Joker, Wiranto dan Nyinyiran Kebencian
Adillah sejak dalam pikiran, kata Pram. Maka adillah sejak dalam dugaan. Ataukah kata dosen saya ketika menyampaikan materi kuliahnya
Oleh: Muhammad Musmulyadi
Mahasiswa Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik UIN Alauddin Makassar
Apa yang terjadi sebenarnya? Mengapa sebagian kita merespon musibah seseorang dengan nyinyiran. Awalnya saya mengira ini hanyalah bagian dari atmosfer viralnya film yang bergenre psikologis ini, Joker. Garapan sutradara Todd Philips yang masih menjadi pembicaraan hangat. Yang populer dengan istilah “orang jahat adalah orang baik yang tersakiti”.
Sayangnya ekpresi ketidaksimpatian atas musibah ini bukan karena si Joker yang digambarkan sebagai tokoh antagonis, yang awalnya adalah orang baik lalu tersakiti kemudian menjadi orang jahat. Setelah saya telusuri kegaduhan ini tenyata datang dari peristiwa yang sungguh brutal.
Berawal dari viralnya video kasus percobaan pembunuhan terhadap Menkopolhukam Wiranto pada Kamis (10/10/2019).
Dalam video yang telah banyak disebarkan tersebut, Wiranto terlihat keluar dari mobil. Lalu secara tiba-tiba seorang tak dikenal datang menyerangnya—menusuknya. Kejadian inipun mendapatkan reaksi. Tak kecuali warganet di dunia maya. Namun kenyataannya, bukannya turut bersimpati, malah ada segelintir orang yang merespon kasus ini dengan negatif thinking yang akhir-akhir ini banyak kita temukan di sosial media.
Sampai hari ini, kasus tersebut masih menarik perhatian publik, bersaing dengan populernya film Joker. Namun berbagai nyinyiran datang dari berbagai pihak. Berbagai opini dan spekulasi muncul. Komentar miring dan berbagai tuduhan berdatangan.
Ada tuduhan seperti ini bahwa peristiwa tersebut merupakan settingan agar dana deradikalisasi terus mengucur. Bahwa ini adalah sebuah play victim. Tuduhan ini datang dari salah satu politisi. Ada juga tuduhan menganggap ini hanya sebuah drama untuk pengalihan isu.
Ada juga yang mempertanyakan ini sebuah insiden atau sebuah desain yang telah di-setting, seperti dalam tulisan Nasruddin Joha, seorang aktivis khilafah, yang dalam rekam jejak tulisannya memang berisi kritik keras terhadap rezim yang dianggapnya zalim.
Nasruddin menyimpulkan berdasarkan analisisnya bahwa fenomena ini adalah sebuah gambaran betapa dibencinya Wiranto oleh publik. Benarkah demikian?
Psikologi Kebencian
Menurut guru besar psikologi UGM Koentjoro bahwa reaksi warganet yang justru tak simpatik dengan apa yang menimpa Wiranto merupakan wujud agresivitas yang terpendam. Agresivitas merupakan perilaku yang memiliki maksud untuk menyakiti seseorang, baik fisik atau verbal (Kompas.com, 11/10/2019).
Di sumber yang sama, nenurut guru besar UGM ini, ada Echo Chambering dalam sinisnya warganet pada Wiranto. Menurutnya, ketika ada kabar bahwa Wiranto diserang, maka meledaklah menjadi sebagai sebuah kegembiraan. Ini semua adalah dampak dari pemilu kemarin.
Ketika echo cahmbering atau keyakinan-keyakinan tertentu bergaung pada satu kelompok sudah menjadi bias kognitif, maka akan menimbulkan kebencian yang sangat kuat dalam diri seseorang. Ketika kebencian sudah sangat kuat, dan ada kejadian (seperti) yang menimpa Wiranto, maka kemudian mereka akan bersyukur. Kata Prof Koentjoro.
Bisa saja pendakuan guru besar UGM ini sepenuhnya benar. Mengingat bahwa dengan alasan apa lagi kita mengambil sikap demikian, jikalau bukan karena suatu kebencian? Kita tahu bahwa antara Joker dan Wiranto adalah dua orang dan kasus yang sebenarnya sangat berbeda. Hanya saja mereka dibicarakan hampir di waktu yang sama.
Jika dilihat lebih serius bahwa Arthur dan Wiranto sama-sama membuat orang terhibur. Bedanya Arthur yang bekerja sebagai badut membuat orang tertawa karena memang kerjanya untuk menghibur. Sedangkan Wiranto membuat bahagia orang yang membenci dan yang nyinyir padanya.