Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

In Memoriam IYL

Bungkusan Sisa Makanan dan Traktir Pengunjung

Sekira Pukul 08.00 Wita, saya tiba di kediamannya yang sangat sederhana. Pintu pagar terbuka, dan mesin kendaraan pribadinya menyala.

Editor: Sudirman
zoom-inlihat foto Bungkusan Sisa Makanan dan Traktir Pengunjung
arif saleh
Ichsan Yasin Limpo bersama Arif Saleh

Sehari pasca pencoblosan Pilgug Sulsel 2018, saya meniatkan menemui Dr Ichsan Yasin Limpo di rumahnya di Hertasning, Makassar. Maksud utama saya, tentu ingin menyemangati atas hasil pemilihan yang belum menakdirkannya menjadi gubernur.

Sekira Pukul 08.00 Wita, saya tiba di kediamannya yang sangat sederhana. Pintu pagar terbuka, dan mesin kendaraan pribadinya menyala. Dari mulut ajudan pribadinya yang berdiri di dekat mobil, ia mengabarkan jika pelopor perda pendidikan gratis di Indonesia itu akan keluar rumah.

Saya pun bergegas masuk ke teras rumahnya. Tempat yang saya pilih untuk menunggu sembari duduk tepat di kursi

“langganannya” untuk merokok dan membaca koran saat terbangun. Pagi itu, belum ada tim dan tamu lainnya datang.

Tak sampai 30 menit saya duduk dan berselancar di dunia maya melalui smartphone, suara pintu terdengar terbuka. Dibaliknya, berdiri orang yang sudah saya anggap sebagai orang tua.

Pakaiannya sudah rapi. Celana jeans dipadukan baju kaos berkera, lengkap ikat pinggang Hermes yang memang sangat disukai.

Saya bergegas berdiri, lalu ia menyapa saya sedikit kaget. Mungkin heran, karena ia tahu kebiasaan saya di pagi hari kadang masih terlelap di tempat tidur. “Adako padeng di luar, Rif?,” sapanya dari pintu.

Kurang lebih satu menit, ia berdiri sejenak. Menundukkan kepala, seperti kebiasaannya setiap ingin keluar rumah. Ia sepertinya berdoa untuk keselamatannya di perjalanan. Menenangkan perasaan terlebih dahulu.

Setelah melihat ekspresinya selesai berdoa, saya langsung menghampiri untuk menyalami dan memeluknya. Ia membalas pelukan saya. Dan itu sangat terasa. Dipelukannya, saya menangis, sekaligus meminta maaf jika secara pribadi saya mungkin banyak kekurangan selama ikut menjadi “pagenne-genne” di barisan pemenangannya.

Ia kemudian memegang dua pundak saya, lalu mengingatkan agar saya tidak menangis. “Jangan menangis, Rif,” katanya memenangkan, seperti yang disampaikan juga ke tim dan relawan sehari sebelumnya sesaat setelah hasil hitung cepat dirilis sejumlah lembaga survei.

Ia mempersilakan saya duduk, sambil kami berbincang. Kurang dari satu jam, saya kebanyakan menunduk. Air mata saya masih berkaca-kaca, dan belum sepenuhnya bisa menerima hasil pilgub yang tidak sesuai dengan harapan.

Diperbincangan singkat itulah, saya merasakan ketegarannya. Ia menerima secara ikhlas hasil Pilgub, dan tak punya niat ingin menggugat penyelenggara ke Mahkamah Konstitusi (MK).

“Ini jalan terbaik yang ditunjukkan Tuhan, Rif. Allah pasti punya rencana lain,” ucapnya dengan suara sangat datar.

Di samping tempat duduk saya, ia juga menyampaikan jika pasca-penghitungan, tidak punya keinginan lagi menjadi gubernur. Dan itu saya tangkap, ia tak ingin maju lagi di Pilgub Sulsel lima tahun kedepan. Saya sedikit tahu, kalau jika kata keluar dari mulutnya, maka pantang untuk ditarik kembali.

Lalu, ia juga meminta saran saya mengenai beberapa tokoh partai politik di pusat yang menawarinya maju menjadi caleg DPR RI. Termasuk caleg DPRD Provinsi, agar ia bisa ditempatkan sebagai ketua DPRD jika partai tersebut menjadi pemenang Pileg di Sulsel.

Meski saya tergolong baru mengenalnya lebih dekat, tapi saya sedikit bisa memahami keinginannya. Saya pun menyampaikan saran, jika jalan terbaik untuknya tidak maju menjadi caleg, dan fokus mengurus kemanusiaan.

Dan benar, ia memang tidak sreg dengan tawaran maju menjadi caleg. “Betul itu Dik. Mending saya fokus membantu orang-orang yang selama ini berjuang untuk saya, sekaligus mengurus masalah kemanusiaan,” urainya.

Di tempat itu pula, saya melihatnya berusaha menahan tangis. Matanya berkaca-kaca, dan suaranya tersendat. Ia mengingat ketulusan sebagian tim dan relawan, serta masyarakat yang menginginkannya menjadi gubernur.

“Inilah saatnya saya membalas mereka. Nanti selesai tahapan pilgub, kita buatkan perencanaan,” katanya yang membuat air mata saya menetes, sekalipun saya sudah berusaha untuk memendamnya.

Hitungan menit setelah itu, ia langsung pamit untuk keluar. Kami pun berpelukan, sambil tangannya menampuk pundak saya menyampaikan terima kasih. “Terima kasih atas bantuannya selama ini yah Dik,” ujarnya sebelum naik ke mobil pribadinya.

Kisah saya di atas, hanya bagian kecil tentang pengalaman dan kehangatan yang saya rasakan selama ikut menemaninya kurang lebih setahun di Pilgub Sulsel. Kendati, saya baru berinteraksi langsung dengannya setelah ditempatkan oleh kantor saya, Jaringan Suara Indonesia (JSI) di tahapan pilgub. Tapi saya sepertinya sudah dekat puluhan tahun.

Benar bahwa Ichsan Yasin Limpo adalah manusia biasa. Punya banyak kekurangan, dan juga kekhilafan di masa lalu. Tapi di mata saya pribadi, ia punya banyak pembeda. Ia memiliki kepekaan sosial yang begitu tinggi. Ia sangat perhatian terhadap orang-orang yang tulus berjuang bersamanya.

Sekali pun saya harus jujur mengakui jika sebelum saya mengenalnya lebih jauh, saya termasuk tak pernah sejalan untuk afiliasi politiknya. Namun sebuah kebanggaan dan pengalaman berharga bagi saya bisa merasakan kehangatan, sekaligus menjadi “murid” barunya.

****
Di catatan ini yang merupakan bagian dari pengalaman pribadi yang saya tulis secara bersambung untuk mengenang kepergian beliau, penulis akan mengurai potret kepeduliannya yang mungkin tak banyak yang tahu.

Meski seorang temannya yang baru juga bersentuhan langsung dengannya pernah menulis sisi lain tentang IYL soal sisa makanan, tapi saya juga akan menyinggung sedikit. Karena ini kesan pertama yang saya ikut rasakan ketika awal-awal bersamanya di tahun 2017.

Sehari setelah saya diperkenalkan oleh pimpinan untuk ikut melekat, saya pun menjalankan tanggung jawab mendampingnya. Saat itu, saya ikut kemana pun ayah empat anak ini pergi untuk urusan pencalonannya di Pilgub Sulsel.

Karena masih jauh dari tahapan pendaftaran pilgub, tentu jadwal kegiatannya lebih banyak melakukan konsolidasi persiapan. Seperti ketemu tim ahli, maupun elit-elit politik yang banyak dilakukan di tempat tertutup. Termasuk di ruangan hotel.

Hari itu, saya ikut menemaninya makan malam. Tempat yang dipilih adalah salah satu restoran di Hotel Claro. Ia memesan beberapa ekor ayam goreng kesukaannya. Lengkap dengan ikan bakar, plus sayur dan menu lainnya.

Kami pun menikmati hidangan makanan itu. Beberapa potong ayam goreng tersisa, dan ikan bakar ada beberapa bagian tidak tersentuh. Termasuk tumis sayur, juga ada yang tidak mencicipinya. Dan tentu nasi putih, kebanyakan tersisa.

Usai makan, pelayan datang membersihkan meja tempat kami makan. Betapa kagetnya saya, ketika IYL meminta pelayan itu membungkus sisa makanan yang tidak tersentuh. Dalam hati kecil saya, masa kandidat gubernur dan mantan bupati dua periode meminta sisa makanan dibungkus?

Hitungan menit setelah itu, makanan yang dibungkus sudah disiapkan pelayan restoran. Ajudan pribadinya, cekatan mengambil dan membawa bungkusan itu untuk dimasukkan ke mobil pribadi IYL. Usai itu, kami pun meninggalkan restoran tersebut. Saya mendampinginya balik ke rumah sederhananya yang kira-kira memakan waktu 10 menit dari restoran.

Di kediaman pribadinya, saya meminta pamit. Ia pun langsung menyampaikan terima kasih, sekaligus meminta ajudan pribadinya menyerahkan bungkusan makanan itu ke saya. “Rif, kasi nanti ini makanan nah ke tukang parkir atau pemulung di jalan,” katanya yang saya sambut dalam hati, mungkin ini pencitraan karena saya baru menemaninya.

Ternyata belakangan saya baru tahu jika IYL punya kebiasaan membungkus makanan yang masih layak untuk diberikan ke “kaum dhuafa”. Dan itu dilakukan, tanpa ingin ditahu orang. Maklum, bungkusan makanan itu dia hanya titipkan ke orang yang menemaninya makan untuk diserahkan.

Dan untuk kebiasaan membungkus sisa makanan restoran, saya termasuk saksi hidup yang berulangkali melihat sekaligus dititipkan langsung ke mereka yang dari sisi ekonomi tergolong kurang mampu.

Selain kebiasaannya membungkus sisa makanan di restoran, IYL juga punya kebiasaan lain yang tak ingin ditahu orang. Kebiasaannya, yakni membayarkan makanan pengunjung di warung makan yang sering didatanginya di Makassar di malam hari.

Di Sop Saudara langganannya di Jalan Pettarani misalnya, IYL selalu meminta ajudan pribadinya agar menyampaikan ke kasir tidak menerima pembayaran dari pengunjung lain jika ia ada di tempat itu.

Karena tak ingin ditahu oleh pengunjung kalau makanannya dibayarkan, maka IYL selalu menunjuk pelayan warung makan itu, atau orang yang ada di dekatnya sedang ulang tahun. Sehingga, banyak pengunjung hanya mengetahui yang mentraktirnya bukan IYL, tapi yang “berulangtahun”.

Kebiasaan Ichsan membayarkan pengunjung secara diam-diam juga sering saya lihat langsung di tempat lain. Termasuk saat singgah beristirahat saat perjalanan ke daerah, baik untuk urusan pilgub maupun kegiatan PMI.

Perhatian IYL lainnya yang jarang diketahui, tentang kebiasaannya bersedekah dan membantu sesama. Dan lagi-lagi, itu saya lihat langsung selama mengikuti dan mendampinginya lebih setahun.

Sama dengan bungkusan makanan dan traktir pengunjung, IYL juga tak mau menampakkan diri memberikan sesuatu ke “pengemis” atau kaum dhuafa yang kadang menunggu uluran tangan di depan pintu masjid saat Shalat Jumat.

Berapa pun “pengemis” yang duduk atau jongkok di depan masjid, selembar uang merah (100 ribu) akan dibagikan satu-satu oleh ajudan pribadinya. Tapi itu dilakukan jika IYL sudah melewati “barisan” pengemis. Mungkin tak ingin menampakkan kalau dirinya yang memberikan uang itu.

Potret yang saya urai di atas dari beberapa contoh kepedulian lainnya yang tidak terangkum dalam catatan ini, tak pernah saya jadikan bahan berita untuk dimunculkan ke media saat pilgub. Saya tahu, untuk hal seperti ini, IYL sangat tidak suka dipamerkan atau di eskpose ke publik.

Begitu pun jika ada kerabatnya atau warga yang membutuhkan bantuan, IYL juga bukan pemimpin yang cuek. Jika itu untuk urusan kemanusiaan, maka tak ada di kamus hidupnya kata “pelit”. Ia tulus membantu, dan tentu sesuai kemampuannya.

Kebiasaan IYL yang sering saya lihat dan rasakan langsung tentu menjadi kenangan tersendiri bagi saya, sekaligus pembelajaran berharga. Kelak jika umur dipanjangkan, kepedulian ini juga akan saya ceritakan ke anak-cucu saya.

Fisiknya memang telah tiada. Kanker paru-paru boleh menyerang dan menyebar di tubuhnya hingga menghembuskan nafas terakhir. Tapi kami yakin, darah kepedulian dan perhatiannya selama ini yang mengalir di tubuhnya, akan menjadi penerang ‘di tempat peristiratannya’. Insyaallah!

Selamat jalan Punggawa. Banyak cinta untukmu!

Langganan Berita Pilihan 
tribun-timur.com di Whatsapp 
Via Tautan Ini http://bit.ly/watribuntimur

Follow akun instagram Tribun Timur:

Silakan Subscribe Youtube Tribun Timur:
Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved