Dari Sarawak ke Vietnam
Sebagai seorang tentara, lulus Akademi Militer Nasional (AMN) 1962, kehidupan Basrie penuh warna.
Obituari HZB Palaguna
Oleh M Dahlan Abubakar
Koordinator Penulis Roman Riografi H.Z B.Palaguna
Rabu (2/10/2019) bertepatan dengan hari ulang tanggal bulan dan tahun kelahiran yang tulen, saya capek sekali. Setelah menyelesaikan satu sesi perkuliahan di Kampus UMI, saya langsung ”menembak” bekas Pabrik Kertas Gowa (PKG) karena ada satu satu sesi mata kuliah umum (MKU) harus diselesaikan di lokasi yang kini tegak Fakultas Teknik Unhas itu.
Usai terbangun dari tidur karena mendengar gema pengajian di masjid setelah pulas yang terbilang puluhan menit, saya menengok pesan pada puluhan grup whatsapp (WA) yang ada.
“Innalillahi wainnailaihi rojiun telah berpulang rahmatullah Ayahanda kami tercinta alm Mayjen TNI (Purn) H Zainal Basri Palaguna hari ini Rabu 2 Oktober 2019 jam 16.15 wita. Insya Allah Rahimahullah husnul khotimah ...Mohon doa ta semua Aamiin YRA Rumah duka Jl.Hertasning Raya No 28,” pada salah grup WA tertulis.
Membaca WA ini, saya sontak terkenang kisah tahun 2002, ketika merajut kedekatan khusus dengan almarhum, saat suatu waktu, mencoba memberanikan diri mengajukan permohonan untuk menulis biografinya, setelah pada tahun 1997, saya bersama teman-teman menuntaskan biografi pendahulunya, Prof Dr A Amiruddin (alm).
Ketika mengajukan permohonan menulis biografinya ini, pria kelahiran Enrekang 9 Maret 1939 ini terdiam beberapa saat. Begitulah karakternya. Tidak banyak bicara, tampak tegas, sangat berwibawa, dan kadang sulit ditemukan terlihat tersenyum, meskipun dia termasuk memiliki kadar humor yang sangat dominan.
“Kalau lebih banyak mudaratnya, saya kira tidak perlu kehidupan saya dibukukan,” tiba-tiba terdengar kalimatnya ketika saya lobi untuk pertama kalinya di kantor gubernur.
Mendengar kalimat pertamanya terasa ada gurat perasaan sedikit pesimis di dalam diri saya. Namun perasaan saya kemudian seolah-olah membuncah kembali dan menyentuh optimisme yang luar biasa tatkala mendengar kalimat berikutnya dalam suatu pertemuan di Gubernuran.
“Saya mau jika faktanya dibuat sejujur-jujurnya tanpa mengaburkan secuil pun faktanya,”kata Basrie saat menerima tim lengkap penulisan bukunya yang terdiri atas saya, Asdar Muis RMS (alm), Haerul Akbar, H Agus Sumantri, dan H Jufri Rahman.
Mendengar kesediaannya itu, tim bertindak cepat. Tim pun dibagi. Saya dan Agus Sumantri berhari-hari menjelahi sungai dan hutan Sanga-Sanga sampai Balikpapan untuk memungut informasi dari nara sumber ketika Basrie bertugas dan berkenalan dengan pasangan hidupnya kemudian, Hj Normi Palaguna. Asdar usai menyusuri Palu, tempat tugasnya ketika menjabat Danrem Tadulako, terbang ke Sumatra menapaki jejak-jejaknya ketika bertugas di Jambi, Lubuk Linggau, dan Palembang. Haerul Akbar yang waktu itu lagi ngepos di Jakarta dari medianya, bergerak ke Bandung dan mencari informasi di ibu Jawa Barat itu. H.Jufri Rahman “menyikat habis” informasi yang tersedia di Sulawesi Selatan.
Sebagai seorang tentara, lulus Akademi Militer Nasional (AMN) 1962, kehidupan Basrie penuh warna. Dia menjadi tentara tiga tahun setelah tamat dihadapkan dengan saat-saat yang genting dengan terjadinya pemberontakan PKI di Jakarta 30 September 1965. Ketika peristiwa itu terjadi, dia sebenarnya sedang dalam perjalanan gerilya yang sangat mengerikan dan masuk hutan Kalimantan.
Tugas ini bertepatan dengan tugas Basrie sebagai Komandan Peleton Batalyon Infrantri 602 Kodam IX Mulawarman. Di saat inilah dia kerap disapa “Pak Lek,” yang maksudnya “Pak Let(nan)”. Dia memimpin 150 personel anggota ditugaskan ke perbatasan Kalimantan itu.
Tugas ini bertepatan dengan kelahiran anak pertamanya, Sisca Marabintang pada 15 Mei 1965.
Dari Kalimantan, Basrie ditugaskan menjadi anggota pasukan perdamaian di Vietnam selama 11 bulan. Ketika kami mewawancarai pengalamannya di Vietnam di Gubernuran ada hal yang lucu. Asdar Muis RMS yang bersemangat mendengar cerita Basrie tentang Vietnam hendak mengorek masalah “Vietnam Rose” yang terkenal itu. Asdar yang duduk di samping kanan, terpaksa saya injak kakinya agar tidak meneruskan pertanyaan itu. Asdar kemudian paham dan terdiam.