Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Mahasiswa Demo Tolak RKUHP dan RUU KPK, Menkumham: Kayak Dunia Mau Kiamat Aja Soal KUHP Ini

Mahasiswa Demo Tolak RKUHP dan RUU KPK, Menkumham Yasonna Laoly: Kayak Dunia Mau Kiamat Aja Soal KUHP Ini

Editor: Anita Kusuma Wardana
Kolase Tribun Timur
Mahasiswa Demo Tolak RKUHP dan RUU KPK, Menkumham: Kayak Dunia Mau Kiamat Aja Soal KUHP Ini 

Mahasiswa Demo Tolak RKUHP dan RUU KPK, Menkumham Yasonna Laoly: Kayak Dunia Mau Kiamat Aja Soal KUHP Ini

TRIBUN-TIMUR.COM-Presiden Republik Indonesia Joko Widodo belum juga muncul dan memberikan pernyataan terkait situasi nasional yang tengah memanas akibat demonstrasi mahasiswa menolak sejumlah kebijakan rancangan Undang-undang (RUU) beberapa hari terakhir.

Padahal, demonstrasi yang digelar di sejumlah daerah termasuk di Jakarta ini sempat berlangsung ricuh hingga menelan korban luka-luka.

Lalu mengapa, Presiden sebagai kepala negara tidak juga muncul dengan sikapnya?

Psikolog Politik Hamdi Muluk membaca hal ini sebagai strategi Jokowi yang lebih memilih untuk berhati-hati dalam menanggapi permasalahan yang sedang terjadi.

“Ya mungkin hati hati, ambil strategi cooling down dulu,” ujar Hamdi saat dihubungi Rabu (25/9/2019) siang.

Siapa Livia Ellen Demonstran di DPR yang Tolak Pengesahan RKUHP? Bukan Mahasiswi UI Sembarangan

Tuai Kecaman Publik hingga Mahasiswa Unjuk Rasa, Menkumham Yasonna Laoly Ogah Rombak RKUHP

Deretan Pasal Ngawur dalam RKUHP hingga Buat Mahasiswa di Sejumlah Daerah Geram dan Berunjuk Rasa

Sebaliknya, ia justru menilai mahasiswa tidak perlu memaksakan kehendaknya dengan terus menggelar aksi di jalanan, karena tuntutan mereka sudah dipenuhi.

“Kalau saya secara pribadi melihatnya buat apa ribut ribut di jalanan. Kan sudah dikabulin, tunda pengesahan RUU. Lebih baik dikaji secara kepala dingin, enggak usah maksa-maksain pendapat,” ujar dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia itu.

Menurutnya, terdapat cara yang lebih elegan bagi para mahasiswa untuk mengawal beragam kebijakan yang digodog dan dikeluarkan oleh Pemerintah, salah satunya dengan mengajukan Uji Materil di Mahkamah Konstitusi (MK).

“Kalau toh disahkan, masih ada uji materil (judicial review) di MK, itu lebih elegan menurut saya. Habis energi ribut ribut di jalanan, sementara China, Korea, dan negara maju lain udah mikirin teknologi, Kita masih ribut aja soal soal kecil,” kata salah satu anggota Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK ini.

Ia menyarankan permasalahan ini lebih baik diserahkan pada ahli hukum pidana, karena jika semua aspek masyarakat ingin turun dan meneriakkan aspirasinya di jalanan, maka hanya akan terjadi kerusuhan.

“Saya surprise lho lihat kelakuan kita ribut setengah mati kayak dunia mau kiamat aja soal KUHP ini, eh pas diajak diskusi belum baca detail,” sebutnya.

Sejumlah aksi mahasiswa menolak berbagai produk undang-undang dan revisi yang digodok dan disahkan oleh DPR dan Presiden meletup di banyak daerah.

Ribuan mahasiswa turun di sejumlah kota besar untuk menyuarakan kegelisahan masyarakat luas ini melalui aksi yang sebagian besar berujung ricuh dan bentrok dengan petugas pengamanan.

Aksi demontrasi mahasiswa Makassar menolak disahkannya RKUHP
Aksi demontrasi mahasiswa Makassar menolak disahkannya RKUHP (TRIBUN TIMUR/MUH ABDIWAN)

Menkumham Ajak Mahasiswa ke MK

Dikabarkan Presiden Joko Widodo tetap menolak mencabut Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi hasil revisi meskipun demo mahasiswa besar-besaran digelar di sejumlah daerah hingga menimbulkan korban luka-luka.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly memastikan, Presiden tetap tak akan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk mencabut UU KPK.

Presiden, kata Yasonna, meminta penolak UU KPK untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.

"Kan sudah saya bilang, sudah Presiden bilang, gunakan mekanisme konstitusional. Lewat MK dong. Masa kita main paksa-paksa, sudahlah," kata Yasonna di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (25/9/2019).

Yasonna menegaskan bahwa UU KPK baru disahkan oleh DPR dan pemerintah pada 17 September lalu. Oleh karena itu, tak ada kegentingan yang memaksa bagi Presiden untuk mencabut kembali UU yang dianggap banyak pihak dapat melemahkan KPK itu.

Ia menilai, demo mahasiswa yang berujung bentrokan dengan aparat di sejumlah daerah juga tidak cukup untuk menjadi alasan bagi Presiden mencabut UU KPK.

Aksi demontrasi mahasiswa Makassar menolak disahkannya RKUHP
Aksi demontrasi mahasiswa Makassar menolak disahkannya RKUHP (TRIBUN TIMUR/MUH ABDIWAN)

"Enggaklah. Bukan apa. Jangan dibiasakan. Irman Putra Sidin (pakar hukum) juga mengatakan janganlah membiasakan cara-cara begitu. Berarti dengan cara itu mendelegitimasi lembaga negara. Seolah-olah enggak percaya kepada MK," kata dia. 

"Itulah makanya dibuat MK. Bukan cara begitu (demo). Itu enggak eleganlah," katanya.

Hal serupa disampaikan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Ia juga meminta penolak revisi UU KPK untuk menempuh jalur ke Mahkamah Konstitusi.

"Kan ada mekanisme yang lain. Bisa di-judicial review bisa, jadi jangan beginilah. Dalam bernegara ini kan ada ruang negosiasi, baik itu negosiasi secara politik maupun negosiasi secara ketatanegaraan. Sudah diwadahi secara ketatanegaraan bagaimana proses politik sudah, semuanya tersedia," kata dia.

Demo yang dilakukan oleh aliansi mahasiswa dan masyarakat sipil di sejumlah daerah pada Senin (23/9/2019) dan Selasa (24/9/2019) kemarin berujung ricuh dengan aparat keamanan.

Catatan Kompas.com hingga Rabu (25/9/2019) dini hari, setidaknya 232 orang menjadi korban dari aksi demonstrasi yang berlangsung di sejumlah daerah, mulai dari Jakarta, Bandung, Sumatera Selatan, hingga Sulawesi Selatan.

Siapa Livia Ellen Demonstran di DPR yang Tolak Pengesahan RKUHP? Bukan Mahasiswi UI Sembarangan

Tuai Kecaman Publik hingga Mahasiswa Unjuk Rasa, Menkumham Yasonna Laoly Ogah Rombak RKUHP

Deretan Pasal Ngawur dalam RKUHP hingga Buat Mahasiswa di Sejumlah Daerah Geram dan Berunjuk Rasa

Berikut 7 tuntutan mahasiswa:

1. Tunda pembahasan ulang pasal-pasal bermasalah

Peserta aksi menaburkan bunga di atas replika pusara makam di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (17/9/2019).

Poin pertama, mendesak adanya penundaan untuk melakukan pembahasan ulang terhadap pasal-pasal yang bermasalah dalam RKUHP.

Pembahasan RKUHP menuai polemik lantaran beberapa pasalnya dianggap represif dan tidak pro dengan hak asasi manusia.

Sebagai contoh, ada pasal-pasal yang dianggap mengekang kebebasan berpendapat dan kebebasan pers.

Jika RUU KUHP disahkan, netizen dan wartawan yang dianggap beritanya menghina presiden atau pemerintah akan dipidana.

Contoh lain adalah Pasal 432 tentang penggelandangan.

Di aturan tersebut disebutkan bahwa setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I.

Pasal tersebut berpotensi menjadi pasal karet karena kategori penggelandang bisa dienterpretasikan luas.

Ketentuan lain yang diprotes adalah pasal zina.

Sebab, pasal ini dianggal terlalu mengatur warga negara hingga ke ranah privasi.

Namun, Presiden Joko Widodo atau Jokowi memutuskan untuk menunda pengesahan RUU KUHP.

2. Tolak upaya pelemahan pemberantasan korupsi

Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK.

Poin kedua, mendesak pemerintah dan DPR untuk merivisi UU KPK yang baru saja disahkan dan menolak segala bentuk pelemahan terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Ada 7 poin yang menjadi catatan dalam RUU KPK yang sudah diketok palu oleh anggota DPR.

Pertama, soal status kedudukan kelembagaan KPK yang akan berubah menjadi lembaga penegak hukum yang berada di rumpun eksekutif, tetapi tetap melaksanakan tugas dan kewenangan secara independen.

Kedua, soal keberadaan Dewan Pengawas KPK yang punya kewenangan melaksanakan tugas dan wewenang KPK, memberi/tidak memberi izin penyadapan, penggeledahan dan penyitaan, menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan dan pegawai, memeriksa dugaan pelanggaran kode etik, mengevaluasi kinerja pimpinan dan pegawai KPK setahun sekali.

Keberadaan dewan pengawas ini dinilai berpotensi mengganggu penanganan perkara karena dugaan konflik kepentingan.

Ketiga, pembatasan fungsi penyadapan karena KPK wajib meminta izin tertulis dari dewan pengawas sebelum menyadap.

Dalam aturan sebelumnya KPK berwenang sendiri melakukan penyadapan tanpa perlu meminta izin.

Keempat, KPK berwenang menerbitkan SP3 untuk perkara korupsi yang tidak selesai dalam jangka waktu maksimal 2 tahun.

Kemudian, KPK juga wajib berkoordinasi dengan penegak hukum lain dalam hal pelaksanaan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

Pasal kontroversi lain ialah mengatur soal mekanisme penyitaan dan penggeledahan serta status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara.

Namun, Jokowi memastikan tak akan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk mencabut UU KPK.

3. Usut dan adili elite yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan

Spanduk dari aktivis lingkungan yang meminta Jokowi memadamkan kebakaran hutan.

Poin ketiga, menuntut negara untuk mengusut dan mengadili elite-elite yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan di beberapa wilayah di Indonesia.

Masalah kebakaran hutan belakangan disorot karena area titik apinya terus meluas.

Kebakaran tersebar di sebagian Sumatera dan kalimantan. Kepolisian telah menetapkan puluhan tersangka pembakaran hutan dan sembilan korporasi yang bertanggung jawab.

Masyarakat menuntut para pelaku diadili hingga menyasar ke aktor intelektual.

Proses hukum juga harus dilakukan secara terbuka.

4. Tolak pasal-pasal bermasalah dalam RUU Ketenagakerjaan

Menteri Ketenagakerjaan, Hanif Dhakiri

Keempat, menolak pasal-pasal bermasalah dalam RUU Ketenagakerjaan yang tidak berpihak kepada pekerja.

RUU Ketenagakerjaan juga menjadi sorotan lantaran beredar luas draf revisi UU tersebut.

Dari draf yang beredar, ada 14 pasal revisi yang ditolak oleh para asosiasi buruh.

Dalam naskah yang beredar tersebut, beberapa revisi yang bakal dilakukan meliputi pasal 81 mengenai cuti haid yang bakal dihapus lantaran dengan alasan nyeri haid dapat diatasi dengan obat antinyeri.

Kemudian, Pasal 100 mengenai fasilitas kesehatan yang bakal dihapuskan, juga pasal 151-155 mengenai penetapan PHK. 

Dalam draf tersebut, UU Ketenagakerjaan versi revisi bakal menetapkan keputusan PHK hanya melaui buruh dan pengusaha tanpa melalui persidangan.

Selain itu, ada pula revisi yang bakal menghapus pasal mengenai uang penghargaan masa kerja, juga ada penambahan waktu kerja bagi para buruh atau tenaga kerja.

Namun, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri membantah draf tersebut bersumber dari pemerintah.

Ia mengatakan, draf yang berisi revisi UU Ketenagakerjaan tersebut hoaks dan tidak jelas sumbernya.

5. Tolak pasal-pasal problematis dalam RUU Pertanahan

Sejumlah pendemo melakukan aksi penolakan RUU KUHP di sekitar Jalan Andi Pangerang Petta Rani, Makassar, Sulsel, Selasa (24/9/2019).

Kelima, menolak pasal-pasal problematis dalam RUU Pertanahan yang merupakan bentuk pengkhianatan terhadap semangat reforma agraria.

Poin-poin dalam RUU Pertanahan dianggap merugikan masyarakat.

Pembahasannya pun molor di DPR karena masih ada pro-kontra di internal.

Fraksi PKS menganggap draf tersebut lebih menitikberatkan pada upaya peningkatan iklim investasi dibandingkan pada aspek pemerataan ekonomi dan keadilan agraria.

Dalam poin-poin tersebut tidak ada upaya konkret untuk mengatasi ketimpangan penguasaan tanah.

Kemudian ada kecenderungan memberikan banyak kemudahan investasi bagi pemegang HGU, HGB, dan hak pakai berjangka waktu.

Selanjutnya, tidak ada upaya untuk memprioritaskan pemberian hak pakai kepada koperasi buruh tani, nelayan, UMKM, dan masyarakat kecil lain.

Dalam draf tersebut juga tidak terdapat upaya konkret untuk meningkatkan nilai ekonomi lahan warga yang telah disertifikasi melalui program pemerintah.

Keenam, tidak ada upaya konkret untuk mempercepat pengakuan tanah hukum ada yang menjadi amanat Putusan MK Nomor 35/2012.

Selanjutnya, terhapusnya status tanah hak bekas swapraja, yang ke depan akan kembali menjadi tanah negara.

Terakhir, tidak ada kebijakan untuk memberantas mafia tanah dan mengendalikan nilai tanah.

Dalam konferensi pers, Jokowi menyatakan bahwa RUU ini ditunda.

6. Desak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Demonstrasi di depan gedung DPR RI menuntut anggota DPR RI mengesahkan RUU PKS, Selasa (17/9/2019).

Keenam, mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

DPR diminta segera memberi kepastian kapan RUU PKS disahkan.

Pasalnya, RUU ini sudah dibahas cukup lama, terhitung sejak 2017.

Desakan muncul dari berbagai kalangan, mulai dari akademisi, aktivis perempuan, Komnas Perempuan, hingga Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPPA) Yohana Yambise.

RUU PKS dianggap krusial karena perlu ada payung hukum yang kuat untuk melindungi korban kekerasan seksual. RUU ini akan memperkuat regulasi soal kekerasan seksual yang diatur dalam KUHP secara umum. 

RUU PKS menjadi darurat bukan karena sekadar angka kasus yang tercatat, melainkan karena layanan terhadap korban kekerasan seksual tidak memadai.

Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Andi Komara menyebutkan, RUU PKS mengatur jenis kekerasan seksual, seperti perbudakan seksual, eksploitasi seksual, dan pemaksaan perkawinan.

Tak hanya mengatur hukuman bagi pelaku kekerasan seksual, RUU PKS juga mengatur pencegahaan kekerasan seksual.

RUU yang mengacu pada pengalaman para korban kekerasan seksual tersebut juga mengutamakan hak-hak terhadap korban yang selama ini kerap diabaikan.

7. Dorong demokratisasi di Indonesia dan hentikan penangkapan aktivis

Dua tersangka terkait isu Papua, Veronica Koman dan Surya Anta Ginting, foto bareng di Bukit Jokowi di Jayapura, Papua (kiri) dan Veronica Koman (kanan).

Ketujuh, mendorong demokratisasi di Indonesia dan menghentikan penangkapan aktivis di berbagai sektor.

Penangkapan aktivis juga menjadi perhatian selanjutnya oleh mahasiswa.

Mereka tak ingin aktivis yang mewakili masyarakat ditangkap karena menyuarakan protes hanya karena tak sesuai dengan kebijakan pemerintah.

Contoh terbaru ialah penangkapan aktivis Veronica Koman yang menjadi buronan polisi setelah ditetapkan tersangka.

Veronica Koman dianggap memprovokasi aksi demo di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya.

Pengacara mahasiswa Papua itu disebut sangat aktif melakukan provokasi di media sosial tentang isu-isu Papua, padahal ia sendiri tidak ada di lokasi saat aksi berlangsung.(*)

(Kompas.com)

Siapa Livia Ellen Demonstran di DPR yang Tolak Pengesahan RKUHP? Bukan Mahasiswi UI Sembarangan

Tuai Kecaman Publik hingga Mahasiswa Unjuk Rasa, Menkumham Yasonna Laoly Ogah Rombak RKUHP

Deretan Pasal Ngawur dalam RKUHP hingga Buat Mahasiswa di Sejumlah Daerah Geram dan Berunjuk Rasa

Follow akun instagram Tribun Timur:

Silakan Subscribe Youtube Tribun Timur:

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved