OPINI
OPINI - PSM vs Persija
Penulis adalah Staf Pengajar di Indonesia Community Center (ICC) Johor Bahru, Malaysia
Oleh karena itu, perseteruan antarklub seakan memiliki legitimasi. Di Inggris, MU dan Liverpool adalah seteru seru, fundamen pertentangan keduanya adalah faktor gengsi perekonomian kota.
Di Italia, rivalitas panas antara dua tim ibukota Italia, AS Roma dengan Lazio, distimulasi oleh kesenjangan kelas sosial dan perbedaan afiliasi politik.
Di Skotlandia, perseteruan Old Firm antara Rangers dan Celtic dibumbui aroma lanjutan Reformasi Protestan yang seakan belum bersua kata ‘tuntas’.
Sementara di Spanyol, sudah menjadi rahasia umum bahwa rivalitas panas antara Barcelona dan Real Madrid, selain karena berpacu dalam torehan prestasi, juga disebabkan oleh pro-kontra nasionalisme Catalan terhadap Spanyol.
Baca: Desa Lagading Sidrap Dapat Tambahan 50 KK Transmigrasi
Optik Historis
Jika sudi menelisik dari optik historis, dibanding dengan muatan konflik, sepak bola Indonesia justru lebih banyak membawa muatan patriotik.
Sepak bola hadir membawa gelora persatuan dan perjuangan melawan congkak-culas penjajahan.
Antarklub perserikatan bersinergi, dengan spirit anti-kolonialisme, berjuang segendang-sepenarian untuk mendigdayakan sepakbola nasional (Zen, 2016).
Oleh karena itu, sejatinya tidak ada pembenaran sejarah bagi setiap kebebalan yang bermuara pada perpecahan.
Ada satu fakta unik yang dapat dijadikan preseden mulia dalam menikmati sepak bola.
Ketika sepak bola dimaknai sebagai tontonan yang menghibur sekaligus membawa tuntunan luhur; sewaktu sepak bola dijadikan alat penenun persatuan bangsa; dan kala sepak bola menjadi ajang perekat segala kalangan.
Adalah Final Kompetisi Perserikatan tahun 1942 yang menyajikan pertandingan antara Persebaya
Surabaya kontra Persis Solo.
Laga yang digelar di Stadion Tambaksari, Surabaya, ini begitu menyedot animo arek-arek Suroboyo. Seluruh tiket pertandingan ludes tak bersisa.
Seluruh elemen masyarakat, baik tua maupun muda, laki-laki maupun perempuan, tumpah ruah di stadion untuk menyaksikan laga final bergengsi ini.
Baca: Pemkab Kompak dengan Polres Usulkan Pagelaran Accera Kalompoang di Gowa
Para pembesar Dai Nippon yang empat bulan sebelumnya berhasil menghempas kolonial Belanda juga turut menyaksikan laga final sepak bola bumiputra.
Surat Kabar Soeara Asia edisi 7 Juli 2602 (tahun 2602 adalah tahun jepang, jika dikonversi ke almanak masehi menjadi tahun 1942) menuliskan, “Perhatian penonton boekan main hebatnja sehingga persediaan kartjis habis. Beberapa pembesar Dai Nippon djoega ada melihatnja. Nampak djoega beberapa penonton poetri sehingga pemandangan waktoe itoe sangat segar.”