Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

OPINI

Opini Ostaf Al Mustafa: Unhas dan Buluh Sejarah Pengekangan Mahasiswa

Penulis adalah mantan anggota Unit Kegiatan Pers Mahasiswa (UKPM) Universitas Hasanuddin

Editor: Jumadi Mappanganro
dokumen FB
Ostaf Al Mustafa 

Oleh: Ostaf Al Mustafa
Mantan anggota Unit Kegiatan Pers Mahasiswa (UKPM) Universitas Hasanuddin

KETIKA lembaga kemahasiswaan tingkat universitas di Universitas Hasanuddin (Unhas) 2018, masih sebuah kemustahilan yang merayap di kehendak elite kampus, pada siapakah kesalahan, harus diletakkan di ujung kuku telunjuk?

Mahasiswa yang paling gampang untuk disalahkan, karena mereka cuma menuai sejarah buram yang tidak ditanam dari bibit dalam kepalan jemari para pembelajar itu. Mereka cuma pelakor (pelakon yang dikorbankan).

Era kehancuran lembaga yang bisa dilacak peletakan nisannya pada akhir riwayat keberadaan SMUH (Snat Mahasiswa Unhas).

Kala itu terbentuk konsolidasi sehingga muncul kekuatan lintas fakultas yang menjadi salah satu dari tiga kontestan pemilu raya yakni Yes ABG (Yayasan Estetika Aliansi Bebas Gugatan).

Inisial ABG merupakan parodisasi dari tiga kekuatan Orba yakni ABRI, Birokrat dan Golkar. Penamaan Yayasan Estetika karena masa itu minim sisi estetis dari Demokrasi Pancasila ala Orba.

Bila estetika menyusut maka meniada etika dalam lipatan-lipatan kulit arinya.

Baca juga: Opini Syamsuddin Radjab: Jusuf Kalla, Otoritarianisme vs Kepastian Hukum

Baca juga: Opini Andi Januar Jaury: Persembahan Devisa Wisman untuk Rupiah

Parodisasi merupakan cara ekstrem untuk meradikalisasisi tertawaan pada rezim, tanpa perlu dimulai dengan senyuman setajam bulan sabit.

Pemilu mahasiswa di tingkat universitas merupakan persaingan dalam kebersamaan.

Hal itu agar mahasiswa tidak menjadi kecebong di himpunan dan merasa besar dalam tempurung di fakultas masing-masing.

Universitas merupakan tempat para intelektual untuk mewujud dalam semesta pemikiran dan pergerakan.

Itulah mengapa perguruan tinggi yang besar disebut universitas, yang seakar dengan makna universe (alam semesta) dan universal (semesta dunia).

Ostaf Al Mustafa berorasi di kawasan bundaran HI, Jakarta, Minggu (21/5/2017).
Ostaf Al Mustafa berorasi di kawasan bundaran HI, Jakarta, Minggu (21/5/2017). (handover)

Kata universitas mulai digunakan pada abad XIV, berasal dari Bahasa Perancis (université) dan diadopsi dari bahasa Latin yakni universe yang berarti keseluruhan, masyarakat, dan perserikatan.

Tapi pemilu tersebut, tidak berakhir dalam perhitungan suara, karena adanya sejumlah oknum yang kemudian melenyapkan dan merampas kotak suara dengan kekerasan.

Bukan karena adanya kegelapan pikiran yang merasuki perbuatan naif tersebut, tapi sesuatu yang lebih hitam dari perbuatan mereka. Hingga akhirnya SMUH meniada dari Kampus Merah.

Siapapun para pelaksana langsung dari hancurnya demokrasi ala mahasiswa Unhas kala itu, mereka bukan pihak pertama dan kedua dari kematian pelembagaan.

Masih ada pihak ketiga, namun diduga keras berkaki empat, berbulu lurus di sekujur kulitnya, berlumur pigmen penghitam, dan berasal dari famili Bovidae dan bergenus Capra.

Bila sudah dijinakkan sebagai peliharaan domestik disebut Capra hircus. Kesalahan yang bagus andai saja bisa disebut sebagai Capra hitam.

Bila saja, kelompok Capra hitam itu berani tampil sekarang untuk berbicara. Tentu kegelapan sejarah itu sudah sedikit bisa diperciki api penerang. Bisa juga sekalian dibakar saja histori tersebut.

Momen itu hanya seupil daki dari hasil produksi lelehan keringat kala membentuk kekuatan strategis di tingkat universitas. Ini cuma masa lalu, makanya hanya dikenang dalam huruf-huruf silam pembacaan.

Elite birokrat tidak merawat nisan dan kuburan SMUH, sebagai sejarah yang bisa direpetisi.

Malah digali lubang besar untuk membuang jasad kehidupan mahasiswa dengan menggampangkan sanksi akademik dan DO. Ulah demikian membuat tingkat resistensi meninggi.

Ketika muncul kehendak dari atas untuk membuat lembaga kemahasiswaan tingkat universitas, maka kata terbaik dari mereka hanya berupa, “Tidak” dengan tiga tanda seru tak berspasi.

Begitu pun ketika para senior berdialog untuk menyoal kisruh terbaru, sekadar menjadikan SMUH sebagai buluh perindu.

Mereka berkumpul untuk mengiris-iris masalah kemahasiswan terkini.

Sebab memori itu langsung ditiup dari para pelaku sejarah, sehingga makin terdengar pilu dan sayu tertiup gemuruh pemberitaan di halaman utama dalam “Alumni Rindu SMUH” (Tribun Timur, Kamis, 26 Juli 2018).

Yang hilang dari ide pembentukan neo-SMUH atau apapun nama lembaga tersebut yakni tak ada sama sekali militansi kekuatan mahasiswa ala Amerika Latin.

Mereka memiliki aset tradisi intelektual dalam dunia akademik atau politik berupa Manifesto Cordoba 1918 atau Cogobierno.

Saat itu mahasiswa Cordoba, Argentina mengeluarkan sebuah manifesto yang menuntut otonomi universitas dan keterlibatan mahasiswa dalam mengelola administrasi universitas.

Histori Cogobierno 110 tahun lalu masih memiliki relevansi dengan sengkarut di Unhas.

Syahrul Rauf dari Unit Kegiatan Pers Mahasiswa (UKPM), merinci masalah mendasar selama ini.

Katanya, mahasiswa menuntut target otonomi, idependensi dan posisi di struktur kampus. Bila menghendaki adanya SMUH, maka kurangi pengekangan.

Perlu ada student government, cogobierno atau praktik demokrasi langsung.

"Bukan hanya satu suara pada Majelis Wali Amanah, namun juga intensifkan budaya dialog dan musyawarah. Belakangan pejabat universitas enggan berdialog panjang.”

Hanya secuil permintaan mahasiswa, tapi itu juga kemustahilan untuk diangguki birokrat kampus. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved