Prof Amran Razak Kenang Panglima Puisi Husni Djamaluddin, Syairnya Tentang Tanah Air Bikin Ngakak
Dari puisinya terungkap bahwa Husni Djamaluddin sudah mempersiapkan kematiannya sebelum ajal menjelang
Oleh Amran Razak
Pendiri Serikat Penyair Kampus Unhas
Syair-syair Husni Djamaluddin, menembus ruang kampus.
tulisan Prof Amran Razak dalam Opini Tribun Timur cetak Edisi Sabtu, 9 November 2019
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Di Tinambung, Polewali Mandar - 10 November 2019, akan diperingati haul Panglima Puisi Husni Djamaluddin. Sosok penyair nasional ini, memberikan arti tersendiri terhadap kebangkitan penyair muda progresif tahun 1980-1990an.
Bagi mahasiswa seperti saya yang tumbuh dan dewasa di pertengahan tahun 1970-an sampai pertengahan tahun 1980-an (1976-1986), tak bisa melepaskan diri dari kukuhnya pengaruh kebangkitan penyair Indonesia “angkatan 70”.
Kala itu, Corak perpuisian tersebut ditandai oleh adanya upaya yang sadar untuk kembali ke akar (back to basic). Di sinilah, Husni Djamaluddin hadir sebagai penyair nasional dan Panglima Puisi di Sulawesi Selatan saat itu.
Kala itu pula, saya mengenal Sutardji Calzoum Bahri Satta, Hamid Djabbar, dan puisi KH D Zawawi Imron. Husni bersama Rahman Arge dinilai Teeuw keduanya mengunggah puisi yang mengandung unsur-unsur ironi yang segar.
Kumpulan puisi Husni Djamaluddin antara lain : Puisi Akhir Tahun (1969), Obsesi (1970), Kau dan Aku (1974), Sajak-sajak dari Makassar (1974); Toraja (1979), Bulan Luka Parah (1986), Berenang-renang ke Tepian, dan antologi Puisi ASEAN Buku III (1978).
Generasi saya hampir ‘mengenal-utuh’, sosok Husni Djamaluddin sebagai tokoh penting di Sulawesi Selatan dan Barat Kepenyairannya berbareng lurus dengan posisinya sebagai budayawan terkemuka. Ia juga terkenal sebagai jurnalis senior semasa kebangkitan Orde Baru (sebayanya Arsal Alhabsy, Rahman Arge, Alwy Hamu dan Nursyamsu).
Almarhum juga pengusaha yang piawai. Apa yang tak dimilikinya sebagai bura’ne na bura’nea - ‘lelaki sejati’ – to malebbiq – Idola kaum muda progresif.
Suatu Ketika di Tamalanrea
Bermula di awal tahun 1990, kesedihan menyelimuti dosen-dosen muda Unhas yang tinggal di Tamalanrea. Kesedihan itu, karena setiap musim kemarau dosen di kompleks itu, tersitawaktu mengajarnya untuk mencari air – memenuhi kebutuhan rumahtangganya. Letak kampung Tamalanrea, 10 kilometer dari pusat kota – juga bukti ketergusuruan mereka, tersingkir dari kota. Maka viral-lah kisahnya, jika penghuni perdos Unhas tak mampu menyanyikan lagu Indonesia Raya secara baik dan sempurna. Lantaran, air mereka tak punya, tanah pun milik Unhas. Saat itulah, saya teringat bait-bait dari puisi Husni Djamaluddin :
INDONESIA, MASIHKAH ENGKAU TANAH AIRKU
Indonesia tanah airku
tanah tumpah darahku
di sanalah aku digusur
dari tanah leluhur
Indonesia tanah airku
tanah tumpah darahku
di sanalah airku dikemas
dalam botol-botol aqua
Indonesia tanah airku
di sanalah aku berdiri
jadi kuli sepanjang hari
jadi satpam sepanjang malam
Indonesia tanah airku
Indonesia di manakah tanahku
Indonesia tanah airku
Indonesia dimanakah airku
Indonesia tanah airku
tanah bukan tanahku
Indonesia tanah airku
air bukan airku
Indonesia, masihkah engkau tanah airku ?
Tuhan, jangan cabut Indonesiaku
dari dalam hatiku
Sebuah Puisi (ku) untuk Husni Djamaluddin
Bicaralah aku
dan lautku
pecah
Diamlah aku
dan lautku
gemuruh
S I A P A
Berenang
dalam
lautku ?
- - -
Dewan Kesenian Makassar (DKM),
20/09-1984
Pergi tinggalkan keriuhan
Husni Djamaluddin terlahir di Tinambung, Kabupaten Polewali Mandar – Sulawesi Barat, pada 10 November 1934. Ia wafat tanggal 24 Oktober 2004, persis sebulan setelah terbentuk Provinsi Sulawesi Barat.
Almarhum adalah salah seorang ‘tokoh penting’ berdirinya Provinsi Sulawesi Barat. Ia sepertinya, telah menunggu menuntaskan urusan duniawi. Untaian puisinya menunjukkan kesiapan almarhum menuju SurgaNya.
JIKA PADA AKHIRNYA
Jika pada akhirnya
Mata pun katup dan tubuh terbujur kaku
Apa lagi yang sisa
Barangkali aku akan menempuh jarak jauh
Barangkali akan dapat melewati jalan pintas
Barangkali aku bisa segera berada di depan
rumahMu
Barangkali Kau sudi membuka pintu
Barangkali Kau berkenan mengulurkan
tangan
Barangkali Kau tersenyum ramah berkata,
masuklah
Barangkali semua ini sisa mimpi
Yang kubawa dari bumi
Barangkali mimpi ini
Terlalu berani
Dan terlalu berlebih-Iebihan
Barangkali aku tak pantas
Lewat jalan pintas
Barangkali aku tak patut
Kau bukakan pintu
Barangkali aku tak layak
Kau uluri tangan
Barangkali aku tak berhak
Masuk ke dalam rumahMu
Lalu ke mana lagi aku harus pergi
Menyerahkan diri
Setelah mata tertutup
Setelah tubuh terbujur kaku
Ayah Ideologis
Bagi kami aktivis kampus ‘semrawut’ (pimpinan lembaga kemahasiswaan, tokoh pergerakan mahasiswa, dan sesepuh kemahasiswaan) berlatar pengasuh pers mahasiswa-radikal, penggiat seni, penulis buku perlawanan, dan ‘pecinta ulung?’, Husni Djamaluddin tak hanya sebagai to malebbiq tetapi almarhun juga adalah ayah ideologis kami. Ia --- Sang Pencerah, mengisi ruang-ruang kosong kampus.