opini
Opini Kepala SMPN 1 Sengkang: Pendidikan Tanpa Roh
Mahatma Gandhi menyebutnya sebagai education without character (pendidikan tanpa karakter), satu dari tujuh dosa sosial.
Setiap orang harusnya memahami bahwa jiwa utama pendidikan adalah membangun individu yang berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Kriteria yang dirumuskan dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas ini mengurai dengan jelas bahwa yang dibutuhkan bangsa Indonesia pada dasarnya adalah pendidikan yang mampu menyeimbangkan akademik dan moralitas.
Telah ditetapkan porsi pendidikan karakter untuk SD sebesar 70% dan 30% untuk akademik.
Untuk SMP, 60% untuk penguatan karakter dan 40% untuk akademik.
Sekolah tidak berkewajiban mengejar target nilai ujian –dalam bentuk apapun- yang menyebabkan lahirnya budaya pragmatism dan serba instan dalam dunia pendidikan.
Kewajiban sekolah adalah memberikan apa yang dibutuhkan oleh anak didik, utamanya penguatan pendidikan karakter sebagai modal utama.
Itulah sebabnya kita seharusnya menggunakan sistem pendidikan dan pola kebijakan yang sesuai dengan keadaan Indonesia.
Terkait dengan nilai karakter, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang prosesnya mampu menghindari indoktrinasi berbagai ajaran.
Dua dampak buruk yang mungkin ditimbulkan indoktrinasi. Pertama, anak-anak tumbuh dan terbiasa berperilaku seragam yakni menghafal dan paham sesuatu tapi tidak terinternalisasi dan teramalkan.
Kedua, anak-anak bersikap dan berperilaku sesuai etika dan estetika namun bukan karena kesadaran dan kemauan sendiri.
Untuk menghindari dampak ini, sudah saatnya sekolah menciptakan lingkungan yang kondusif dan ramah anak sehingga mereka merasa nyaman dan betah.
Ramah Anak
Pendidikan dapat dikatakan ramah anak, hanya jika memenuhi karakteristik inklusif, sehat, dan melindungi semua anak, sesuai dengan kebutuhan anak, dan melibatkan anak, orangtua, serta masyarakat (Shaeffer, 1999).
Di Indonesia sendiri, penerapan Sekolah Ramah Anak (SRA) telah dituangkan dalam Permen No 8 Tahun 2014, sebagai wujud keseriusan pemerintah dalam menjunjung hak dan kesetaraan anak.
Sebagai investasi jangka panjang, “masa depan sebuah bangsa” menuntut generasi penerus untuk selalu mengembangkan potensi dan daya kreativitas yang dimilikinya tanpa meninggalkan nilai moral.
Dengan demikian, daya kritis, beretika, dan partisipatif selalu muncul dalam jiwa anak-anak di sekolah, didampingi oleh unsur pendidikan lainnya yakni keluarga dan masyarakat.