Iuran BPJS Kesehatan Naik, Bupati Bone: Beban Bagi Daerah
Menanggapi hal tersebut, Bupati Bone Dr HA Fahsar Mahdin Padjalangi menyebut bakal menjadi beban bagi daerah.
Penulis: Justang Muhammad | Editor: Imam Wahyudi
TRIBUNBONE.COM, WATAMPONE - Iuran BPJS Kesehatan untuk Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja naik sebesar dua kali lipat dari sekarang.
Kenaikan iuran bagi peserta yang kerap disebut peserta mandiri tersebut berlaku awal 2020 mendatang.
Menanggapi hal tersebut, Bupati Bone Dr HA Fahsar Mahdin Padjalangi menyebut bakal menjadi beban bagi daerah.
Baca: 40 Ribu Peserta Bakal Ramaikan Porseni PGRI Sulsel di Barru
Pasalnya, sebagian iuran bagi warga khususnya masyarakat miskin di Bone menjadi tanggungan daerah.
"Kami pastinya bakal ngadu ke pusat, kalau naik ya kita harapkan ada dana tambahan dari pusat, ketika tidak ada dana tambahan pasti kita susah,"kata Fahsar kepada TribunBone.com, Jumat (1/11/2019).
"Yang ada saja sekarang ini kita setengah mati, susah bayar BPJS," kata bupati Bone dua periode tersebut.
Baca: Keluarga Besar Habsi-Irwan Deklarasi, Sepakat Kembali Paket di Pilkada Mamuju 2020
Selain itu kata Fahsar, masyarakat yang menjadi peserta mandiri juga pasti bakal banyak mengeluh.
“Masyarakat Bone pasti mengeluh ke kita, ya kita mengeluh ke pemerintah pusat nanti,” kata Fahsar.
Diketahui, Presiden Joko Presiden Joko Widodo resmi menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja sebesar dua kali lipat dari sekarang.
Baca: Peringati Ultah Haera Ilham Putrinya, Ilham Arief Sirajuddin Sarapan Bareng Petugas Kebersihan
Kenaikan iuran bagi peserta yang kerap disebut peserta mandiri tersebut berlaku awal 2020 mendatang.
Pertimbangan pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan kesinambungan program jaminan kesehatan perlu dilakukan penyesuaian beberapa ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Dalam Pasal 34 Perpres 75/2019, tarif iuran kelas Mandiri III dengan manfaat pelayanan di ruang kelas perawatan kelas III naik Rp16.500 dari Rp25.500 menjadi Rp42 ribu per peserta per bulan.
Baca: Ekspor Sulsel Meningkat pada September 2019, Bagaimana dengan Impor?
Lalu, iuran kelas mandiri II dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas II naik dari Rp51 ribu menjadi Rp110 ribu per peserta per bulan.
Terakhir, iuran kepesertaan BPJS Kesehatan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas I melonjak dari Rp80 ribu menjadi Rp160 ribu per peserta per bulan.
Kenaikan iuran tersebut diterapkan mulai 1 Januari 2020 mendatang.
Baca: Ketua PKK Sulsel Bagikan 400 Paket Beras untuk Warga Kecamatan Mariso Makassar
Kahfi Minta Pemerintah Tinjau Ulang Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan
Anggota Komisi IX DPR RI Ashabul Kahfi meminta Pemerintah meninjau ulang kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Kenaikan iuran BPJS Kesehatan tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan.
Aturan ini diteken Presiden Joko Widodo dan diundangkan 24 Oktober 2019 lalu dan berlaku sejak tanggal yang sama.
Baca: Update Pendaftaran CPNS Via sscasn.bkn.go.id, Cara Daftar Online, Dokumen Selain Foto Swafoto/Selfie
Baca: Pendaftaran CPNS 2019 di sscasn.bkn.go.id, Cek Formasi, Syarat, Dokumen Wajib, Cara Daftar di SSCASN
Baca: Penyebab Alfin Lestaluhu Pemain Timnas U-16 Meninggal Dunia, Korban Gempa Ambon, Idap Radang Otak
Dalam aturan itu, kenaikan paling signifikan terjadi pada jenis kepesertaan mandiri atau Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP).
Iuran peserta mandiri kelas 1 dan 2 naik dua kali lipat dari semula Rp 80 ribu dan Rp 55 ribu menjadi Rp 160 ribu dan Rp 110 ribu.
Sementara iuran peserta kelas 3, naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42 ribu. Sedangkan Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan dinaikkan subsidinya dari Rp 23 ribu menjadi Rp 42 ribu.
Kahfi menyatakan, kebijakan itu akan semakin menyusahkan bagi rakyat kecil, dan membebani APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota.
"Kenaikan BPJS Mandiri akan membuat masyarakat kecil harus mengurangi pengeluaran beli makanan bergizi, yang seharusnya berperan dalam pencegahan penyakit. Kenaikan PBI, juga akan membebani Pemerintah Daerah, karena tak semua PBI ditanggung APBN," tegas Kahfi via pesan Whatsapp, Jumat (1/11/2019).
Kahfi berpendapat, seharusnya Kabinet Indonesia Maju diberikan waktu untuk bekerja terlebih dahulu. Dalam amatan Kahfi, Menteri Kesehatan dr Agus Putranto sedang mencari jalan keluar.
Langkah awal Menkes, Kata Kahfi dengan menyumbangkan gaji dan tunjangan pertamanya sebagai menteri untuk menutupi defisit BPJS.
"Mungkin sumbangan dr Terawan tidak berarti jika dibandingkan dengan besaran defisit BPJS, tapi saya melihat, beliau mengajak kita berpikir, mesti ada jalan lain, yang tak harus mengorbankan rakyat kecil," ungkapnya.
Berdasarkan UU No 24 Tahun 2011, sambung Kahfi, disebutkan bahwa BPJS Kesehatan mempunyai hak untuk memperoleh dana operasional penyelenggaraan program yang bersumber dari Dana Jaminan Sosial (DJS) dan/atau sumber lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
"Seharusnya jalan lain ini yang sama-sama kita pikirkan. Bukan ambil langkah yang langsung membebani publik," katanya.
Legislator Dapil Sulawesi Selatan 1 ini mencontohkan, pemanfaatan dana cukai rokok untuk menutupi defisit BPJS, agar dilakukan secara berkesinambungan, bahkan jika perlu menaikkan cukai rokok untuk menutupi beban BPJS.
"Sembari mencari jalan keluar permanen, saya kira Pemerintah masih bisa melakukan relokasi APBN, untuk menutupi defisit," katanya.
Secara jangka panjang, solusi yang ditawarkan Kahfi adalah merubah cara pandang masyarakat terhadap kesehatan. "Saya amati perbedaan cara pandang masyarakat terhadap kesehatan, sebelum dan sesudah adanya BPJS. Dulu, jika hanya sakit ringan seperti flu, atau sakit kepala biasa, masyarakat langsung saja ke apotek. Atau memilih istirahat saja," tegas Ketua DPW PAN ini.
Sekarang, kata Kahfi, betapapun ringannya sakit yang dirasakan, langsung mau ke puskesmas atau klinik BPJS.
"Masyarakat memandang, iuran yang mereka bayarkan setiap bulan, harus mereka rasakan manfaatnya secara langsung. Jika tidak, uang BPJS yang mereka bayarkan dianggap hangus percuma. Cara pandang inilah yang mesti kita ubah bersama-sama," jelasnya.
Di sisi lain, cara pandang petugas kesehatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes), juga lebih berorientasi kuratif (pengobatan), daripada bersifat preventif, atau promotif.
"Jumlah pasien yang tinggi dianggap sebagai indikator berkualitasnya layanan kesehatan. Padahal, hemat saya, jika semakin tinggi masyarakat yang datang berobat, artinya puskesmas tidak menjalankan peran-peran preventif dan promotif. Harusnya dinilai sebagai kegagalan, bukan keberhasilan," katanya.
Kahfi juga mengungkapkan temuannya di lapangan, adanya fasyankes yang hanya menjalankan peran administratif.
"Semua pasien yang ingin berobat kan mesti mendapat rujukan dari Puskesmas atau klinik pratama. Pernah saya dapat laporan masyarakat, ada klinik pratama milik swasta, yang hanya menjalankan peran administratif. Setiap pasien yg datang, pasti akan langsung dirujuk. Tidak ada perawatan medis yang intensif. Bahkan alat-alat kesehatan yang dimiliki terkesan tidak memadai,” katanya.
Jika fasyankes hanya menjalankan peran administratif, lanjut Kahfi, maka hal itu merupakan salah satu sumber kebocoran pembiayaan BPJS. “Mesti ada monitoring dan evaluasi secara ketat dan reguler, bagi semua fasyankes mitra BPJS,” jelasnya.
Kahfi menyimpulkan, bahwa langkah yang diambil Pemerintah masih bisa direvisi sebelum diberlakukan.
Ia akan menyampaikan hal tersebut dalam rapat bersama Kementerian Kesehatan dan BPJS dalam waktu dekat.
Laporan Wartawan tribuntimur.com / Abdul Azis Alimuddin
Langganan berita pilihan tribun-timur.com di WhatsApp
Klik > http://bit.ly/whatsapptribuntimur
Follow akun instagram Tribun Timur: