Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini: Membaca Moelawarman, Sosok 'Pengeritik' Unhas

kini hadir sebagai bayang-bayang seorang wartawan yang disegani bahkan ditakuti. Hadir diantara tokoh-tokoh penting negeri ini.

Editor: Thamzil Thahir
dok_tribun/mulawarman
Salahuddin Alam baju putih bersama Mulawarman di sebuah restoran di Jakarta, (2016) 

Oleh Moch Hasymi Ibrahim (budayawan, alumnus Unhas, tinggal di Jakarta)

 Pekerjaannya sebagai wartawan berakhir saat korannya berubah format menjadi koran lokal. Sebagai koresponden Jakarta dari Harian Surya yang terbit di Surabaya, dia harus menutup satu etafe kerja jurnalistiknya sebagai koresponden. Pekerjaan dengan kedudukan yang telah membawanya malang melintang di Ibukota, membangun dan membina relasi di lingkaran bisnis dan politik papan atas negeri ini.

Tetapi jangan salah, meski tak lagi menyandang status koresponden, kerja kewartawanannya tetap berjalan sebagai biasa. Setidaknya, dia masih beredar di gedung DPR RI dan kantor-kantor Kementrian Negara, Sekretariat Negara, Istana Presiden dan tempat penting lainnya untuk meliput dan memantau gerak politik dan pemerintahan.

Bahkan dia bisa berada di lingkaran dalam pejabat kementrian dan lembaga negara, seperti pengurus pusat PDIP, Golkar, Gerindra dan PKS. Dia dekat dengan Megawati Soekarnoputri, Ketua DPR Bambang Soesatyo atau ketua MPR Zulkifli Hasan dan Ketua DPD Osman Sapta Oddang.

Menjadi wartawan baginya tak sekadar pekerjaan atau profesi. Tidak pula sekadar panggilan hidup. Tetapi menjadi wartawan sudah menjadi totalitas eksistensi, semacam bawaan sejak lahir dan mungkin hingga akhir nanti.

Di chatroom group alumnus Unhas, dia selalu mengeritik almamaternya. 

Mengapa Moelawarman penting? Mengapa dia patut dipercakapkan, padahal dia tak lagi aktif menulis berita atau ulasan? Mengapa kehadirannya masih terkesan disegani, untuk tidak mengatakan ditakuti, pihak-pihak yang khawatir memperoleh pemberitaan buruk di depan publik? Bahkan, dia yang bertubuh kecil ringkih itu, masih dipandang dapat “mencelakai” apabila berseberangan pandangan dengannya?

Dan lebih jauh, dia masih dianggap sebagai seorang idealis yang bekerja tanpa pretensi dan dapat membuka borok siapa saja? Adakah jenis profesi formal maupun non-formal yang masih patut disematkan padanya? Pelobi? Pebisnis? Atau apa?

Mencari jawab atas pertanyaan-pertanyaan ini tentu tidak mudah. Mungkin juga tidak penting. Tetapi sebagian besar kawan-kawan di lingkaran pergaulannya, baik di Jakarta atau di manapun, tetap memandang Moelawarkan sebagai tokoh yang patut disimak tingkah polahnya. Setidaknya untuk memberikan pemahaman yang lebih baik tentang kehadiran, kiprah dan sikap-sikapnya menyertai perubahan-perubahan di daerah ini.

Moel mulai dikenal di lingkaran pergaulan jurnalis dan aktivis saat pertama kali menjadi mahasiswa. Dia adalah mahasiswa Kelas Sore Universitas Hasanuddin, program Ekonomi Manajemen dan aktif di koran kampus Unhas, identitas.

Ketika itu dia memperoleh julukan si Kancil, mungkin karena tubuhnya yang kecil dan geraknya yang lincah. Dia bisa hadir dimana saja, pada peristiwa apa saja, dan tidak hanya di kampus melainkan di luarnya.

Dia dikenal sebagai reporter yang gigih. Prof Amirudin, Rektor Unhas dan kemudian Gubernur Sulsel, mengenalnya dengan baik, bahkan menjadi sahabat panutannya. Tokoh kita inilah yang mungkin menjadi “penjamin”, sehingga Moel dapat dengan mudah menjalin hubungan dengan para elit.

Sebagai jurnalis, Moel mula-mula bekerja di Harian Pedoman Rakyat, Makassar. Kelincahannya di kampus kemudian mekar dan menemukan bentuk di sana. Hampir semua news-maker di daerah ini adalah narasumbernya. Bahkan lebih jauh, dia membangun sejenis “pertemanan” yang unik. Pasalnya, Moel tak pernah segan mengeritik, menulis “berita jelek”, meski subyeknya adalah “teman-teman” itu.

Baginya, dalil standar jurnalistik dimana kebenaran harus diungkapkan nyaris seperti harga mati. Moel hampir tak pernah memperhatikan “akibat” dari berita yang ditulisnya. Hal ini pula yang menyebabkan dia “dimusuhi” banyak pihak.

Dia bahkan pernah memperoleh perlakukan buruk, ditempeleng di depan khalayak akibat berita yang ditulisnya. Kalau hanya sekadar ejekan dan ancaman, ibaratnya sudah menjadi santapan sehari-hari.

Paparan ini mungkin berlebihan untuk menggambarkan Moelawarman. Tetapi dia memang seorang yang terkesan selalu memakai “katamata kuda” dalam melihat persoalan. Baginya, kebenaran itu tunggal, tidak boleh ada nuansa, tidak perlu interpretasi.

Ukurannya hati nurani. Benturan-benturan yang diperolehnya sepanjang karir lebih karena pegangan itu. Bahkan akurasi, salah satu prinsip dasar dalam jurnalisme, tak jarang diabaikan demi pengungkapan.

Belakangan, sikap yang dipegang teguh itu, tak jarang menemukan ambiguitas. Sebagai manusia, dia memiliki titik lemah yang krusial. Dia adalah pengagum tokoh-tokoh. Tak hanya tokoh yang dipandangnya lemah, teraniaya dan patut dibela, tetapi tokoh-tokoh tertentu yang pernah bersentuhan secara personal dengannya.

Untuk yang terkahir, dia akan dengan senang hati membantu, memuluskan lobi, menghubungkan urusan, menyelesaikan masalah. Tetapi bagi tokoh lainnya, dia akan secara konsisten mengeritik, menyerang, mendegradasi. Termasuk tokoh dan lembaga-lembaga yang dipandangnya penting dibangun dengan kritik. Di sanalah letak paradoks Moelawarman.

Mulawarman1
Mulawarman1 ()

Mengapa Moelawarman penting? Sebab hampir semua elit politik dan bisnis yang tengah berkiprah di daerah ini mengenalnya. Para senior dan yunior-yuniornya, paling tidak secara samar-samar tahu namanya. Dia selalu tampak hadir sebagai bagian dari “permainan”. Mungkin ini posisi yang tak dikehendakinya, tetapi dimainkannya dengan lincah tanpa beban. Dia hadir dan memposisikan diri menjadi pendukung dalam Pilkada, bekerja sungguh-sungguh untuk itu, tetapi pada saat yang sama, dia juga duduk dengan lawan-lawan tanding kandidat yang didukungnya. Dan dia diterima dengan baik.

Pada saat seperti itu, dia mungkin tak lagi berkiprah sebagai jurnalis, tetapi lebih sebagai pelobi. Dia tak memerlukan lagi akurasi, check and rechek, sebagai prinsip pokok jurnalisme. Tetapi dia lebih memerlukan komunikasi dan kesepahaman demi lobi yang produktif. Moel memang tampak tanpa beban dan kepentingan, tetapi justru karena itu maka dia juga bisa dipandang sarat kepentingan. Meski kepentingan pokoknya adalah kebenaran, tanpa nuansa, tanpa interpretasi.

Dahulu, di kalangan aktivis di Unhas, merebak istilah “jurnalisme moelawarman”. Ini semacam salinan dari cara Moelawarman mencari, mengolah dan menulis berita. Format dasarnya, berita mendahului peristiwa. Moel akan dengan berani menulis seseorang sebagai narasumber meski belum diwawancara atau menurunkan berita dari sesuatu yang belum terjadi.

Hal ini tentu menimbulkan persoalan, tetapi rupanya cara ini sangat jitu untuk memposisikan dirinya di kancah. Juga memposisikan tokoh-tokoh yang ingin diorbitkannya. Sejenis tindakan “malpraktik”, sebenarnya, tetapi itulah Moelawarman. Keberaniannya lahir, sekali lagi, dari pegangan atas kebenaran tanpa nuansa dan tanpa interpretasi itu.

Kini dia tak lagi menjalani profesi sebagai jurnalis. Dia kini hadir sebagai bayang-bayang seorang wartawan yang disegani bahkan ditakuti. Hadir diantara tokoh-tokoh penting negeri ini.

Kini dia lebih berkiprah sebagai pelobi dan jangan salah, dia senantiasa ingin dipandang sebagai aktivis. *

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Kajili-jili!

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved