Makna Buku 'Kepada Jauh yang Dekat' Karya Arief Balla & 3 Kekhawatiran Faisal Oddang
Forum Lingkar Pena (FLP) Ranting UIN Alauddin Makassar sukses gelar Launching dan Bedah Buku 'Kepada Jauh yang Dekat' karya Arief Balla.
Penulis: CitizenReporter | Editor: Hasrul
Disebutnya Arief sedang berusaha untuk merekonstruksi nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Arief yang berasal dari pelosok datang ke sebuah kebudayaan dunia yang besar dan menunjukkan dialog yang setara.
Dialog setara hanya bisa dicapai jika kita memiliki modal, memiliki stok pengetahuan untuk dibincangkan.

Reski Indah Sari, pegiat literasi dan aktivis anti korupsi, mewakili suara perempuan.
Tak heran jika Reski banyak menyoroti tulisan-tulisan yang membahas isu perempuan.
Selama ini ada bias gender dan Arief berusaha mengangkatnya dalam buku ini, seperti dalam esai “Jika Ada Perempuan Murahan, Adakah Juga Laki-laki Murahan”?
Selama ini perempuan selalu dianggap sebagai pembawa aib sementara tidak dengan lelaki padahal potensinya sama saja.
Adapun Faisal Oddang, penulis yang telah malang melintang ke berbagai negara, mengkhawatirkan tiga hal ketika Arief mencoba untuk menulis dan berusaha mewakili suara-suara yang selama ini bungkam (voicing the voiceless).
• Arief Balla Terbitkan Buku untuk Membiayai Konferensinya ke Amerika Serikat
• 2 Wanita Cantik yang Berfoto dengan Fadli Zon ini Kini Jadi Artis Terkenal & Kaya Raya Siapa Mereka?
Pertama, Faisal mengantisipasi jika Arief menggunakan cara pandang kolonial ketika berbicara identitasnya.
Kedua, eksotifikasi ketika Arief membincangkan sesuatu untuk mewakili orang lain namun ia bukan bagian dari kelompok itu.
Dan terakhir, ketika menyuarakan sesuatu yang tidak pernah dialaminya. Tiga kekhawatiran ini tidak ditemukan dalam buku kumpulan esai Arief Balla.
Acara ini ditutup dengan sesi tanya jawab. Dalam sesi ini Arief menegaskan bahwa baginya setiap budaya memiliki nilai-nilai positif dan negatif dan kita bisa saling belajar.
Tidak ada superior-inferior. Ia menyadari bahwa ia memiliki privilise sosial sebagai orang terpelajar.
Dan adalah tanggung jawab moral, sosial, dan intelektual bersama untuk menyuarakan mereka yang bungkam dan tidak tahu cara menyuarakan suaranya sendiri (voicing the voiceless).(*)