Renungan Natal dan Akhir Tahun 2019
Persaudaraan sejati terbentuk dari panggilan kemanusiaan bahwa kita semua diciptakan menurut citra Allah sendiri (Kej. 1:26).

Oleh: Aidan P. Sidik
Penulis adalah imam diosesan Keuskupan Agung Makassar - Alumnus Pontificio Università Urbaniana Roma - Italia
Cahaya temaram menyinari kota kecil nan mungil Betlehem. Kesunyian malam dan udara dingin membungkus kota Raja Daud itu. Di sebuah pojok rumah sederhana hadir seorang insan dalam terang kemilau kemuliaan yang Ilahi.
Sebuah palungan dengan hamparan jerami menjadi pelataran kelahiran Sang Mesias. Demikianlah gambaran penginjil melukiskan kelahiran Imanuel ketika Ia hadir di tengah-tengah dunia yang gelap dan suram ini (bdk. Mat 1:18-25; Luk. 2:1-7).
Ia hadir membawa seberkas cahaya harapan bagi setiap insan. Kelahirannya mengundang semua orang dari seluruh kalangan, mulai dari para gembala miskin dan sederhana di padang Efrata sampai para Majus yang bijak bestari dari Timur jauh (bdk. Mat. 2:1-12; Luk. 2:8-20).
Kelahiran Sang Raja Damai mempersatukan setiap orang dari berbagai kalangan, suku, bahasa dan budaya. Ia hadir di tengah-tengah dunia sebagai peretas jurang perselisihan, pertengkaran dan perpecahan.
KehadiranNya merekatkan semua orang yang mengharapkan perdamaian, cinta kasih dan keselamatan kekal di muka bumi ini. Solidaritasnya kepada manusia melalui kelahiranNya yang sangat sederhana di Betlehem menggenapi nubuat para nabi akan kehadiran Allah di tengah-tengah umat manusia, sang Imanuel (bdk. Yes. 7:14).
Di tengah perkembangan dunia yang semakin maju di era revolusi industri 4.0 ini, di satu sisi memperlihatkan kemajuan pesat yang telah dicapai oleh umat manusia di berbagai bidang, terutama di bidang teknologi dan informasi. Namun di sisi lain, tantangan dan rintangan atas eksistensi manusia membuatnya terus-menerus mengalami degradasi.
Perpecahan dan konflik yang berkepanjangan terjadi di banyak tempat di berbagai belahan dunia. Perang, persaingan, perlombaan senjata pemusnah massal, konflik dan perebutan kekuasaan menjadi momok yang menggerus nilai-nilai kemanusiaan.
Tantangan ini terus-menerus menggerus makna kemanusiaan dan persudaraan sejati. Syukurlah di tengah kekacauan dunia yang terjadi di mana-mana serta konflik yang berkepanjangan, ada sebuah peristiwa langka yang memberikan sebuah harapan bagi persaudaran sejati.
Peristiwa itu terjadi di awal tahun 2019 yang lalu. Pada 3-5 Februari 2019, Paus Fransiskus mengadakan kunjungan apostolik ke Uni Emirat Arab. Dalam kunjungan itu, Paus Fransiskus bertemu dengan Imam Besar Al-Ahzar, Sheikh Ahmed Al-Tayeb. Pertemuan bersejarah itu menghasilkan dokumen “Persaudaraan Insani demi Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama” yang ditanda tangani di Abu Dhabi, 4 Februari 2019 (Mirifica News).
Bagian pengantar dokumen itu menggambarkan dengan sangat jelas sebuah harapan akan persaudaraan insani, sebuah persaudaraan sejati umat manusia.
“Faith leads a believer to see in the other a brother or sister to be supported and loved. Through faith in God, who has created the universe, crreatures and all human beings (equal on account of his mercy), believers are called to express this human fraternity by safequarding creation and the entire universe and supporting all persons, especially the poorest and those most in need”.
Iman menuntun seorang yang percaya untuk melihat sesamanya sebagai saudara atau saudari yang harus didukung dan dikasihi. Melalui iman kepada Allah, yang telah menciptakan seluruh alam semesta, segenap mahkluk ciptaan dan semua manusia (secara setara dalam kerahimanNya).
Orang-orang beriman dipanggil untuk mengungkapkan persaudaraan insani ini dengan menjaga segenap mahkluk ciptaan dan seluruh alam semesta dan mendukung semua orang, terutama yang paling miskin dan yang paling membutuhkan.
Dokumen yang mendeklarasikan persaudaraan insani ini merupakan sebuah harapan untuk terus bergandengan tangan merajut dan menjaga tali persaudaraan semua umat manusia di muka bumi ini.