OPINI
OPINI - Buku, Baitul Hikmah dan Kota Dunia
Penulis adalah Anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) - Pengajar/peneliti di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
Oleh:
Sudirman Nasir
Anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) - Pengajar/peneliti di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin.
Razia buku yang dilakukan sekelompok orang di salah satu toko buku di Kota Makassar baru-baru ini sungguh menyedihkan dan harus dilawan.
Tindakan ini menghambat upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, mendorong Makassar menjadi kota dunia dan sekaligus bertentangan dengan prinsip dasar Islam yang mencintai ilmu pengetahuan.
Alasan yang dikemukakan para anggota kelompok tersebut bahwa razia mereka tujukan pada buku "berpaham komunis dan kiri" secara hukum, ilmiah maupun sosial tak bisa dibenarkan.
Ada banyak ajaran Islam yang menekankan kecintaan pada buku dan ilmu pengetahuan.
Ayat pertama jelas menyatakan ‘Iqra’, seruan untuk membaca dan lebih dalam lagi berpikir kritis.
Belum lagi begitu banyaknya ayat yang menyatakan "tidakkah kamu berpikir?" Pernyataan retoris mengenai pentingnya menggunakan akal yang jernih yang terutama diperoleh lewat proses membaca.
Sejarah peradaban Islam sendiri amat banyak ditandai oleh kecintaan pada buku dan ilmu pengetahuan yang pernah membuat masyarakat Islam beberapa abad lalu mencapai masa keemasan (Islamic golden age).
Baca: Politani Pangkep Bina 2 UKM, Budidaya Karang Hias Lestari di Pulau Barrang Lompo, Begini Caranya?
Baitul Hikmah
Salah satu puncak peradaban Islam pernah mewujud di Baghdad pada masa Abbasiyah di akhir abad kedelapan.
Masa ini ditandai oleh keberadaan sebuah lembaga bernama Baitul Hikmah (House of Wisdom atau Rumah Kebijakan).
Lembaga ini awalnya berupa perpustakaan yang mewadahi koleksi buku khalifah Harun al Rasyid yang kemudian berkembang lebih pesat menjadi akademi ilmu pengetahuan di masa khalifah selanjutnya yaitu Al Ma'mun dan Al Mansur (754-775), para pemimpin berpikiran maju.
Pada masa keemasan ini, para pemimpin di atas memberi dukungan politik dan keuangan yang memungkinkan buku-buku secara sistematis dikumpulkan dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab (Translation Movement).
Buku-buku dengan aneka topik didatangkan ke Baghdad dari tempat-tempat jauh seperti Yunani, Roma, Konstantinopel, Persia, India hingga China.
Baitul Hikmah berkembang menjadi sebuah akademi ilmu pengetahuan kebanggaan Baghdad. Bagdad saat itu adalah kota dunia dan kota paling maju di jagad raya.
Sayang sekali masa keemasan dan puncak peradaban ini menurunkan ketika hancur ketika Al Mutawakkil yang berpandangan sempit berkuasa dan lalu pasukan Mongol di bawah Hulagu Khan menghancurkan Baghdad termasuk Baitul Hikmah. Sejak itu Baghdad meredup.
Al Mutawakkil maupun Hulagu tidak menyadari pentingnya buku dan ilmu pengetahuan dan hal itu pula yang membuat imperium Mongol tak bertahan lama.
Baca: Polres Luwu Utara Sembelih 16 Sapi dan 3 Kambing
Perangai Ilmiah
Peradaban manusia modern bercirikan peradaban yang dibangun dengan dasar ilmu pengetahuan di mana peran buku (cetak maupun digital) sangat penting.
Ilmu pengetahuan merupakan hasil sinergi antara salah satu sifat dasar manusia yaitu rasa ingin tahu (spirit of inquiry), yang dipicu dan disalurkan melalui observasi empiris, dengan kemampuan unik manusia, yakni rasionalitas. Hasilnya adalah sebuah revolusi intelektual.
Di Eropa, revolusi tersebut dikenal sebagai Masa Pencerahan, yang dimulai sekitar 3 abad lalu.
Di Indonesia, cahaya pencerahan mulai terlihat kurang lebih 100 tahun lalu ketika sejumlah tokoh mulai berhasrat untuk maju dan menuliskan pergulatannya tentang ide-ide pencerahan, yakni rasionalitas, intelektualitas, dan kebebasan.
Sosok seperti Kartini di Jawa maupun Colliq Pujie di Sulawesi, Sosrokartono (kakak Kartini), Raden Saleh dan tokoh-tokoh pergerakan nasional lainnya seperti Tirto Adisoeryo, Mas Marko, Cokroaminoto, Cipto Mangunkusomo, Soetomo, Semaoun, Soekarno, Hatta, Syahrir dan sebagainya menanam benih-benih kecintaan pada buku dan ilmu pengetahuan sebagai bagian dari upaya pembebasan.
Keberadaan Indonesia memang dimulai sebagai sebuah proyek intelektual.
Berbagai organisasi seperti Budi Utomo, Syarekat Islam, Muhammadiyah maupun Nahdhatul Ulama semula didirikan untuk memajukan pengajaran dan kebudayaan.
Baca: Warga Dusun Pangaleroang Majene Kurban 1 Ekor Sapi dan 4 Ekor Kambing
Organisasi-organisasi ini membuka jalan dan memelopori gerakan kebangsaan Indonesia melalui gerakan-gerakan pencerahan dan penyebaran ilmu pengetahuan.
Organisasi-organisasi tersebut selalu mengutamakan buku dan perputakaan.
Tokoh-tokoh dan organisasi-organisasi tersebut sebenarnya telah berusaha menyemai budaya ilmiah (scientific culture) atau perangai ilmiah (scientific temper).
Kini, lebih dari setengah abad kemerdekaan Indonesia, telah banyak yang kita lalui, tapi tak sedikit pula tujuan ideal pendirian bangsa ini yang belum tercapai.
Tujuan-tujuan ideal itu sebenarnya termaktub dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang secara filosofis merupakan pedoman berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
Masalahnya, kita menghadapi banyak hambatan dalam mewujudkan tujuan-tujuan ideal itu.
Selain aspek-aspek lain seperti perlunya pemerintahan yang bersih dan efektif, sumbangan ilmu pengetahuan (sains dan teknologi) melalui buku/tulisan juga sangat diperlukan.
Perangai ilmiah adalah konsep yang dipopulerkan oleh Jawaharlal Nehru yang merujuk pada kebiasaan ataupun budaya membaca dan berpikir kritis.
Tidak menerima mentah-mentah informasi maupun praktik-praktik lama, namun mengujinya lewat penelitian-penelitian, kemauan untuk mencari bukti-bukti baru (evidence) lewat penalaran atau metode ilmiah.
Baca: Sambut HUT ke 74 RI, Pemuda Tamalate Makassar Sulap Gerobak Baksonya
Perangai seperti ini hanya bisa muncul dan menguat apabila kita menghargai buku dan ilmu pengetahuan.
Mencerdaskan kehidupan bangsa seperti termaktub dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar kita maupun memajukan Indonesia dan Kota Makassar menjadi kota dunia tidak bisa dicapai apabila razia buku tidak dihentikan. (*)
Catatan: tulisan ini telah terbit di Tribun Timur edisi cetak, Senin (12/08/2019)