OPINI
OPINI: Problematika Tata Ruang Usai Pilwali Makassar
Ditulis Rimba Arief ST MEng, Pemerhati Tata Ruang Perkotaan / Wakil Ketua Ikatan Alumni Perencanaan Kota Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin.
Oleh: Rimba Arief ST MEng
Pemerhati Tata Ruang Perkotaan / Wakil Ketua Ikatan Alumni Perencanaan Kota Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin
Peluit akhir Pilwali Kota Makassar telah usai.
Hasil rapat pleno perhitungan suara pemilihan Walikota dan Wakil Wali Kota Makassar di MaxOne Hotel pada Jumat 6 Juli 2018 lalu, kolom kosong memperoleh suara sebanyak 300.795 (53,23 %) dan calon tunggal sebanyak 264.245 (46,77 %).
Ini sejarah baru dalam perhelatan pilkada. Terlepas dari kemungkinan adanya upaya gugatan oleh tim hukum paslon tunggal di tingkat Mahkamah Konstitusi (MK).
Namun, faktanya KPU telah menetapkan pemilihan kembali kepala daerah Makassar akan pada pilkada serentak 2020 mendatang.
Bila MK menolak gugatan, maka berdasar Permendagri Nomor 74 Tahun 2016 akan ditunjuk pelaksana tugas (Plt) wali kota oleh menteri atas usul gubernur.
Artinya, Plt bertugas sementara waktu dalam memanajemen kota termasuk aspek tata ruangnya.
Mengacu pada berbagai regulasi baik UU No.30 tahun 2014, PermenHukHam No.1 tahun 2014 hingga surat kepala BKN No.K.26.30/V.20.3/99 semuanya mengatur tentang tugas dan wewenang Plt.
Baca juga: OPINI: Mengenal Had Kifayah
Baca juga: Zohri Raih Juara Dunia Lari 100 M di Finlandia, ADS: Singgung Peran Bob Hasan
Seorang Plt kepala daerah bertugas menjalankan sementara fungsinya dengan berbagai kewenangan dibatasi.
Misalnya: 1) Pengambilan kebijakan substansial yang berdampak pada anggaran; 2) Penjatuhan hukuman disiplin; 3) Penilaian kinerja pegawai; 4) serta pengambilan kebijakan mengikat lainnya.
RTRW
Berkaca dari perspektif tata ruang, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Makassar telah memberikan guidline arah penataan kota hingga 20 tahun.
Sebagian program telah berjalan dan beberapa di antara dalam tahap perencanaan.
Misalnya rencana reklamasi kawasan pesisir sebesar ± 4500 Ha, pembangunan 8 icon landmark, pembangunan armada tengah, pembangunan Makassar New Port, pembangunan Biringkanal City hingga penerapan konsep smart city.
Berbagai rencana prestisius itu didukung pula oleh kondisi pertumbuhan ekonomi Kota Makassar.
Hingga tahun 2016, pertumbuhan ekonomi telah mencapai 7,9 % yang merupakan angka tertinggi nasional.
Aspek keuangan daerah juga meningkat signifikan. Tercatat PAD meningkat hampir dua kali lipat yakni di tahun 2012 sebesar 487 miliar menjadi 971 miliar di tahun 2016 serta APBD di tahun 2012 sebesar 2 triliun menjadi 3,5 trilun di tahun 2016 (BPS, 2017).
Geliat pertumbuhan ekonomi tentu bisa berimplikasi pada perubahan wajah kota.
Chapin (1979) dalam Urban Land Use Planning mengungkapkan bahwa intervensi faktor ekonomi sangat rentan mempengaruhi tata ruang melalui alih fungsi lahan.
Di satu sisi, rencana jangka panjang tata ruang telah disahkan melalui perda No. 4 tahun 2015.
Baca juga: Untuk Kepala Daerah Terpilih, Begini Pesan Direktur Sekolah Islam Athirah
Baca juga: 4 Kabar Gembira Diterima Lalu Muhammad Zohri Usai Juara Dunia Lari 100 Meter di Finlandia
Menjadi pertanyaan apakah dengan segala keterbatasan wewenangnya, seorang Plt mampu mengelola wajah kota sesuai dengan rencana tata ruangnya?
Lihat saja kecenderungan pemanfaatan ruang yang semakin didominasi oleh fungsi ruang bisnis.
Hampir semua sudut jalan utama dapat kita temukan sarana perdagangan berupa kaki lima, ruko hingga mal.
Sebut saja; sekitaran kawasan cagar budaya Benteng Rotterdarm, sekitaran kawasan RTH Lapangan Karebosi, hingga kawasan pendidikan di sekitar Tamalanrea dan Panakkukang yang trend pertumbuhan sarana bisnisnya terus meningkat (Arief,2014).
Pengendalian Ruang
Berbagai problematika tersebut tentu menjadi tantangan bagi Plt Wali Kota Makassar mendatang dalam menjalankan fungsi dan wewenangnya.
Derasnya pertumbuhan ekonomi serta kecenderungan pemanfaatan ruang perlu menjadi perhatian serius.
Bila tidak diatur secara tepat, dikhawatirkan mengarah pada penyimpangan pemanfaatan ruang.
Jangka waktu sekitar satu tahun (2019-2020) masa jabatan Plt terasa cukup lama dan rentan terhadap perubahan wajah kota.
Dalam hal penataan ruang sebaiknya PLT terpilih lebih fokus pada pengendalian tata ruang dibandingkan pada perencanaan atau pemanfaatan ruang. Mengapa demikian?
Karena aspek perencanaan dan pemanfaatan ruang memerlukan proses yang panjang dan komprehensif sehingga sifatnya substansial.
Selain itu, rencana tata ruang yang ada juga perlu disesuaikan dengan visi misi kepala daerah baru sehingga proses prencanaan dan pemanfaatan ruangnya dapat dikawal dengan baik oleh kepala daerah terpilih.
Dibanding menjalankan rencana yang bisa menimbulkan polemik karena tafsir yang berbeda terhadap perda tata ruang maka sebaiknya PLT fokus pada pengendalian tata ruang.
Dalam UU No.26 tahun 2007 pasal 35 disebutkan bahwa pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi.
Dalam menjalankan fungsi ini diperlukan kegiatan evaluasi menyeluruh terhadap pemanfaatan ruang berdasarkan rencana tata ruangnya.
Melalui evaluasi dapat diketahui persentase pemanfaatan ruang yang sesuai dan tidak sesuai dengan pola ruang yang diatur dalam Perda Tata Ruang.
Evaluasi ini sebaiknya segera dilakukan oleh walikota saat ini sebagai bahan pengendalian ruang oleh PLT terpilih.
Maka meskipun RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) sebagai instrumen rinci pengendalian ruang belum ada namun hasil evaluasi dapat menjadi referensi pemberian izin tata ruang nantinya.
Pelaksanaan secara ketat intstrumen pengendalian ruang dapat menjadi langkah efektif dalam mengisi masa transisi kepemimpinan.
Dengan berfokus pada pengendalian ruang diharapkan PLT terpilih tidak meninggalkan polemik yang berarti akibat perencanaan atau pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan visi misi kepala daerah baru. (*)
Catatan: Tulisan ini telah terbit di Tribun Timur edisi cetak Jumat, 13 Juli 2018