Dosen Teknik Lingkungan Unhas Sebut Sistem Persampahan Makassar Bermasalah, Ini Solusinya
Sampah-sampah rumah tangga dari bahan makanan ini kemudian menghasilkan gas metana yang tertumpuk.
Penulis: Alfian | Editor: Syamsul Bahri
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR- Kebakaran sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Antang disinyalir disebabkan oleh menumpuknya produksi sampah organik.
Sampah-sampah rumah tangga dari bahan makanan ini kemudian menghasilkan gas metana yang tertumpuk.
2 Hal Ini Bikin Ustadz Abdul Somad Kritis Pedas Film The Santri Diperankan Wirda Mansur, Cek Video
PSM VS PS Tira Petang Nanti, Owner Ballak Kopi Turatea Prediksi PSM Makassar Unggul 2-0
Ganasnya China Open 2019, 8 Pemain Unggulan Keok di Babak Pertama, Ada Jojo dan 2 Mantan Juara Dunia
VIDEO: Siapa Pengganti Beny Wahyudi di Posisi Bek Kiri ?
VIRAL Tak Ada Masker, Pria Ini Gunakan Bra sebagai Pelindung dari Kabut Asap, Masker Apa yang Tepat?
KM Banawa Nusantara Diresmikan Bupati Pinrang di Dermaga Ujung Lero
Sementara gas yang seharusnya tersalurkan keluar dari tumpukan sampah terkendala akibat minimnya pipa penghawaan.
Sehingga dengan hanya kondisi hadirnya percikan api ditambah dengan cuaca terik mengakibatkan hadirnya potensi kebakaran yang hampir setiap tahun terjadi.
"Gas di TPA itu wajar terbentuk dari penguraian sampah organik, pada saat ditimbun ada proses yang terjadi menghasilkan gas metana dan tersimpan di tumpukan dan jumlahnya banyak. Jadi agak sulit kita bilang kalau tidak ada potensi kebakaran lagi," ucap Dosen Teknik Lingkungan Unhas, Dr Eng Irwan Ridwan Rahim, Kamis (19/9/2019).
Meskipun api dipermukaan sudah bisa dipadamkan namun asap hasil pembakaran masih terus hadir dan menyelimuti kota Makassar.
Ini dikarenakan proses pembakaran masih terjadi di bawah tumpukan akibat masih tersimpannya banyak gas metana.
Irwan mengatakan bahwa hal ini menjadi problem yang cukup pelik. Pertama jumlah sampah organik mencapai porsi 70 hingga 80 persen di TPA Antang, sisanya adalah sampah non organik.
Sampah organik ini memiliki kelembapan air yang cukup tinggi. Ditambah kondisi kota Makassar atau Indonesia pada umumnya memiliki wilayah dengan kelembapan udara yang tinggi pula sehingga mempercepat proses terciptanya gas metana.
"Dengan produksi gas metana yang terus membesar dan tersimpan ini hanya membutuhkan pemicu untuk bisa terbakar, pemicunya semisal dari keteledoran para pencari sampah atau pemulung semisal yang membuang puntung rokok dan sebagainya," terangnya.

Beda Kebakaran Gambut
Dr Irwan juga menyebut bahwa terjadi kekeliruan jika menyebut kebakaran sampah sama dengan kebakaran gambut.
Menurutnya kedua hal ini sangat berbeda sehingga butuh penanganan berbeda.
Ia pun meminta petugas pemadam dan pihak terkait dalam hal ini mengupayakan pemadaman agar lebih berhati-hati.
Sebab bukan tidak mungkin bisa terjadi ledakan.
"Potensinya ada, jadi harus memang dibedakan dan dilakukan penanganan secara berbeda pula," terangnya.
Sistem Persampahan
Lebih lanjut peristiwa kebakaran ini menjadi salah satu penanda kegagalan Pemerintah menghadirkan sistem persampahan yang baik di kota Makassar.
Alhasil atas kejadian ini pun memiliki dampak luas terutama bagi kesehatan warga sekitar yang menghirup udara yang telah tercemari asap hasil pembakaran.
Dr Irwan lebih lanjut menjelaskan disamping TPA Antang yang sudah melebihi kapasitas, upaya pencegahan dengan pengurangan jumlah sampah yang dicanangkan Pemerintah lewat bank sampah dianggap kurang tepat.
Menurutnya sejauh ini Pemerintah hanya mengkampanyekan pengurangan atau daur ulang sampah non organik (plastik, kertas, besi) melalui program bank sampah.
"Padahal kan sampah non organik ini jumlahnya hanya sekitar 10-20 persen, yang paling banyak itu sampah organik," ungkapnya.
Sehingga ia berharap program Bank Sampah saat ini juga memfokuskan pada pengelolaan sampah organik.
Misalnya pemerintah menghadirkan salah satu program pengelolaan sampah organik dimulai dari rumah tangga.
"Konsepsi kita memang harus diubah, harusnya yang banyak-banyak ini dulu yang diatasi yaitu sampah organik. Untuk program Bank Sampah mungkin bisa sedikit dipaksa untuk bisa mengelola sampah organik bukan hanya non organik," terangnya.
"Selain itu di Makassar bisa mengambil contoh program pengurangan sampah organik di Surabaya dengan menghadirkan keranjang Takakura misalnya, keranjang ini sebagai komposter yang dibagikan ke warga. Kalau perlu Pemerintah subsidi kesitu, bayangkan kalau sampah organik dijadikan kompos berapa banyak jumlah sampah yang bisa terhindar dibuang di TPA," paparnya.
Terakhir ia menyebut sistem pengelolaan TPA juga harusnya memperketat standar operasional.
Semisal dengan membatasi jumlah aktifitas manusia (pemulung) maupun ternak di lokasi TPA.
"Bisa mungkin dikurangi waktunya semisal ada jam-jam tertentu senab selama inikan tidak terkontrol, ternak masuk bisa semisal menginjak pipa penghawaan begitupun aktivitas manusia yang merokok dan membakar sembarangan jadi masalah juga," tutupnya. (tribun-timur.com)
Laporan Wartawan Tribun-Timur.com, @piyann__
Langganan berita pilihan tribun-timur.com di WhatsApp
Klik > http://bit.ly/whatsapptribuntimur
Follow akun instagram Tribun Timur:
2 Hal Ini Bikin Ustadz Abdul Somad Kritis Pedas Film The Santri Diperankan Wirda Mansur, Cek Video
PSM VS PS Tira Petang Nanti, Owner Ballak Kopi Turatea Prediksi PSM Makassar Unggul 2-0
Ganasnya China Open 2019, 8 Pemain Unggulan Keok di Babak Pertama, Ada Jojo dan 2 Mantan Juara Dunia
VIDEO: Siapa Pengganti Beny Wahyudi di Posisi Bek Kiri ?
VIRAL Tak Ada Masker, Pria Ini Gunakan Bra sebagai Pelindung dari Kabut Asap, Masker Apa yang Tepat?
KM Banawa Nusantara Diresmikan Bupati Pinrang di Dermaga Ujung Lero