Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini: Membaca Moelawarman, Sosok 'Pengeritik' Unhas

kini hadir sebagai bayang-bayang seorang wartawan yang disegani bahkan ditakuti. Hadir diantara tokoh-tokoh penting negeri ini.

Editor: Thamzil Thahir
dok_tribun/mulawarman
Salahuddin Alam baju putih bersama Mulawarman di sebuah restoran di Jakarta, (2016) 

Paparan ini mungkin berlebihan untuk menggambarkan Moelawarman. Tetapi dia memang seorang yang terkesan selalu memakai “katamata kuda” dalam melihat persoalan. Baginya, kebenaran itu tunggal, tidak boleh ada nuansa, tidak perlu interpretasi.

Ukurannya hati nurani. Benturan-benturan yang diperolehnya sepanjang karir lebih karena pegangan itu. Bahkan akurasi, salah satu prinsip dasar dalam jurnalisme, tak jarang diabaikan demi pengungkapan.

Belakangan, sikap yang dipegang teguh itu, tak jarang menemukan ambiguitas. Sebagai manusia, dia memiliki titik lemah yang krusial. Dia adalah pengagum tokoh-tokoh. Tak hanya tokoh yang dipandangnya lemah, teraniaya dan patut dibela, tetapi tokoh-tokoh tertentu yang pernah bersentuhan secara personal dengannya.

Untuk yang terkahir, dia akan dengan senang hati membantu, memuluskan lobi, menghubungkan urusan, menyelesaikan masalah. Tetapi bagi tokoh lainnya, dia akan secara konsisten mengeritik, menyerang, mendegradasi. Termasuk tokoh dan lembaga-lembaga yang dipandangnya penting dibangun dengan kritik. Di sanalah letak paradoks Moelawarman.

Mulawarman1
Mulawarman1 ()

Mengapa Moelawarman penting? Sebab hampir semua elit politik dan bisnis yang tengah berkiprah di daerah ini mengenalnya. Para senior dan yunior-yuniornya, paling tidak secara samar-samar tahu namanya. Dia selalu tampak hadir sebagai bagian dari “permainan”. Mungkin ini posisi yang tak dikehendakinya, tetapi dimainkannya dengan lincah tanpa beban. Dia hadir dan memposisikan diri menjadi pendukung dalam Pilkada, bekerja sungguh-sungguh untuk itu, tetapi pada saat yang sama, dia juga duduk dengan lawan-lawan tanding kandidat yang didukungnya. Dan dia diterima dengan baik.

Pada saat seperti itu, dia mungkin tak lagi berkiprah sebagai jurnalis, tetapi lebih sebagai pelobi. Dia tak memerlukan lagi akurasi, check and rechek, sebagai prinsip pokok jurnalisme. Tetapi dia lebih memerlukan komunikasi dan kesepahaman demi lobi yang produktif. Moel memang tampak tanpa beban dan kepentingan, tetapi justru karena itu maka dia juga bisa dipandang sarat kepentingan. Meski kepentingan pokoknya adalah kebenaran, tanpa nuansa, tanpa interpretasi.

Dahulu, di kalangan aktivis di Unhas, merebak istilah “jurnalisme moelawarman”. Ini semacam salinan dari cara Moelawarman mencari, mengolah dan menulis berita. Format dasarnya, berita mendahului peristiwa. Moel akan dengan berani menulis seseorang sebagai narasumber meski belum diwawancara atau menurunkan berita dari sesuatu yang belum terjadi.

Hal ini tentu menimbulkan persoalan, tetapi rupanya cara ini sangat jitu untuk memposisikan dirinya di kancah. Juga memposisikan tokoh-tokoh yang ingin diorbitkannya. Sejenis tindakan “malpraktik”, sebenarnya, tetapi itulah Moelawarman. Keberaniannya lahir, sekali lagi, dari pegangan atas kebenaran tanpa nuansa dan tanpa interpretasi itu.

Kini dia tak lagi menjalani profesi sebagai jurnalis. Dia kini hadir sebagai bayang-bayang seorang wartawan yang disegani bahkan ditakuti. Hadir diantara tokoh-tokoh penting negeri ini.

Kini dia lebih berkiprah sebagai pelobi dan jangan salah, dia senantiasa ingin dipandang sebagai aktivis. *

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Kajili-jili!

 

Kajili-jili!

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved