Gelar Diskusi Publik RUU, Ketua Dema UINAM: Penentuan Arah Gerakan
Ketua Dema UINAM, Junaedi, dalam keterangan tertulisnya mengungkapkan, landasan mengadakan diskusi publik
Penulis: Muslimin Emba | Editor: Imam Wahyudi
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Dema Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar menggelar diskusi publik terkait rancangan undang-undang yang menuai kontroversi pada kalangan mahasiswa dan masyarakat.
Diskusi publik di ruang rapat senat rektorat lantai 4 kampus UIN Alauddin Makassar, Jumat (11/10/19) siang.
Ada tiga narasumber yaang dihadirkan.
Baca: Ditemukan Kelelahan di Gunung Lompobattang, Madipala UNM: Kami Tidak Tersesat
Mereka, Ketua BAIN HAM RI DR H Muhammad Nur, SH Mpd MH, pakar Tata Negara Prof Dr Marwan Mas MH dan Akademisi dan juga Dosen UINAM Dr Syamsuddin Radjab, SH MH.
Ketua Dema UINAM, Junaedi, dalam keterangan tertulisnya mengungkapkan, landasan mengadakan diskusi publik itu terkait masalah rancangan undang-undang kontroversi yang berdampak pada masyarakat.
"Dasar dari pemikiran Dewan Eksekutif Mahasiswa UINAM melakukan diskusi publik ini terkait persoalan problematika rancangan undang-undang yang dibahas oleh DPR dan kita ingin mengetahui sejauh mana dampak dari rancangan undang-undang ke masyarakat," ujar Junaedi.
Baca: Balasan Istri Sah ke Mantan Pacar Suami yang Ketahuan Ajak Bertemu Diam-diam, Ini Isi Chatnya
Output dari dialog publik itu, lanjut Junaedi, untuk mengarahkan mahasiswa mengambil sikap terkait persoalan undang-undang yang dinilai kontroversi tersebut.
"Diskusi publik ini sebagai bentuk pengkajian untuk menentukan arah pergerakan mahasiswa kedepannya," jelasnya.
Dialog tersebut dihadiri sejumlah mahasiswa UINAM dari berbagai gakultas dan jurusan.
Dosen UINAM Dr Syamsuddin Radjab Bongkar Pasal 'Karet' 27 UU ITE
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Dr Syamsuddin Radjab SH MH menjelaskan, Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) atau Undang-undang nomor 11 tahun 2008 itu hadir atas adanya perdagangan online atau e-commerce dan cybercrime.
Hal ini dia sampaikan di Redaksi Tribun Timur, Jl Cendrawasih No 430, Makassar, Sulsel, Selasa (8/10/2019).
Tapi, belakangan ini undang-undang ITE lebih banyak dikenal ketika seseorang melaporkan atas dugaan pencemaran nama baik dan ujaran kebencian melalui media sosial.
Baca: Lapar Tengah Malam? Ini Lima Warung yang Buka 24 Jam di Kota Makassar
Menurutnya, dasar politik menciptakan undang-undang ini berkembangnya transaksi online dan kejahatan pembobolan Anjungan Langsung Tunai (ATM) di Eropa dan Amerika.
Tapi, belakangan ada pasal 27 yang sudah melenceng dari awal pembentukan undang-undang ITE.
Pasal ini berbunyi: "Pasal 27 ayat 3 UU ITE menyebut melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."
Baca: Sanksi Baru Penunggak Iuran BPJS Kesehatan, Jangan Coba-coba Telat Bayar, Lebih Berat
"Pasal ini adalah pasal karet karena semua orang bisa masuk melaporkan, sehingga sekarang sudah ada satu profesi tukang lapor," katanya.
Pasal 27 UU ITE bahkan lebih berat hukumannya ketimbang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Misalnya, seseorang yang terbukti dengan sengaja menyebarluaskan informasi elektronik yang bermuatan pencemaran nama baik seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE akan dijerat dengan Pasal 45 Ayat (1) UU ITE, sanksi pidana penjara maksimum 6 tahun dan/atau denda maksimum 1 miliar rupiah.
Baca: Kakak Paksa Adik Kandung Berhubungan Badan Laiknya Suami Istri, Lama-lama Mau Keterusan Kini Hamil
"Karena setiap ada pelaporan maka undang-undang ITE yang dulu dipakai, KUHP pilihan kedua," katanya.
Padahal, dalam undang-undang ITE memuat bahwa sudah berlaku dan sah itu tanda tangan elektronik.
Undang-undang ITE pertama kali menjerat Prita Mulyasari adalah seorang ibu rumah tangga yang berasal dari Tangerang dan ibu dari dua anak adalah seorang pasien gondong (mumps) di Rumah Sakit Omni Internasional yang salah didiagnosis sebagai demam berdarah dengue.
Baca: Ayah, Paman, Peman Bergiliran Perkosa UH, Lalu Suruh Korban Cari Pacar Agar Ada Bertanggung Jawab
Keluhannya tentang perawatannya yang dimulai sebagai sebuah surel pribadi yang dipublikasikan dan dia dipenjara setelah kalah dalam gugatan pencemaran nama baik yang dilakukan oleh pihak rumah sakit.
"Kami mendampingi Prita Mulyasari di PBHI dulu, inilah pertama kali undang-undang ITE menjerat orang di Indonesia," kata mantan Ketua Umum Persatuan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI).
Prita Mulyasari terjerat pasal 27 ayat 3 kemudian sempat ditahan.
Kesimpulannya, Dr Syamsuddin Radjab menganggap pasal 27 harus dikeluarkan dari UU ITE.
"Supaya UU ITE jadi hukum administrasi bukan hukum pidana. Undang-undang penghukuman masuk ke KUHP," katanya.
Baca: Bidik Traveler Milenial, Lion Air Terbang Perdana Makassar-Manokwari per 9 Oktober 2019
Pakar HTN UINAM: Propam Polda Sulsel Tak Bisa Identifikasi Pemukul Jurnalis Alasan Menyesatkan
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM), Dr Syamsuddin Radjab SH MH, menganggap kekerasan kepada jurnalis melawan konstitusi dalam Pasal 28F Undang Undang Dasar 1945.
Pasal ini berbunyi: "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia."
Apalagi, kekerasaan itu terjadi saat jurnalis melakukan pekerjaan sesuai dengan Undang-undang no 40 tahun 1999 tentang Pers.
Baca: Daftar Harga HP Samsung Galaxy A Rp 1 Jutaan-Rp 3 Jutaan Oktober 2019, Mulai Samsung A10, A50 & A70
"Kekerasan terhadap kepada jurnalis itu seperti Lebaran, setiap tahun ada kekerasan jurnalis dan penyelesaiannya adalah maaf-maafan," kata Syamsuddin di kantor redaksi Tribun Timur, Selasa (8/10/2019) malam.
Menurutnya, penyelesaian kekerasaan kepada jurnalis tidak pernah diselesaikan secara hukum atau undang-undang.
"Tak ada itu maaf-maafan dalam undang-undang pers karena setiap tahun ada kekerasan maka saya kuatirkan bisa menjadi pola penyelesaian kekerasan terhadap profesi jurnalis apalagi pelakunya oknum kepolisian," katanya.
Baca: Inilah Kesalahan Fatal Luna Maya ke Pacarnya Hingga Gagal Nikah, Termasuk Reino Barack & Ariel Noah
Syamsuddin Radjab menjelaskan pekerjaan jurnalis yakni menyampaikan hak warga negara terkait informasi dan hak mengetahui.
"Tugas-tugas ini hanya satu pekerjaan yang bisa menjalankan yakni jurnalis. Kalau polisi melakukan kekerasan kepada jurnalis maka itu adalah perlawanan terhadap konstitusi negara," katanya.
Hal itu sesuai dengan cita-cita reformasi, pada awal reformasi, pemerintah menghasilkan undang-undang no 9 tahun 1998 tentang penyampaian pendapat di muka umum (unjuk rasa) dan undang-undang no 40 tahun 1999 tentang Pers.
Baca: Rustan Warga Kahu Bone Luka Parah Usai Berkelahi dengan Pencuri yang Masuki Kamar Putrinya
"Kekerasan kepada jurnalis itu dapat dipidana 2 tahun dan denda Rp 500 juta, jika aparat penegak hukum yang melakukan biasanya ditambah lagi," katanya.
Sebelumnya, Kabid Propam Polda Sulsel Kombes Pol Hotman C Sirait mengatakan kesulitan untuk mengidentifikasi secara pasti siapa pelaku pemukulan tiga wartawan di Makassar pada Selasa (24/9/2019) saat meliput aksi unjuk rasa di depan kantor DPRD Sulsel, Jl Urip Sumoharjo.
Hotman mengungkapkan, papan nama oknum aparat yang melakukan pemukulan tersebut tertutup dengan tangan kerumunan sehingga sulit menentukan secara pasti polisi yang melakukan pemukulan.
Baca: Pendaftaran CPNS Dibuka November 2019: Link Resmi BKN SSCN.BKN.go.id, Dokumen Penting, Imbauan BKN
Syamsuddin Radjab menganggap pernyataan Hotman tak berkaitan dengan tindak kekerasan kepada jurnalis.
"Itu adalah sanksi internal kepolisian, tak ada hubungannya dengan masalah kekerasan yang bisa melanggar undang-undang Pers dan KUHP (kitab undang-undang hukum pidana)," katanya.
Menurut Syamsuddin, alasan Hotman ini menyesatkan.
"Mereka bertugas ini sebagai anggota kepolisian, dan alasan ini bertentangan dengan hukum, mengidentifikasi pelaku dari unsur polisi atau TNI paling mudah, tinggal tanya siapa yang memukul wartawan tersebut. Dan kalau urusan internal biarkan mereka urus sendiri tapi penyelesaian tindak lanjut pidananya kawal di reskrim (reserse kriminal) saja melalui pendampingan teman-teman advokat," katanya.
Dengan demikian, pola penyelesaian harus melalui Undang-undang No 40 tentang Pers, Undang-undang 39 tentang HAM, Undang-undang No 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik.
Baca: Kabar Buruk Ashanty Istri Anang Hermansyah Ibu Aurel Hermansyah, Idap Penyakit Autoimun, Doa Ngalir
"Ini harusnya melalui pengadilan, kita akan menguji alasan tindak kekerasan di pengadilan. Saat terjadi kekerasan mereka bertindak atas nama institusi kepolisian, mereka yang bertugas meliput di sana atas nama jurnalis," katanya.
Menurutnya, kekerasan kepada jurnalis terjadi di beberapa daerah.
"Kalau ini terjadi di semua daerah maka ada pola yang sama. Kita tak membenci polisi yah, justeru kita membantu agar kepercayaan publik kembali tumbuh tapi kasihan polisi kalau menyelesaikan masalah seperti ini, jika anggotanya terlibat terkesan mengabaikan tapi jika masyarakat cepat ditangani penegakan hukumnya," katanya.

Kasus Kekerasan yang Libatkan Oknum Polisi, Dua Jurnalis TV jadi Saksi di Polda Sulsel
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Dua jurnalis Televisi (Tv), menjadi saksi kasus kekerasan jurnalis, di Ditreskrimum Polda Sulsel, Makassar, Senin (7/10/2019) siang.
Dua jurnalis Tv itu, M Nur (Tv One) dan Taufiq Lau (Metro Tv). Mereka menjadi saksi atas kasus yang menimpa jurnalis LKBN kantor berita Antara, Darwin.
Nur dan Taufiq, diperiksa sekitar tiga jam di ruangan tim penyidik Ditreskrimum lantai 1, Polda, Jl Perintis Kemerdekaan Km 16, Kecamatan Biringkanaya, Kota Makassar.
Taufiq Lau mengatakan, usai memberikan keterangan kesaksian pemeriksaan ada 20 pertanyaan yang dilayangkan tim penyidik terkait keberadaannya di lokasi kejadian.
Ditangkap Gegara Narkoba, Fakta-Fakta Daffa Dangdut Academy, Teman Sengkatan Evi Masamba
Kurangi Sampah Plastik, Swift Club Indonesia Bakal Gelar Kegiatan Peduli Lingkungan
Kurangi Sampah Plastik, Swift Club Indonesia Bakal Gelar Kegiatan Peduli Lingkungan
"Ada 20 pertanyaan seputar kejadian. Tim penyidik pertanyakan beberapa hal terkait penganiayaan terhadap korban, dan saya sampaikan faktanya," ungkap Taufik Lau.
Kata Taufiq, saat kejadian itu dia bersama korban meliput polisi yang membubarkan aksi massa Selasa, 24 September 2019 di depan kantor DPRD Sulsel, Kota Makassar.
"Saya jelaskan faktanya, korban waktu itu juga ikut dikeroyok, meskipun saya sudah menyampaikan bahwa korban juga adalah wartawan, tapi masih dikeroyok," ujarnya.
Lanjutnya, korban tidak hanya mendapat tindakan penganiayaan. Tapi juga jelas ada unsur penghalangan kerja jurnalis, sesuai diatur dalam UU tahun 1999 tentang Pers.
"Ini jelas-jelas melanggar pasal 18 ayat 1 undang-undang (UU) nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Terkait dengan penghadang-hadangan kerja jurnalis," tegas Taufiq Lau.
Ditangkap Gegara Narkoba, Fakta-Fakta Daffa Dangdut Academy, Teman Sengkatan Evi Masamba
Kurangi Sampah Plastik, Swift Club Indonesia Bakal Gelar Kegiatan Peduli Lingkungan
Kurangi Sampah Plastik, Swift Club Indonesia Bakal Gelar Kegiatan Peduli Lingkungan
Hal senada juga disampaikan Muh Nur, dia dicecar 20 pertanyaan masih soal kejadian itu. Bahkan, saat pemeriksaan, ia ceritakan fakta sebenarnya atas pengeniayaan itu.
"Saya menjelaskan fakta kejadian, saat itu melihat korban dikeroyok dan dipukul polisi berseragam, saya sudah berusaha melerai dan bilang korban itu jurnalis," kata Nur.
Dua saksi jurnalis ini, didampingi oleh tim advokasi hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers. Fajriani Langgeng, Abd Kadir Wokanubun, Hamka dan Firmansyah.
"Kami harap pihak kepolisian bisa bekerja secara profesional, karena ini semua bukti foto dan rekaman sudah kami serahkan, tinggal mereka bekerja sesuai," ujar Kadir.
Selain kasus kekerasan terhadap Darwin, sebelumnya ada juga dua jurnalis, M Saiful Rania dan Ishak Pasabuan yang menjadi korban saat meliput demo 24 September.
Ditangkap Gegara Narkoba, Fakta-Fakta Daffa Dangdut Academy, Teman Sengkatan Evi Masamba
Kurangi Sampah Plastik, Swift Club Indonesia Bakal Gelar Kegiatan Peduli Lingkungan
Kurangi Sampah Plastik, Swift Club Indonesia Bakal Gelar Kegiatan Peduli Lingkungan
Seperti diketahui, Darwin mengalami luka bocor bagian kepala kiri belakang, tangan lebam hingga mengalami sakit di sekujur badannya, akibat pukulan dan tendangan.
Korban Saiful, mengalami luka serius pada bagian pipi atas berdekatan dengan mata kirinya, diduga terkena pentungan oknum aparat keamanan tepat dibawah Flyover.
Sedangkan Ishak, mengalami pemukulan dan mendapat perlakuan kasar hingga dihalang-halangi saat mengambil gambar ketika meliput aksi demo tersebut. (*)
Langganan berita pilihan tribun-timur.com di WhatsApp
Klik > http://bit.ly/whatsapptribuntimur
Follow akun instagram Tribun Timur:
Tiga Jurnalis Korban Kekerasan Polisi Diperiksa di Polda Sulsel, Ini yang Mereka Jelaskan
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR -- Selama lima jam, ketiga jurnalis korban kekerasan polisi diperiksa tim Ditkrimum Polda Sulsel, Kamis (3/10/2019) petang.
Ketiga jurnalis korban tindak kekerasan polisi itu, mengikuti proses pemeriksaan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) penyidik.
Tiga jurnalis itu adalah, Muh Darwin Fathir, Muh Saiful Rania, berdama Isak Pasabuan.
Darwin di-BAP sebanyak 20 pertanyaan, dan Isak di-BAP sebanyak 17 pertanyaan. Sementara Saiful, di-BAP 19 pertanyaan.
Charlie Puth Launching Cheating On You, Ini Lirik dan Terjemahannya, Tentang Pria Diselingkuhi
Travis Scott Dikabarkan Putus dengan Kylie Jenner, Ternyata Begini Kejadiannya, dan Profilnya
Insurance Serahkan Dana Bantuan Kepada Ketua Yayasan Ustad Deka Kurniawan
Menurut tim advokasi hukum LBH Pers Makassar, Kadir Wokanubun, saat di-BAP ketiga korban menerangkan kronolisnya.
Tentang, kekerasan yang dialami mereka berupa pemukulan, didorong, ditendang. Dan juga, dihalang-halangi oknum polisi.
"Itu masih soal aksi tanggal 24 september lalu saat korban mengalami kejadian itu," ujar Kadir lewat rilis resmi LBH Pers, sore.
Dirincikan, Darwin mengalami kekerasan didua tempat berdekaran, di Rappokaling Motor dan ditengah Jl Urip Sumoharjo.
Akibatnya kata Kadir Wokanubun, Darwin mengalami luka robek di kepala, lebam di leher, serta lebam di jari dan tangan kanan.
Sementara, Saiful mengalami kekerasan di sekitaran Flyover, Jl Urip Sumoharjo atau dekat Pascasarjana UMI, Kota Makassar.
"Akibat kekerasan tersebut Ipul (saiful) mengalami luka robek di bawah mata dan dijahit sebanyak lima jahitan," jelas Kadir.
Sedangkan Isak, mengalami kekerasan di sekitar Showroom Hyundai, depan kantor DPRD Sulsel, di poros Jl Urip Sumoharjo.
Charlie Puth Launching Cheating On You, Ini Lirik dan Terjemahannya, Tentang Pria Diselingkuhi
Travis Scott Dikabarkan Putus dengan Kylie Jenner, Ternyata Begini Kejadiannya, dan Profilnya
Insurance Serahkan Dana Bantuan Kepada Ketua Yayasan Ustad Deka Kurniawan
Korban Isak ini kata Kadir, dia mengalami kekerasan berupa pemukulan oleh oknum kepolisiam pada bagian dada dan perut.
"Selain kekerasan yang dialami, ketiganya juga dihalang-halangi saat pengambilan foto dan video saat peliputan," ungkapnya.
"Kejadian ini saat mereka melakukan kerja kerja jurnalistik. Kejadian ini pun sudah termasuk pengeroyokan," tambah Kadir.
Kata Direktur LBH Pers Fajriani Langgeng, kasus ini selain tindak pidana. Masuk juga delik Pers soal menghalang-halangi kerja.
"Ya masuk juga dalam delik pers, karena ini menghalang-halangi kerja-kerja jurnalis. Itu juga kami soroti," tegas Fajriani. (*)
Laporan Wartawan Tribun Timur, Darul Amri Lobubun
Langganan berita pilihan tribun-timur.com di WhatsApp
Klik > http://bit.ly/whatsapptribuntimur
Follow akun instagram Tribun Timur:
Silakan Subscribe Youtube Tribun Timur: