OPINI
OPINI - Keluarga, Pendidik Pertama dan Utama
Keluarga merupakan lingkungan terkecil pertama yang akan dihadapi oleh seorang anak.
Oleh:
Abidin Raukas
(Pengawas SMP Disdikbud Kabupaten Wajo)
Banyaknya masalah kenegaraan yang muncul ke permukaan seolah menjadi indikator bahwa ada yang salah di dalam proses pendidikan di Indonesia.
Masih kuatnya kasus korupsi, tindakan kriminal, rendahnya toleransi, penyalahgunaan wewenang dan jabatan, dan lain sebagainya adalah hal yang belum bisa diputuskan mata rantainya hingga kini (setidaknya berupaya menguranginya).
Perlu dilakukan refleksi secara bersama-sama untuk mencari dan memperbaiki kesalahan tersebut.
Bisa jadi, para pelaku mengalami proses pendidikan yang tidak kuat dimulai dari keluarga, karena pendidikan yang baik di dalam keluarga pun turut membangun peradaban dan kemajuan sebuah negara.
Keluarga merupakan lingkungan terkecil pertama yang akan dihadapi oleh seorang anak. Idealnya, anak-anak tumbuh dengan baik di dalamnya, baik fisik maupun mentalnya.
Waktu bersama keluarga jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan lingkungan luar.
Baca: Rakor Terpadu Pemilu 2019, Pangdam: Jangan Ada Intimidasi
Ahli pendidikan berpendapat bahwa pada tiga tahun pertama usia anak adalah fase pembangunan
struktur otak.
Sedangkan usia tujuh tahun hampir sempurna otaknya dibentuk. Dengan waktu yang begitu banyak dihabiskannya bersama keluarga, maka jelas bahwa keluarga sangat berpengaruh dalam proses tumbuh kembang fisik dan otak anak tersebut.
Hal ini juga mengindikasikan bahwa keluarga secara tidak langsung telah menjadi lembaga pendidikan pertama.
Senada dengan hal tersebut di atas, Safrudin Aziz (2015) berpendapat bahwa keluarga secara empiris merupakan dasar pendidikan pertama yang harus diberikan secara sistematis dan komprehensif kepada setiap anggotanya serta disesuaikan dengan tingkat kematangan psikologis, emosi dan spiritualnya.
Bahkan tidak dapat dipungkiri, keluarga menjadi salah satu unsur tri pusat pendidikan semenjak manusia itu sendiri dilahirkan.
Pendidikan dalam keluarga jika dikalkulasikan dengan proses pendidikan di manapun akan sangat berbeda out put maupun biayanya.
Baca: Perbaikan Bendungan Karet Jeneberang Tunggu Material dari Tiongkok
Baca: Jika Prabowo Presiden, Apakah Adik Perempuannya Diangkat Jadi Ibu Negara? ini Penjelasan Mahfud MD
Pendidikan keluarga terlayani 24 jam semenjak anak dilahirkan sampai pada usia menjelang berumah tangga. Dari keluarga, anak-anak bisa menerima pola pembentukan karakter dan penanaman nilai-nilai secara bertahap dan berkelanjutan.
Peran seorang ibu mengokohkan kegiatan belajar mengajar tersebut. Dari kegiatan ini, anak-anak lebih mudah mencerna proses pembentukan jati diri dan penanaman nilai-nilai karakter.
Namun, seiring dengan perkembangan zaman, peran keluarga bisa mengalami pergeseran. Saat ini, peran keluarga–utamanya ibu- sudah banyak dilimpahkan ke tempat penitipan anak.
Memang benar bahwa anak-anak pun menjalani proses pendidikan di tempat itu, namun peran psikologis keluarga tidak bisa tergantikan. Oleh karena itu, ia disebut sebagai pendidik utama.
Jika kebutuhan anak -terkait pendidikan keluarga- tidak terpenuhi dengan baik, maka anak cenderung berlaku labil dalam berinteraksi sosial dengan keluarganya sendiri dan hal ini sangat berpengaruh pada pola pikir anak.
Banyak tindakan kejahatan yang terjadi dilatarbelakangi oleh rendahnya kualitas interaksi sosial anak dengan keluarga.
Bahkan, tidak sedikit, justru anak-anak yang menjadi pelaku kejahatan dan tak jarang menjadi korban eksploitasi.
Baca: Ridho Rhoma Kembali Masuk Penjara Karena Narkoba, MA Ketok Palu 18 Bulan Penjara
Dari catatan UNICEF, setiap tahunnya ada 40.000 hingga 70.000 anak menjadi korban eksploitasi seksual anak.
Sedangkan, kasus bocah ‘kurir narkoba’ masih juga menghiasi halaman koran setiap tahunnya.
Dari paparan di atas, sangat jelas penekanan pentingnya keluarga memaksimalkan perannya sebagai pendidik pertama dan utama.
Langkah pertama menentukan langkah berikutnya, begitu pula dalam proses mendidik anak.
Atas dasar ini pulalah, keluarga senantiasa diimbau untuk membangun sebuah wadah bersama dengan satuan pendidikan.
Diharapkan setiap keluarga tidak lagi menganut paradigma lama bahwa pendidikan hanya berlangsung di bangku sekolah formal.
Pertama, keluarga sebagai pendidik utama harus pro aktif membangun komitmen bersama satuan pendidikan, sehingga kedua belah pihak bisa mengetahui permasalahan dan kebutuhan anak.
Bukan sekadar mengetahui nilai-nilai akademik anak yang tercatat di atas kertas sebagai bentuk pelaporan dan pertanggungjawaban sekolah kepada orang tua.
Baca: Usai Dilantik, PTPS Mallawa Diperintahkan Cegah Politik Uang dan SARA
Kedua, membentuk sebuah jaringan komunikasi. Jaringan komunikasi ini terdiri dari pihak satuan pendidikan dan kelompok orang tua untuk memberikan masukan, saran, motivasi, dan mengefektifkan sosialisasi awal program satuan pendidikan.
Selayaknya, komunikasi tidak hanya terjadi pada saat rapat bersama orang tua. Kedua hal ini merupakan modal dasar bagi keluarga untuk melakukan penguatan pendidikan di dalam keluarga.
Keluarga sebagai pendidik pertama dan utama sudah saatnya membangun komitmen untuk memutuskan mata rantai sejumlah permasalahan sebagai akibat rendahnya kualitas pendidikan di negara kita.
Dengan adanya kesadaran yang tinggi dari keluarga, besar harapan kita semua bahwa pendidikan di masa yang akan datang tidak lagi melahirkan manusia-manusia ‘pemburu ijazah’.
Melainkan, manusia-manusia yang berwujud output terbaik dari sebuah proses. Bukan hanya untuk melewati masa revolusi industri 4.0 nantinya, namun menjadikannya sebagai proses pendidikan yang berkelanjutan. Long life education. (*)
Catatan: Tulisan ini telah dipublikasikan juga di Tribun Timur edisi print, Senin 25 Maret 2019