Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

OPINI

OPINI Dosen UIN Alauddin: Mengembalikan Makna Hijab

Hijab telah menjelma menjadi fashion, mode, gaya, yang biasanya tidak bisa dilepaskan dari aspek ekonomi dan bisnis. Lalu,letak syar’i-nya?

Editor: Jumadi Mappanganro
Muhaemin Latif 

Oleh: Muhaemin Latif
Dosen Filsafat Fak Ushuluddin dan Filsafat UIN Alauddin Makassar

Pada Ramadan ini, munculnya fenomena hijab yang diberi label syar’i dalam konteks wanita muslimah kita sungguh menarik untuk dipercakapkan.

Hijab yang hampir menutupi seluruh badan wanita kecuali muka, tangan dan kaki sekarang ini begitu trend di kalangan muslimah masa kini.

Perpaduan jilbab besar dengan baju long dress dengan warna dan motif yang sama telah menjadi fashion tersendiri bagi sekelompok muslimah masa kini.

Kemunculannya begitu massif. Tidak hanya menyasar perempuan-perempuan elite yang biasanya dikenal sebagai sosialita, tetapi sudah menyentuh kelompok-kelompok perempuan dari berbagai tingkatan.

Hampir setiap kita berada di ruang-ruang publik, tidak terkecuali di mal-mal, dengan mudah kita menemukan muslimah berhijab syar’i.

Bahkan sebagian wanita-wanita muslimah yang tersandung dalam pusaran korupsi pun juga menjadikan hijab syar’i sebagai opsi busana mereka. 

Baca juga: OPINI Dr Naidah Naing: Perempuan dan Bom Bunuh Diri

Baca juga: OPINI Upi Asmaradhana: Menolak Lupa Pembunuhan Jurnalis Indonesia

Kondisi ini, apalagi di bulan Ramadan, kemudian diperkuat oleh massif-nya event-event yang terkait dengan hijab yang biasanya dikontestasikan di hotel-hotel mewah.

Sebutlah trend hijab expo, women in action healthy movement, moslem women festival, hijab fair dan sebagainya.

Tidak hanya itu, menjamurnya butik-butik yang menjajakan hijab dan busana muslimah dengan berbagai model, milik designer terkenal seperti Jenahara, Moshaict, Zoya, Shafira, Meccanism, elzatta, Mandjha hijab, HFbyZS, menandakan bahwa hijab tidak lagi sekedar alat untuk menutup aurat.

Hijab bukan hanya ranah teologis, tetapi sudah merambah ke luar. Hijab telah menjelma menjadi fashion, mode, gaya, yang biasanya tidak bisa dilepaskan dari aspek ekonomi dan bisnis.

Pertanyaan kemudian muncul, di mana letak syar’i-nya model-model hijab seperti ini? Ataukah hijab seperti ini tidak jauh beda dengan trend fashion yang lain yang memiliki masa dan popularitas?

Budaya Pop
Tidak bisa dipungkiri bahwa hijab telah mengalami pergeseran makna dan fungsi.

Hasil riset Rima Hardiyanti (2012) terhadap komunitas hijabers di Makassar menunjukkan bahwa hijab yang awalnya hanya dimaknai sebagai pakaian sederhana yang dipakai untuk menutupi aurat perempuan, kemudian berkembang menjadi pakaian yang berbahan mahal serta mengalami modifikasi model yang begitu beragam.

Menurut Rima (2012), hijab telah mengikuti irama perkembangan fashion. Ia telah menjadi bagian dari budaya pop.

Sebagaimana lazimnya, trend dan popularitas fashion tertentu, termasuk di dalamnya hijab, sangat tergantung dari penilaian media.

Media telah menjadi barometer dan penentu apakah model hijab atau jilbab masih up to date (modern) atau sudah out of date (kuno).

Di sinilah makna bagaimana hijab telah menjadi bagian dari budaya pop. Bukan hanya model dan bahan hijab yang mengikuti trend, tetapi cara memakai hijab juga tidak luput dari perkembangan trend.

Begitu banyak tutorial hijab yang berseliweran di berbagai media sosial, bahkan kadangkala cara pemakaian hijab ini juga diperagakan dan diperlombakan di berbagai channel TV.

Bahkan melalui media, seperti diungkapkan oleh Rima, para muslimah ini telah membentuk komunitas sendiri yang kemudian disebut ‘komunitas hijabers’.

Komunitas ini biasanya berasal dari kalangan menengah ke atas dan memiliki tempat kongkow-kongkow yang juga terbilang mewah dan jauh dari kesan sederhana.

Pada titik ini, menurut penulis, hijab telah membentuk identitas sendiri yang kemudian berbeda dengan komunitas yang lain.

Baca juga: Ini Penjelasan Dua Legislator DPRD Bone yang Nyaris Adu Jotos Saat Puasa

Baca juga: Toleransi Beragama di Madandan Tana Toraja, Non Muslim Ikut Siapkan Hidangan Buka Puasa

Melalui hijab, mereka kemudian memiliki kelas atau stratifikasi sosial yang berbeda. Jika kita meminjam terminologi Karl Marx (1848) dalam teori kelasnya, borjuis dan proletarian, maka kelompok hijabers juga memiliki dua kelas.

Ada hijabers borjuis dan hijabers proletarian. Kelompok hijabers yang memiliki modal yang besar yang bisa dilihat dari bahan hijab dan komunitasnya, akan berada pada kelompok borjuis, dan kelompok hijabers yang memiliki modal yang pas-pasan akan berada pada kelompok proletarian.

Differensiasi ini tentu saja menggiring hijab jauh dari apa yang menjadi esensi dari syar’i itu sendiri.

Filosofi Hijab
Melihat fenomena hijab yang begitu massif ini, kita tentu harus mengapresiasi spirit yang dimiliki oleh para muslimah kita dalam konteks kekinian.

Mereka memiliki kesadaran kolektif untuk menutup aurat mereka. Tentu bukan pekerjaan mudah mengajak para muslimah untuk berhijab.

Hanya saja, ketika motivasi menutup aurat hanya dilandasi oleh ikut trend dan fashion, maka pada hakikatnya, telah mendegradasi filosofi hijab itu sendiri.

Di sinilah ambiguitas dari hijab syar’i. Trend dan fashion menjadi elemen penting yang melatari dan mendominasi alam pikir muslimah kita dan cenderung mengalahkan faktor religiusitas.

Padahal sejatinya, hijab adalah simbol ketundukan kepada sang Pencipta. Ia adalah lambang kesederhanaan, kepasrahan dan egalitarian, tidak ada kelas di antara hijabers.

Hijab idealnya tidak boleh mendemonstrasikan kesombongan dan kepongahan terutama di ruang-ruang publik. Hijab tidak boleh lekang oleh perkembangan zaman.

Hijab syar’i akan menempatkan para muslimah sebagai perempuan-perempuan terhormat. Bukan hanya di hadapan Tuhan, tetapi di tengah-tengah masyarakat.

Para muslimah tidak hanya dihormati karena penampilannya secara fisik, tetapi secara etis, budi perangainya akan menjadi tolak ukur.

Bukankah Nabi Muhammad saw telah memberikan warning keras kepada kita, “bahwa Tuhan sama sekali tidak memandang bentuk fisik kamu.

Tetapi Tuhan akan memandang hati kamu”.

Bahkan dalam QS al-A’raf: 26, disebutkan bahwa pakaian ketakwaanlah yang menjadi pakaian terbaik bagi anak cucu Adam.

Hijab Syar’i pada akhirnya tidak hanya menjadi arena pertarungan simbol-simbol keislaman, bukanpula ekshibisi bentuk kesalehan formal, tetapi hijab adalah perebutan makna kehormatan perempuan yang sesungguhnya yang melampaui makna-makna simbolik.

Semoga tulisan ini bisa mengembalikan makan hijab yang sesungguhnya. Selamat menjalankan ibadah puasa. Wallahu a’lam bisshawab. (*)

Catatan: Opini di atas telah dimuat di halaman Opini di Tribun Timur edisi cetak, Rabu 30 Mei 2018

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved