap mengalami penolakan dan persekusi dari sejumlah kelompok massa.
Pada tanggal 7 Juli 2019 Masjid Ahmadiyah di Jl. Anuang kembali didatangi sekelompok massa dengan alasan sebagai aliran yang dilarang aktivitasnya atas dasar SKB tiga menteri, kelompok massa tersebut
seolah mendapat legitimasi untuk melakukan diskriminasi terhadap jemaat Ahmadiyah.
Sementara bagi warga Syiah yang ingin merayakan Hari Asyura (10 Muharram), ada saja sekelompok massa yang menyatroni dan mengancam akan membubarkan kegiatan.
Bahkan, legitimasi ini didapatkan dari surat edaran nomor 400/402/Kesat/IX/ 2019 dikelurkan pada tanggal 9 September 2019, oleh Sekretaris Kota Makassar tentang mewaspadai dan mengantisipasi penyebaran Syiah, surat edaran ini ditujukan kepada camat-camat se-kecamatan Kota Makassar.
Surat edaran ini berangkat dari surat edaran sebelumnya yang dikeluarkan Sekertaris Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, nomor 450/0224/B.Kesejahteraan tanggal 12 Januari 2017.
Kejadian ini berulang setiap tahunnya, yang membuat warga syiah kehilangan haknya sebagai warga negara untuk mengekspresikan keyakinan agamanya.