OPINI
OPINI - Tindak Pidana Makar HS
Dengan mengeluarkan kata-kata secara lisan di hadapan umum, “saya akan membunuh Presiden” belum tentu memenuhi unsur sebagai “niat hendak membunuh...
Oleh:
Damang Averroes Al-Khawarizmi
Magister Hukum UMI Makassar
BERKAH bulan Ramadan nyatanya belum mampu mengakhiri perseteruan dan kebencian dari simpatisan Paslon Presiden dan Wakil Presiden.
Buktinya, aksi demonstrasi pada Jumat (10/5) kemarin yang dihadiri kerumunan massa, di depan Kantor Bawaslu RI, Jakarta Pusat, salah seorang pengunjuk rasa bernama Hermawan Susanto (HS), secara terbuka dan sesumbar meneriakan kalimat “poso siap penggal kepala Jokowi.”
HS pun pada akhirnya tidak mampu berkutik, karena videonya sudah viral kemana-mana.
Hanya berselang dua hari, HS ditangkap di Perumahan Metro Parung, Desa Waru, Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Minggu (12/5/2019).
Lokasi penangkapan Hermawan adalah rumah kakaknya.
Setelah itu, HS digelandang ke Polda Metro Jaya, dan selanjutnya ditetapkan sebagai tersangka dalam tindak pidana makar (Pasal 104 KUHPidana) dan tindak pidana di bidang ITE dengan modus pengancaman pembunuhan terhadap Presiden RI (Pasal 27 ayat 4 Junto Pasal 45 ayat 1 UU No. 19 Tahun 2016 perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik).
Tindak pidana makar sebagaimana yang disangkakan kepada HS, kiranya menjadi penting untuk diulas melalui tulisan ini.
Baca: VIDEO: Kejari Jeneponto Bawa Satu Koper Dokumen Saat Geledah RSUD Lanto Dg Pasewang
Dengan pertimbangan, mengingat dari banyak kasus yang mencuat di berbagi lini media, memang tindak pidana tersebutlah paling santer dan acapkali dijadikan senjata ampuh dalam “mematikan” hasrat dari kubu lawan politik yang kadang berseberangan.
Dengan Perbuatan
HS disangka melakukan tindak pidana makar berdasarkan Pasal 104 KUHPidana yang menegaskan: “Makar yang dilakukan dengan niat hendak membunuh Presiden atau Wakil Presiden, atau dengan maksud hendak merampas kemerdekaannya, atau hendak menjadikan mereka itu tidak cakap memerintah, dihukum mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.”
Dalam kluster pembagian tindak pidana makar, Pasal 104 KUHPidana pada hakikatnya terkualifikasi sebagai kejahatan terhadap keamanan di dalam negeri (hochverrat).
Adapun spesifikasi tersendiri dari tindak pidana ini, yaitu perbuatan makar termasuk tindak pidana yang tergolong berat (felonia implicatur in quolibet prodotione).
Oleh karena tergolong sebagai tindak pidana yang tergolong berat, hukumannyapun harus diperberat dibandingkan dengan kejahatan lainnya (crimen laesae magestatis omnia alia criminal excedit quoad poenam).
Bertitik tolak dari spesifikasi itulah, sehingga tidak dikenal perluasan pertanggungjawaban pada konteks perbuatan dalam hal percobaan melakukan tindak pidana makar.
Selesai atau tidak selesainya perbuatan pelaku, tetap dijerat dengan ancaman pidana yang sama, tanpa pengurangan dari ancaman pidana pokoknya.
Namun dalam kasus yang mendera HS, dalam ihwal menerapkan Pasal 104 KUHPidana, tidak dengan serta-merta berikut dengan ketentuannya dapat ditafsir secara serampangan.
Baca: Murid SD Negeri Borong Belajar Menulis Alquran dengan Metode Follow The Line
Dengan mengeluarkan kata-kata secara lisan di hadapan umum, “saya akan membunuh Presiden” belum tentu memenuhi unsur sebagai “niat hendak membunuh Presiden; mengapa? Sebab niat itu harus ternyatakan minimal dengan adanya permulaan pelaksanaan (Pasal 87 KUHPidana).
Kemudian, ukuran permulaan pelaksanaan baik dalam teori subjektif maupun teori objektif, kedua-duanya mempersyaratkan harus ada perbuatan.
Teori subjektif menekankan manifestasi niat yang berbahaya adalah dengan permulaan pelaksanaan untuk menuntaskan perbuatan yang dituju.
Niat diidentikan sebagai fakta yang ada (voluntas reputabitur pro facto).
Bahkan niat demikian harus tercermin dalam suatu perbuatan (intentio mea imponit nomen operi meo), karena niat tidak mungkin diketahui tanpa adanya permulaan pelaksanaan (acta exteriora indicant interiora secreta).
Sementara teori objektif menyatakan bahwa adanya perbuatan pelaksanaan, jika perbuatan terdakwa sudah mendekati delik yang dituju.
Ringkasnya, teori subjektif menyatakan bahwa kepada pelaku tidak ada lagi keraguan terhadap apa yang dilakukannya telah diarahkan pada delik yang dituju.
Teori objektif menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh pelaku sudah terkandung potensi untuk mewujudkan delik yang dituju.
Baca: Ambulans Dinkes Mamasa Tidak Diurus, Begini Kondisinya
Dalam kasus HS, baik secara subjektif maupun secara objektif sangat mustahil kepadanya dapat mewujudkan keinginannya untuk memenggal kepala Jokowi.
Keinginan untuk membunuh tersebut, masih patut dipertanyakan perihal kesanggupannya, termasuk jauhnya dari potensi untuk mewujudkan kehendaknya itu.
Dengan maksud untuk membunuh Presiden atau Wakil Presiden, sekadar kata-kata yang bernada ancaman, tidak terkualifikasi sebagai tindak pidana makar.
Makar mempersyaratkan dengan perbuatan, bukan dengan kata-kata, minimal dengan perbuatan pelaksanaan yang sudah mendekati sempurnanya maksud menghilangkan nyawa terhadap seorang Presiden atau Wakil Presiden.
Delik Penghasutan
HS dalam menyalurkan kebenciannya dengan kata-kata “penggal kepala Jokowi” pada Jumat kemarin, bersamaan dengan momentum dia termasuk bagian dari peserta pengunjuk rasa di depan Kantor Bawaslu RI.
Alih-alih kepolisian menjerat HS, tindak pidana di bidang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan modus pengancaman pembunuhan terhadap Presiden RI, yang sulit pemenuhan unsurnya, karena boleh jadi bukan HS yang menyebarkan video tersebut melalui media elektronik.
Baca: GP Ansor Sulsel Gelorakan Simaan Alquran
Mengapa kemudian pihak kepolisian tidak menjerat HS dengan delik penghasutan berdasarkan Pasal 16 UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum Junto Pasal 160 KUHPidana?
Bukankah delik penghasutan merupakan delik formil. Suatu delik yang hanya menekankan bahwa pelaku benar-benar “menghasut di depan umum” untuk dilakukan perbuatan pidana.
Tidak perlu menunggu adanya orang yang terhasut kemudian melakukan perbuatan pidana itu, pelaku penghasut sudah dapat dipidana.
Dengan mengedepankan motif politik atau asal bapak senang (ABS) dalam penegakan hukum pidana, dendam yang bertalu-talupun pada akhirnya sulit terbayar lunas.*
Catatan: tulisan ini telah terbit di Tribun Timur edisi cetak, Kamis (16/05/2019)