opini
OPINI Guru SMP Muhammadiyah Belawa: Mendongeng di Era Digital
Seorang Saddam Husein dalam bukunya Man and The City pun menceritakan bagaimana ibunya mendongeng untuknya.
Ceritanya pun tak melulu tentang Cinderella, Maling Kundang, Lebai Malang, dan lain sebagainya. Beberapa waktu yang lalu, Youtube bekerja sama dengan Ayo Dongeng Indonesia menggelar acara #DongengYuk sebagai upaya digitalisasi cerita rakyat Indonesia.
iPusnas bahkan menyediakan banyak dongeng berbentuk e-book gratis.
Di blog serusetiapsaat.com juga tersedia banyak cerita yang sangat menarik untuk didongengkan.
Bukankah ini malah membuat kita jauh lebih mudah untuk mendongeng? Utamanya yang sering beralasan kehabisan/kekurangan buku dan bahan dongeng.
euntungan lainnya, kecenderungan anak untuk menggunakan gawai sebagai alat permainan menjadi berimbang.
Selama ini, banyak orang yang menjadikan gawai sebagai ‘alat penenang’ untuk anak dengan cara menyediakan permainan-permainan di dalamnya.
Akibatnya, banyak anak mengalami kecanduan yang berdampak negatif; obesitas, mata rusak, turunnya kemampuan belajar, dan yang paling utama adalah kecendrungannya untuk menjadi makhluk individualis.
Berbeda jika yang disajikan adalah aplikasi dongeng atau buku cerita, tentu dengan memilih konsep konten yang sesuai dengan umur agar tidak mengganggu nalar berpikirnya serta melakukan pendampingan.
Pada prosesnya, orang tua dan anak tetap bisa melakukan interaksi intrapersonal yang melibatkan sisi emosional keduanya.
Tidaklah benar jika dikatakan bahwa peran orang tua sebagai penutur akan tereduksi jika yang digunakan adalah gawai.
Di sinilah pentingnya peranan orangtua untuk memilih konsep setiap konten pada gawai. Anak pun tidak merasa cepat bosan karena media yang dihadapinya adalah gawai.
Konten menarik dan kebaruan yang ada di dalamnya akan memicu rasa ingin tahu anak. Di sisi lain, mendongeng dengan memanfaatkan gawai secara tidak langsung telah menyelamatkan banyak pohon.
Mendongeng, baik dengan memanfaatkan gawai atau tetap bergaya konvensional, tidak akan mengubah esensi sebuah dongeng, yaitu penanaman nilai-nilai karakter, pengasah imaji dan kepekaan, jembatan komunikasi, pendorong kreatifitas, dan pemantik kegiatan berliterasi.
Yang harus kita lakukan adalah berupaya tidak menggeser dongeng dan menggantikannya dengan permainan digital ataupun dengan tontonan yang tidak layak bagi anak.
Saya tidak mengatakan bahwa itu bukanlah hal baik, permainan digital pun punya sisi positif. Namun, berpeluang mencederai upaya untuk membangun karakter anak, utamanya tanpa pendampingan dan batasan.