OPINI
Kota Konya dan Jejak Cinta Jalaluddin Rumi
Kami (tim peneliti “Moderasi Beragama” Program Litbang Kemenag Pusat) berjalan menuju stasiun tramvay untuk kembali mengunjungi area sekitar Museum Ja
Penulis: CitizenReporter | Editor: Ansar
TRIBUN-TIMUR.COM - Matahari yang bersinar sangat cerah membuat suhu dingin kota Konya melunak dan menjadi begitu bersahabat dengan pejalan kaki yang keluar rumah untuk beraktifitas weekend.
Kami (tim peneliti “Moderasi Beragama” Program Litbang Kemenag Pusat) berjalan menuju stasiun tramvay untuk kembali mengunjungi area sekitar Museum Jalauddin Rumi.
Seperti kemarin, area sekitar depan masjid Sultan Selim dipadati pengunjung yang sibuk berfoto atu selfi dengan latar belakang mesjid Mevlana Turbesi (Turban Mawlana) dari Museum Jalaluddin Rumi.
Kami menelusuri jalan di depan perpustakaan Yusuf Aga, berbelok di pojok, melewati pintu masuk ke museum Jalaluddin Rumi, dan berhenti tidak jauh dari situ.
Di bagian depan bangunan yang berbentuk rumah tinggal itu tertulis INTERNATIONAL MEVLANA FOUNDATION.
Hati berdebar. Di tempat inilah kami berharap dapat bertemu dengan Esin Celebi Bayru, keturunan biologis (generasi ke 22) dari Mawlana Jaluddin Rumi, Sufi besar, spiritual poet, penulis masterpiece The Mathnawi yang dampaknya mendunia, Diwan Syams Tabriz yang menebar candu cinta, dan karya-karya besar lainnya.
Inilah agenda utama kami hari ini, tapi kunjungan ini dilakukan tanpa penjadwalan sehingga wajar saja kalu kami harap-harap cemas.
Mahasiswa yang memandu kami masuk terlebih dahulu dan tidak lama kemudian keluar lagi dan memanggil kami semua untuk masuk.
Kami dipersilahkan menunggu dalam sebuah ruangan yang dikelilingi sofa tamu dengan dinding yang memajang kaligrafi- kaligrafi indah serta karya-karya seni lainnya yang tidak kalah memukau.
Tidak lama kami menunggu, masuklah seorang ibu berusia sekitar 70-80-an mengenakan blazer panjang berwarna biru terang, berkulit putih bersih dengan rambut warna keperakan.
Tanpa diperkenalkan, kami langsung yakin beliaulah sosok yang kami tunggu, dan serentak kami berdiri menyambut.
Dengan senyum yang sangat ramah, beliau mengucapkan selamat datang dalam bahasa Turki sambil meletakkan tangan kanan di dada kiri.
Kami bersalaman, duduk kembali, lalu team leader memperkenalkan serta menyampaikan tujuan kedatangan kami ke Konya yang ingin menggali elemen-elemen pemikiran toleransi dan harmoni kehidupan beragama perspektif Jalaluddin Rumi.
Kami menceritakan bagaimana kecintaan dan penghargaan orang Indonesia terhadap Jalauddin Rumi dengan bukti lahirnya institusi-institusi Rumi di Indonesia, pagelaran tari Sema, dan penerjemahan Buku serta puisi-puisi Jalauddin Rumi.
Perbincangan mengalir lancar dan hangat karena beliau sangat fasih berbahasa Inggris.
Karena terhanyut dengan suasana bahagia dan begitu ingin terlibat lebih jauh, saya pun ikut menyebutkan bahwa saya sendiri pernah menerjemahkan salah satu syarah orang atas berapa bagian kecil dari karya Rumi.
Beliau tampak senang, sebuah ucapan ‘subhanallah’ keluar dari bibirnya.
Lalu beliau bercerita tentang bagaimana orang dari berbagai penjuru dunia datang dan mempelajari Jalaluddin Rumi, yang ajaran intinya sebenarnya tidak lain dari penjabaran ajaran Alquran.
Secara spesifik beliau menyebutkan keadiran peziarah dari Cina dan Rusia, dan bahwa di sana juga ada Institusi Rumi yang ikut menyebarkan ajaran cinta Jalaluddin Rumi.
Dengan senyum ramah beliau lebih lanjut menjelaskan bahwa kebanyakan peziarah tersebut bertujuan mencari “asupan rohani.”
Karena manusia pada dasarnya terdiri dari dua unsur, yaitu jasmani dan rohani, dan kedua unsur ini memerlukan asupan yang berbeda.
Ketika secara material jasmani manusi sudah terpuaskan, unsur dahaga batinnya juga perlu dipenuhi agar dapat mencapai kebahagiaan.
Ajaran cinta (divine love) Jalaluddin Rumi menuntut penghargaan terhadap kemanusiaan secara universal tanpa memandang suku, bangsa dan agama.
Dengan cinta, hati manusia menjadi kokoh untuk mengalahkan ego pribadi yang berpotensi menyesatkan. Dengan cinta, hati menjadi luas untuk memahami perbedaan dan tidak menghakimi.
“Bukan hanya menghargai manusia, melainkan menghargai seluruh bagian dari alam, karena semua itu adalah bagian dari kehidupan manusia.
Dan semuanya mempunyai kehidupan yang perlu dihargai” Ini adalah kehidupan,” kata beliau sambil menunjuk sofa.
“Iniadalah kehidupan,"katanya lagi sambil menunjuk jendela.
Salah satu dari kami bertanya bahwa apakah penghargaan terhadap seluruh bagian alam itu merupakan penjabaran dari konsep, bahwa kemanusiaan adalah rahmat bagi seluruh alam. Dan beliau membenarkan.
Saya sempat mengungkapkan tentang kesedihan saya karena tidak dapat mengakses langsung tulisan Rumi yang berbahasa Persia karena ketebatasan bahasa.
Saya sedih karena hanya bisa membaca buku-buku tejemahan.
Beliau tampak berempati namun dengan bijak menjelaskan bahwa “Intinya bukan persoalan bahasa, tetapi bagaimana kita bisa ‘terhubung’ dengan Mawlana (sebutan Kehormatan untuk Jalaluddin Rumi) untuk bisa memahami pemikirannya.”
Rasanya ini baru awal tanjakan untuk menuju puncak perbincangan, namun dari jauh asisten beliau sudah memberi isyarat bahwa waktu berkunjung sudah selesai.
Meskipun perbincangan belum tuntas, namun kami tidak kecewa karena sangat memahami begitu berharganya waktu yang sudah diluangkan untuk kami.
Kami menyampaikan terima kasih dan segera berpamitan.
Di ruangan sebelah beberapa tamu Asing sudah menunggu. Kami kembali bersalaman, dan saat mencium tangannya yang hangat, ingin rasanya lebih lama meresapi detik-detik itu, merasakan hangatnya aliran darah Jalaluddin Rumi dalam genggaman.
Kami kembali berjalan ke stasiun Tramvay. Di pojokan terpajang quote dari buku The Mathnawi Jalaluddin Rumi: “Not the ones speaking the same language, but the ones sharing the same feeling understand each other.” (Bukan kesamaan bahasa, melainan kesamaan perasaanlah yang membuat orang saling memahami).
Meskipun berbeda bahasa, suku dan bangsa, jika perasaan dipupuk bersama, siapapun akan saling memahami.
Begitu dalam makna quote ini, dan inilah oleh-oleh paling berharga yang akan saya bawa pulang ke Indonesia, khususnya ke Makassar.
Ditulis: Dra Andi Nurbaethy, MA. Dosen Prodi Akidah dan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik UIN Alauddin Makassar.
Langganan berita pilihan tribun-timur.com di WhatsApp
Klik > http://bit.ly/whatsapptribuntimur
Follow akun instagram Tribun Timur:
Silakan Subscribe Youtube Tribun Timur: