OPINI
OPINI - Pak Amir Disiplin dan Tegas, Tapi Humanis
Cerita tegas dan kerasnya prinsip Pak Amir sudah jadi buah bibir hingga kini. Tetapi, beliau adalah seorang yang sangat humanis.
Oleh:
M Dahlan Abubakar
Penulis Buku A Amiruddin Nakhoda dari Timur
Sudah masing-masing dua kali – kalau tidak salah – Kak AM Sallatu dan Adinda Hasrullah saling memberi pandangan mengenai seorang Ahmad Amiruddin yang akrab disapa Pak Amir.
Saya sebenarnya sudah tak bernafsu menulis, setelah membaca keduanya saling mengungkapkan goresan pikiran perihal Pak Amir.
Namun begitu membaca tulisan Yarifai Mappeaty (Tribun Timur 28/8/2019), ternyata saling menyampaikan catatan tentang Pak Amir berlanjut.
Sebenarnya, ketertarikan saya ikut urun pendapat ini, lebih dari hanya ingin meluruskan sebuah nama di dalam tulisan Yarifai Mappeaty yang menyebut Moch Hasmy Ibrahim seorang pegiat jurnalis era 1980-an yang tekun mengikuti perjalanan Prof Amir.
Mungkin yang dimaksud itu adalah Farid Ma’ruf Ibrahim, adik Moch Hasmy Ibrahim, junior saya di Penerbitan Kampus “Identitas” yang kemudian menjadi wartawan salah satu harian yang baru terbit di Makassar waktu itu.
Baca: Sutami Suparmin, Perwakilan Sulsel dalam Workshop Perangi Sampah Laut 2019
Dimarahi
Saya termasuk salah seorang yang pernah didamprat Pak Amir pada tahun 1981, menjelang Presiden Soeharto kedua kalinya berkunjung ke Sulawesi Selatan dalam sebulan.
Ini tak lazim Pak Harto memutuskan dua kali sebulan ke satu provinsi. Sebelumnya, beliau mengunjungi Kabupaten Bone untuk meresmikan Lappo Ase di sana, ketika Andi Oddang menjabat Gubernur Sulsel.
Mendengar Pak Harto akan ke Unhas, naluri wartawan saya menangkap informasi ini sebagai berita besar menggeliat. Saya yakin berita itu benar.
Pasalnya, selaku staf Humas Unhas yang juga wartawan, saya mudah nguping di mana-mana, hingga memasuki rapat-rapat.
Lantaran tidak ada pesan “dilarang diberitakan”, keesokan harinya, informasi kedatangan Pak Harto itu saya munculkan di halaman pertama Harian Pedoman Rakyat.
Lantaran di Jl Kartini, PR tiba lebih pagi, jelas itu menjadi santapan pertama Pak Amir setelah jalan-jalan pagi mengelilingi Lapangan Karebosi.
Tidak pelak, begitu tiba di Kampus Baraya, beliau memanggil Pak Anwar Arifin (kini Prof Dr, Kepala Humas Unhas waktu itu) ke ruang kerjanya.
“Mana Dahlan? Kenapa dia beritakan kedatangan Pak Harto itu !!!” kata Pak Amir dengan suara yang keras, seperti dikisahkan Pak Anwar Arifin kepada saya kemudian.
“Tidak boleh diberitakan, nanti akan merepot kita dan aparat keamanan,” sambung beliau lagi yang ditanggapi diam oleh Pak Anwar Arifin.