Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

OPINI

Merayakan Ramadan sebagai Bulan Lintas Iman

Kehadiran Ramadan sebagai bulan yang mulia bagi umat Islam justru memberi warna baru dalam relasi antar iman di Indonesia.

Editor: syakin
CITIZEN REPORTER
Syamsul Arif Galib, Dosen Studi Agama UIN Alauddin Makassar 

Syamsul Arif Galib
Dosen Studi Agama UIN Alauddin Makassar

Model keberagaman kita mengalami kecendrungan eksklusifitas. Klaim tersebut didasarkan pada hasil survei yang ditunjukkan oleh beberapa lembaga terkait dengan model keberagaman di Indonesia.

Hasil Survei Nasional tentang leberagaman di sekolah dan universitas di Indonesia yang dilakukan oleh PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta misalnya menemukan bahwa 33,34 persen anak muda Indonesia generasi Z setuju dan merasa tidak masalah jika tindakan intoleran dilakukan kepada kelompok minoritas.

Masih dari survei yang sama ditemukan pula bahwa 48,95 persen responden siswa/mahasiswa merasa pendidikan agama mempengaruhi mereka untuk tidak bergaul dengan pemeluk agama lain. Dengan kata lain, beragama menghadirkan batas untuk tidak bergaul dengan iman yang berbeda.

Hasil survei ini juga diperkuat dengan bukti empirik lainnya seperti dengan munculnya kasus penolakan terhadap seorang warga di Jogjakarta untuk mendiami sebuah daerah hanya karena agama yang dianutnya berbeda dengan agama mayoritas.

Atau penolakan penggunaan simbol agama pada satu nisan di Jogjakarta karena simbol nisan tersebut dianggap tidak mewakili simbol agama tertentu yang merupakan representasi mayoritas kuburan yang berada di area pemakaman. Pun demikian dengan penolakan pembangunan rumah ibadah dan sederet bukti-bukti lainnya.

Namun di balik meningkatnya semangat eksklusivisme agama tersebut, kehadiran Ramadan sebagai bulan yang mulia bagi ummat Islam justru memberi warna baru dalam relasi antar iman di Indonesia. Ramadan yang secara tradisional sangat identik dengan Islam justru berubah menjadi bulan bagi semua ummat beragama.

Ramadan justru menjadi bulan di mana keterbukaan, kerjasama dan penghargaan muncul di antara pemeluk agama yang berbeda. Ramadan tidak lagi hanya menjadi bulannya ummat Islam, namun justru menjadi sebuah bulan lintas iman.

Hal itu dibuktikan dengan banyaknya saudara non-Muslim yang juga ikut terlibat dalam kegiatan-kegiatan selama bulan Ramadan. Misalnya dengan ikut menjaga mesjid saat pelaksanaan tarawih atau ikut terlibat dalam kegiatan Buka Puasa Lintas Iman.

Momen buka puasa juga tidak lagi hanya dilakukan di mesjid namun juga kita temukan acara buka puasa bersama yang dilaksanakan di gereja, wihara, klenteng dan tempat-tempat ibadah lainnya. Takjil pun tidak hanya disiapkan oleh teman-teman Muslim semata, namun juga dibuat dan dibagikan oleh saudara kita baik dari ummat Kristen, Hindu, Budha dan juga Kong Hucu.

Fenomena ini mungkin akan mendapat kritik bagi mereka yang berpandangan eksklusif dalam beragama. Sebaliknya, bagi para pegiat gerakan lintas iman, hal ini justru menjadi sebuah momen langka di mana ummat berbeda iman dapat bertemu dan bercengkrama bersama. Harus diakui, meski Indonesia adalah sebuah negara yang majemuk dengan mayarakat yang menganut iman yang berbeda-beda, namun ruang-ruang pertemuan lintas iman dianggap masih kurang atau bahkan cendrung ditabukan. Bulan Ramadan akhirnya hadir sebagai momen untuk mendobrak kebekuan tersebut.

Ramadan sebagai bulan lintas iman sesungguhnya bukan hal yang baru, di negara-negara di mana Muslim adalah minoritas, Ramadan menjadi bulan spesial bagi umat Muslim untuk mengenalkan iman mereka kepada yang berbeda iman. Di Amerika dan Australia, meski buka puasa bersama dilakukan di mesjid, namun peserta yang diundang hadir bukan cuma Muslim semata namun juga non-Muslim.

Momen ini akhirnya menjadi kesempatan bagi non-Muslim untuk melihat lebih dekat apa itu Islam dan berkesempatan bertanya dan mengetahui lebih banyak tentang Islam. Momen ini menjadi pembuka dialog sekaligus upaya meminimalisir Islamophobia di kalangan non-Muslim.

Inklusivitas Keberagamaan

Dalam masyarakat yang majemuk, sikap keberagaman yang inklusif adalah pilihan. Sedang sikap keberagaman yang eksklusif justru menjadi ancaman. Mereka yang eksklusif dalam beragama cenderung akan membangun jarak dengan mereka yang berbeda iman meski mereka adalah satu sebagai sebuah bangsa.

Halaman
12
Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved