Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

OPINI

OPINI - Peringatan Jelang Pemilu

Penulis adalah Staf di LAPAR Sulawesi Selatan dan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Padjadjaran

Editor: Aldy
zoom-inlihat foto OPINI - Peringatan Jelang Pemilu
tribun timur
Staf di LAPAR Sulawesi Selatan dan Studi Politik Keamanan di Universitas Padjadjaran

Oleh:
Fathullah Syahrul
(Staf di LAPAR Sulawesi Selatan dan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Padjadjaran)

“Demokrasi itu merupakan bentuk pemerintahan yang paling buruk, tetapi masalahnya, bentuk lainnya tidak lebih baik daripada demokrasi” (Winston Churcill: 1947).

Pernyataan Winston mengingatkan kita bahwa seluruh bentuk pemerintahan yang diterapkan oleh negara-negara di dunia hampir tak ada yang paripurna.

Hal ini dapat dilihat dari seluruh negara yang menerapkan bentuk ini, tak pernah surut akan konflik yang berkepanjangan, mulai dari konflik agama, sosial, politik, budaya, ekonomi dan lain-lain.

Artinya, tugas berat dari bentuk pemerintahan ini adalah menjawab seluruh tantangan yang hari ini dihadapi oleh masyarakat.

Penggalan kalimat yang ditulis Winston ini menjadi perdebatan dalam menatap masa depan demokrasi khususnya di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

Perbincangan demokrasi sebenarnya memang harus diakui menjadi satu dimensi kekuatan dalam sistem tata kelola pemerintahan, di mana demokrasi diterapkan.

Baca: Marawis Meriahkan Isra Miraj Hotel Claro Makassar

Indonesia salah satu negara yang mengadopsi bentuk pemerintahan ini. Bahkan Pemilihan Umum (Pemilu) didaulat sebagai pesta demokrasi.

Artinya, bentuk pemerintahan ini sudah mendarah daging di tubuh rakyat Indonesia. Namun, sering kali demokrasi tak bisa terjemahkan secara utuh.

(Larry Diamond and Leonardo Morlino: 2004) membagi demokrasi ke dalam tiga dimensi.

Pertama, Procedural Dimensions; dimensi ini meliputi; partisipasi (participation), kompetisi (competiton), akuntabilitas (accountability) dan aturan hukum (rule of law).

Menjelang pemilu tahun 2019 mendatang, partisipasi dianggap sebagai reaksi masyarakat yang begitu penting bagi para kandidat yang mengincar kursi kekuasaan.

Sebab, tanpa partisipasi masyarakat di bilik suara rasanya sangat sulit mengantarkan mereka untuk meraih jabatan presiden dan wakil presiden dan satu kursi di parlemen.

Tak hanya masyarakat, lembaga-lembaga lainnya seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan partai politik hadir sebagai institusi yang giat melakukan kampanye-kampanye untuk meningkatkan partisipasi.

Sebab, salah satu indikator kredibilitas lembaga tersebut dilihat dari tingkat partisipasi masyarakat.

Baca: PMI Wajo Ketiban Ambulance dari Bank Sulselbar

Tahun 2019 adalah tahun kompetisi (competiton), para peserta demokrasi saat ini tengah
mempersiapkan strategi yang jitu untuk duduk di kusi parlemen.

Kampanye lewat baliho, media sosial sampai bertemu langsung dengan masyarakat untuk meraup suara adalah salah satu kompetisi.

Siapa yang kuat, dan bertahan dalam kompetisi maka merekalah yang nantinya akan mewakili masyarakat.

Bahkan kompetisi tak sehat pun juga dipertontonkan: hoaks, negative campaign, black campaign tak pernah hilang dari pesta ini.

Bagi mereka yang berhasil duduk di parlemen dituntut untuk menerapkan konsep akuntabilitas yaitu, sebuah konsep etika dalam bidang pemerintahan: legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Sehingga, mereka akan bergerak dan bekerja sesuai dengan aturan hukum yang berlaku di negara ini sebagai bagian dari bentuk pemerintahan demokrasi.

Tetapi, harus diingat bahwa partisipasi, kompetisi, akuntabilitas dan aturan hukum hanya sebagai demokrasi yang prosedural saja.

Kedua, substantive dimensions.

Dimensi ini juga meliputi; menghormati kebebasan sipil dan pengejaran kebebasan (respect for civil liberities and the pursuit of freedom) dan pengurangan ketidaksetaraan politik, ekonomi dan sosial (reduction in political, economic and social inequalities).

Baca: Ideaksi Persembahkan Buku Memetik Keberanian untuk Anak-anak Korban Bencana

Salah satu tugas demokrasi dapat dilihat dari dimensi kedua ini, kita tidak ingin demokrasi dimaknai hanya sebagai demokrasi prosedural yang penerapannya hanya ada pada saat momentum pemilu saja.

Menghormati kebebasan sipil dan kebebasan adalah fenomena yang belum paripurna di negeri ini.
Justru yang muncul adalah fenomena elit bertengkar masyarakat di akar rumput terbengkala.

Salah satu indikator demokrasi adalah kebebasan, Indonesia menganut itu melalui penerapan
hukum dan kebijakan, tetapi aturan yang diterapkan sering kali berbenturan dengan kebebasan
sipil, sehingga kebebasan direduksi melalui aturan hukum yang tidak pro ke masyarakat.

Ini gamang, kegamangan demokrasi itu nyata terlihat saat kebijakan politik, ekonomi dan sosial tidak bersinergi dengan kegelisahan masyarakat.

Ketika fenomena yang seperti ini justru masif baik pra dan pascapemilu maka akan menghambat politik demokrasi ke depan.

Ketiga, result dimension. Di mensi yang ketiga ini mengkaji tentang responsif (responsiviness).

Melalui itu, demokrasi harus dibaca, dianalisis, direspon, direfleksi lalu kemudian bertindak. Demokrasi itu harus responsif, jika tidak responsif berarti kita gagal memahami demokrasi secara utuh.

Baca: Formulir C6 Tak Terdistribusi Baik, Gerindra Makassar Datangi KPU Sulsel

Dimensi demokrasi yang ketiga ini hampir tak pernah kita temukan. Justru fenomena yang hari ini kita saksikan adalah demokrasi yang tidak responsif.

Kepala daerah dan legislator menjadi representasi masyarakat sebagai bagian dari produk demokrasi lebih cenderung bekerja pada wilayah demokrasi prosedural.

Tidak responsifnya demokrasi dilihat dari fenomena yang terjadi di beberapa daerah Sulawesi Selatan seperti Palopo, Wajo, Pinrang dan Sidenreng Rappang.

Aksi menanam pohon dijalanan sebagai kritik terhadap pembangunan infrastruktur yang sama sekali tak tersentuh selama mereka menjabat sebagai kepala daerah maupun legislator.

Mereka baru akan merespon jika momentum pemilu sudah mulai terasa. Artinya, demokrasi betul-betul mengalami kemacetan yang serius.

Indonesia telah berhasil menjalankan dimensi procedural (procedural dimensions), tetapi masih jauh dari dimensi substantive (substantive dimensions) apalagi dimensi hasil (result dimension).

Akhir kata, melalui momentum pesta demokrasi yang akan berjalan pada 17 April 2019 mendatang. Aktor-aktor politik harus disadarkan diperingatkan.

Kita tidak ingin demokrasi hanya sebagai dimensi prosedural saja.

Sebab, sangatlah lucu jika mereka berkuasa karena demokrasi tetapi tidak menjalankan demokrasi secara utuh dan paripurna.

Selamat menyambut pesta demokrasi tahun 2019.

Catatan: tulisan ini telah terbit di Tribun Timur edisi cetak, Senin (15/04/2019)

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved