Jadi Promotor di Unhas, Prof Irawan Yusuf Angkat Bicara Soal Metode 'Cuci Otak' dr Terawan
Mantan Dekan Fakultas Kedokteran Unhas tersebut merupakan promotor dr Terawan saat menyelesaikan pendidikan jenjang doktornya di Unhas
Penulis: Darul Amri Lobubun | Editor: Anita Kusuma Wardana
Ternyata, sebelum pemberhentian oleh MKEK IDI, terapi yang dicetuskan oleh Terawan telah lama mengundang pro dan kontra.
Salah satunya dari Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi).
Dalam laporan Kompas.com tahun 2012, Ketua Umum Perdossi Prof M Hasan Machfoed mempertanyakan terapi cuci otak tersebut untuk penderita stroke.
Hal ini diungkapkan pada pembukaan Pertemuan Ilmiah Nasional Stroke di Semarang, Jawa Tengah, Jumat (23/11/2012).
Prosedur Waktu
Menurut Hasan, pada terapi cuci otak, terapis memasukkan obat ke pembuluh darah otak penderita stroke.
Dalam dunia kedokteran, proses itu disebut trombolisis yang memiliki prosedur batas waktu ketat.
Dalam panduan, trombolisis dapat diberikan hingga 8 jam setelah penderita terkena stroke.

Tapi, jika terapi itu diberikan pada pasien yang serangan sudah lebih dari 8 jam, apalagi berbulan-bulan atau bertahun-tahun, bisa menimbulkan masalah.
Kontroversi ini tidak berhenti pada tahun 2012 saja.
Hanya alat diagnosis
Menurut laporan Kompas.com 2014, para ahli saraf berpendapat, terapi cuci otak tidak dapat mengobati penyakit stroke.
Itu karena alat yang digunakan pada terapi ini sebenarnya untuk melakukan diagnosis saja.
Alat yang dipakai dalam terapi cuci otak dokter Terawan adalah Digital Substracion Angiography (DSA).
"Brain wash itu bukan istilah kedokteran. Metode yang digunakan DSA itu alat diagnostik, sama seperti alat rontgen. Jadi bukan untuk terapi," ujar Hasan dalam Seminar Neurointervensi di Jakarta, Kamis (17/12/2014).