OPINI
OPINI - Rasionalitas dan Ibrah Isra Mikraj
Peristiwa Isra dan Milraj menjadi batu uji keimanan umat Islam pada waktu itu.
Oleh:
Ilyas SE MSi
Dosen Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan
Peringatan Isra dan Mikraj baru saja digelar. Peristiwa yang memiliki aspek spritualitas yang begitu dalam.
Bertabur hikmah dan ibrah. Moment untuk pertama kalinya ibadah shalat lima waktu diperintahkan kepada seluruh umat Islam.
Peristiwa Isra dan Milraj menjadi batu uji keimanan umat Islam pada waktu itu. Betapa tidak, peristiwa tersebut melampaui rasionalitas manusia.
Ketika Nabi Muhammad SAW menyampaikan peristiwa yang baru saja dialaminya kepada penduduk Mekkah, responnya dominan menyangkal.
Menganggap Nabi membual. Bagaimana mungkin dalam semalam bisa melakukan perjalanan dari Mesjidil Haram di Mekkah menuju Mesjidil Aqsa Palestina hanya dalam hitungan semalam?
Nalar pastilah menolak. Jarak antara Mekkah dengan Palestina adalah sekitar 1.200 km.
Akal sehat akan menolak bagaimana mungkin bisa melakukan perjalanan semalaman dengan jarak tempuh sejauh itu.
Baca: PLN Sulselrabar: Kami Tidak Jual Box Meteran, Itu Oknum
Sementara itu, selama ini perjalanan untuk sampai ke Palestina dari Mekkah dengan menggunakan kendaraan tercepat kala itu bisa ditempuh dengan berbulan-bulan lamanya.
Mempercayai peristiwa Isra dan Mikraj bagi kaum kafir Quraish kala itu sama saja mencederai akal sehat. Sangat irasional.
Lalu bagaimana menjawab persoalan pelik, tuduhan tersebut. Dalam situasi tersebut muncullah sahabat nabi, Abu Bakar As Shiddiq yang membenarkan dan membela Rasulullah Saw.
Bagi Abu Bakar, apa yang dikatakan oleh Rasulullah benar adanya. Sangat rasional bahwa sebagai Nabi, bisa melakukan perjalanan yang sangat jauh hanya dalam waktu sekejap.
Jika keimanan dibangun di atas pondasi rasionalitas, maka akan sangat mudah menerima dan meyakini kebenaran yang menurut orang lain bisa jadi irasional.
Bila meyakini bahwa Muhammad Saw adalah Nabi, maka pastilah melekat keutamaan, kelebihan atau dalam bahasa sederhana mukjizat yang diberikan Tuhan kepadanya, yang tidak diberikan kepada manusia lainnya.
Nabi Isa AS bisa menghidupkan orang yang sudah mati, Nabi Musa bisa membelah laut merah dengan tongkatnya, Nabi Ibrahim tidak hangus dibakar api adalah sekelumit mukjizat yang diberikan Tuhan.
Baca: TRIBUNWIKI: Ini 10 Buku Terlaris Sepajang Maret 2019 di Gramedia Mall Panakkukang
Bagaimana merasionalkan bahwa ada orang mati bisa hidup kembali? Bukankah irasional kalau orang yang dibakar kemudian tidak hangus?
Namun, itu semua terjadi atas kehendak Allah Swt. Karenanya sangat rasional jika Nabi Muhammad mampu melakukan perjalanan tersebut.
Tak lain karena ‘campur tangan’ Tuhan. Karena itu dalam islam keimanan harus berangkat dari kajian rasionalitas bukan doktrinal.
Islam memerintahkan pemeluknya untuk berpikir dalam rangka mengenal Tuhan dan meyakini kebenaran agama yang dianutnya.
Selanjutnya yang bisa dijadikan ibrah adalah aspek kepemimpinan dalam Islam. Hal ini tercermin dari ibadah shalat berjamaah.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam peristiwa inilah perintah shalat lima waktu diwajibkan. Shalat hakikatnya tidak hanya mengandung nilai spritualitas semata.
Tak sekedar berbicara religuisitas. Namun, maknanya begitu luas dan dalam. Segala sisinya mengandung pelajaran yang begitu memesona.
Shalat mengajarkan tentang ketaatan sempurna, kedisiplinan dalam menjaga waktu, kebersihan lahiriah dan batiniah dan sebagainya.
Baca: Rumah di Hertasning Tanpa Uang Muka, Sabtu Ini Gelar Open House
Selain itu shalat berjamaah mengandung filosofi kepemimpinan yang begitu baik, indah dan teruji.
Bila mesjid diibaratkan bangunan masyarakat, maka dalam shalat berjamaah di mesjid mengajarkan kesetaraan derajat.
Siapa saja yang datang duluan maka berhak menduduki saff atau barisan pertama. Tak ada aturan bahwa saff pertama hanya untuk golongan tertentu.
Tidak ada previlege status sosial, suku, kebangsawanan, jabatan yang dimiliki untuk menjadikan saff pertama sebagai monopolinya.
Walaupun kaya, punya jabatan dan semacamnya kalau datang terlambat maka saff belakanglah tempatnya.
Begitu juga bila dianalogikan Imam adalah pemimpin atau penguasa dan makmun adalah rakyat, maka shalat berjamaah menuntun bahwa jamaah (rakyat) wajib taat dan patuh pada Imam (pemimpin).
Agar jamaah bisa taat sepenuh hati maka islam memberikan kriteria yang jelas untuk menjadi Imam.
Mulai yang paling bagus bacaannya, paling banyak hafalannya, paling dahulu masuk Ilam atau paling tua dan semacamnya.
Baca: Ini Ruas Jalan Rawan Kejahatan di Tamalanrea Makassar
Baca: UMI Loloskan Dua Mahasiswa Ikuti ON MIPA Tahun 2019
Kriteria ini bisa diinternalisasi dalam memilih pemimpin dalam kehidupan bermasyarakat, dengan menentukan syarat-syarat tertentu untuk menjadi Imam.
Jika ini bisa dilakukan maka akan terpilih pemimpin terbaik di masyarakat.
Dalam menjalankan tugasnya, Imam ketika tersalah maka Ma’mun harus mengoreksi, meluruskan dan memperbaiki kesalahan Imam dan dalam hal tertentu bisa digantikan.
Bagi Imam, ketika dikoreksi maka dengan sikap lapang dada harus memperbaiki kesalahannya, termasuk jika diganti.
Prinsip inipun bisa direplikasi dalam kehiduapan bermasyarakat. Bagaimana cara mengoreksi, meluruskan dan memperbaiki kesalahan pemimpin.
Jika cara ini dapat dilakukan dengan baik maka akan tercipta kehidupan bermasyarakat yang damai, tenteram dan saling menghargai.
Semoga saja nilai-nilai ini bisa diaplikasikan dalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan bernegara, khususnya dalam menyongsong pemilu yang tak lama lagi. (*)
Catatan: tulisan ini telah terbit di Tribun Timur edisi cetak, Jumat (05/04/2019)